PLH Harus Berdiri Sendiri Demi Masa Depan Bumi
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna. Moh. Yahya Obaid dalam penelitiannya, Religiusitas Lembaga Pendidikan yang Berwawasan Lingkungan menjelaskan bahwa manusia disebut homo ecologus, artinya manusia menjadi bagian yang tak terpisahkan dari ekosistem sehingga manusia memiliki kecenderungan untuk memahami lingkungan.
Selain itu, Obaid menjelaskan jika dilihat dari substansinya, manusia memiliki kedudukan yang terhormat. Jika manusia hidup di tengah lingkungan dengan segala kekayaan dan kenikmatannya, maka sepatutnya manusia mengambil manfaat, mengambil pelajaran, dan melestarikan lingkungan. Meskipun begitu, tidak semua manusia pro ekologis karena berbenturan dengan hawa nafsunya. Kehormatan dan kesempurnaan manusia seakan tidak ada artinya karena termakan keserakahan.
Hubungan antara manusia dan lingkungan hidup sangatlah erat dan tidak dapat dipisahkan. Jadi, tingkah laku atau timbal balik manusia terhadap lingkungan mempengaruhi kondisi lingkungan sekitarnya juga. Data Platform Keanekaragaman Hayati dan Jasa Ekosistem (The Intergovernmental Platform on Biodiversity and Ecosystem Services/IPBES) 2018 menyebutkan Indonesia kehilangan hutan seluas 680 ribu hektar tiap tahunnya, merupakan yang terbesar di Asia Tenggara.
Padahal masih banyak masyarakat pelosok yang menggantungkan hidupnya dari hutan. Pemerintah seharusnya menghargai hak-hak masyarakat dan melindungi dari kriminalisasi korporasi, bukan malah memberikan karpet merah pada kapitalisme.
Sedangkan kerusakan sungai di Indonesia berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK) tercatat bahwa dari 105 sungai yang ada, 101 sungai diantaranya dalam kondisi tercemar sedang hingga berat. Tentunya masih banyak kerusakan-kerusakan lingkungan di Indonesia. Dari data-data yang ada, maka Pendidikan Lingkungan Hidup (selanjutnya disingkat dengan PLH) sangat penting untuk siapa saja.
Kerusakan lingkungan hidup adalah masalah global untuk seluruh umat manusia tanpa terkecuali. Setiap negara harus memberikan kebijakan dan peringatan kepada rakyatnya karena ini adalah masalah serius. Sangat egois bila masyarakat belum sadar dengan berbagai bencana alam yang terjadi. Salah-satu jalan keluarnya adalah memberikan PLH kepada masyarakat tanpa memandang usia.
Tenaga dan pemikiran masyarakat sangat dibutuhkan untuk memulihkan kerusakan lingkungan. Menurut Ani Mardatila (2021), tujuan pendidikan lingkungan hidup adalah untuk menambah pengetahuan dan keterampilan dalam mengelola dan melindungi lingkungan. Pendidikan bukan hanya sekadar mendapatkan nilai bagus dan peringkat tertinggi. Namun, bagaimana mengaplikasikannya terhadap lingkungan sekitar dari ilmu yang didapat.
Menurut Suaedi dan Hammado Tantu dalam buku yang berjudul Pembelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup, setiap jenjang pendidikan sebenarnya sudah memiliki muatan PLH di beberapa mata pelajaran, seperti IPA, IPS, Pendidikan Agama dan Budi Pekerti, dan Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan.
Namun, PLH memiliki sedikit peran di kegiatan belajar mengajar padahal setiap hari kita selalu berada di tengah-tengah lingkungan hidup. Seakan lingkungan hidup di sekitar diabaikan atau disepelekan padahal banyak pelajaran yang dapat diambil.
Pastinya setiap orang pernah mengalami beberapa kasus terkait lingkungan hidup dan sebagai manusia harus peduli. Sebagian orang mungkin bingung cara mengatasinya karena kurangnya edukasi dan hanya teori tanpa praktik yang didapat. Semua orang merasa bumi sedang baik-baik saja, padahal itu pemikiran yang harus ditepis.
Siapa saja harus mengenal dan menghargai lingkungan hidup di sekitarnya. Seharusnya PLH menjadi mata pelajaran tersendiri dan wajib diikuti oleh semua murid. Selama menempuh pendidikan di sekolah, siswa dan guru selalu terikat dengan jangka waktu kegiatan belajar mengajar sehingga mereka harus mengejar materi-materi.
Jika PLH dijadikan mata pelajaran tersendiri dan harus mengikuti sistem yang terbilang kaku, kemungkinan besar PLH akan menjadi beban baru bagi siswa dan guru. PLH harus dirancang tanpa perlu menekan. PLH harus mampu membuat siswa tertarik mengeksplorasi lingkungan sekitar. Ketertarikan tersebut dapat menumbuhkan hobi baru bagi mereka dan meningkatkan kegiatan yang produktif.
PLH yang dilakukan dengan nyata akan berbeda dibandingkan dengan mata pelajaran lainnya yang menghabiskan banyak waktu duduk di kursi. PLH lebih cenderung dilaksanakan di luar kelas, terjun langsung ke lapangan tidak akan membuat siswa jenuh dan bosan. Jangan ukur pendidikan hanya dengan kuantitas, tetapi juga kualitas. Kuantitas harus mencerminkan kualitas pendidikan seseorang di kehidupan sehari-hari.
Meraih nilai tinggi dan peringkat teratas belum tentu mencerminkan pendidikannya dapat bermanfaat bagi lingkungan hidup sekitar. Harapannya, sistem PLH tidak perlu lagi mengikat siswa untuk mendapatkan nilai bagus, tetapi PLH sebagai kegiatan menyenangkan untuk merawat bumi. Fokuskan tujuan untuk merawat bumi. Tidak perlu berpikir akan ada ujian PLH di sekolah.
Seharusnya pemerintah dan masyarakat merasa sangat bosan dihujani bencana alam yang terhitung sebanyak 1.019 hingga Senin 22 Maret 2022 berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Bencana banjir adalah bencana yang paling banyak terjadi. Upaya pencegahan dapat dimulai dari mana saja.
Di lingkungan sekolah, pengenalan PLH di masa orientasi siswa baru sangat dianjurkan agar mengenal lingkungan sekolah barunya. Pengenalan tersebut bukan hanya sekadar pemenuhan tugas atau materi. Selanjutnya, terjun langsung dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar sekolah yang dilakukan sekali dalam seminggu, itulah yang diharapkan.
Siswa diajarkan cara menanam bunga di taman, membuat apotek hidup, membuang sampah pada tempatnya, kantin tidak menyediakan kantong plastik untuk mengurangi penggunaan plastik, merawat hewan dan tanaman di sekitar sekolah, dan lain sebagainya.
Harapannya, PLH juga membentuk karakter siswa yang bersih dan peduli. Di jenjang perkuliahan, PLH tetap harus digalakkan bahkan mahasiswa harus beraksi dan turun tangan jika melihat penyebab kerusakan lingkungan. Mahasiswa dapat menciptakan produk ramah lingkungan serta melakukan sosialisasi kepada khalayak umum. Harapannya, PLH dapat menjadikan mahasiswa berpikir kritis pada lingkungan untuk mensosialisasikan pentingnya PLH kepada masyarakat.
Selain itu, PLH juga harus diratakan ke kalangan orang tua. Orang tua harus belajar agar dapat memperkenalkan PLH kepada anaknya yang masih balita atau belum sekolah. Berapapun usianya dan di manapun berada, manusia harus punya kesadaran dan kelogisan. Jika sudah terjun di masyarakat, tetap praktikkan PLH karena siapa saja harus bekerja keras untuk masa depan bumi yang lebih baik.
Jadi, semua kalangan harus menyempatkan waktu mengenal lingkungan sekitarnya. Tujuannya agar kesadaran menghargai lingkungan hidup tidak datang dari generasi muda, tetapi juga orang tua karena dibutuhkan kerja sama untuk memulihkan bumi. Selain itu cakupan lingkungan hidup sangatlah luas.
Sekali lagi, tenaga dan pikiran cemerlang dari siapa saja sangat dibutuhkan. Apabila PLH telah diajarkan sejak dini dan dilaksanakan secara rutin, maka kesadaran dan kekritisan masyarakat terhadap lingkungan sekitar sangat berpengaruh bagi masa depan dunia, bukan hanya Indonesia.
Penulis:
Felita Sukanti, mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan jurusan Kimia di Universitas Jember.
Mempelajari tentang lingkungan hidup dan seputar kerusakan bumi, belajar tentang hubungan Al-Qur'an dan Sains, serta menjadi bagian dari Komunitas Aksara Dalam Rasa (Kosalama). Dapat ditemui melalui Instagram @felita__ski