Rawat dan Rebut Ruang Penghidupan Kita
Pentingnya tempat tinggal sebagai kebutuhan dasar menjadi salah satu aspek penting dalam berkehidupan. Abraham Maslow, seorang tokoh psikolog sosial, mengemukakan teori hierarki kebutuhan yang menjelaskan bahwa rasa aman merupakan salah satu kebutuhan yang harus dipenuhi oleh manusia dan sebagai manifestasi rasa aman. Tempat tinggal adalah salah satu tempat dimana manusia dapat merasakan keamanan.
Urgensi tempat tinggal bukan hanya sekadar itu saja. Dengan adanya tempat manusia dapat beristirahat, mempertahankan keberlangsungan hidupnya, menjadi tempat berkumpulnya kelompok sosial, dan masih banyak manfaat-manfaat penting yang didapat dari tempat tinggal. Tempat tinggal merupakan kebutuhan pokok yang patut dimiliki oleh setiap manusia. Sehingga dapat dilihat betapa pentingnya tempat tinggal sebagai ruang penghidupan dalam interaksi manusia dengan lingkungan.
Pentingnya ruang penghidupan sebagai hunian dan kebutuhan manusia menyebabkan perebutan tempat tinggal (tanah) tak ayal terjadi yang dimanfaatkan oleh segelintir orang/kelompok untuk kepentingannya. Dalam kaitannya lingkungan hidup sebagai ruang penghidupan masyarakat, sering terjadi konflik antara para pihak yang berkepentingan. Korsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengungkap bahwa sepanjang tahun 2018 terjadi 410 konflik agraria.[1] Tumpang tindihnya hak warga atas tanah dengan perusahaan atau pemerintah semakin memperparah terjadinya konflik.
Di Sulawesi Selatan sendiri, berdasarkan data dari KPA mengungkap sebanyak 15 kasus yang terjadi pada tahun 2018.[2] Beberapa diantaranya yakni Reklamasi Center Poin of Indonesia (CPI) di Makassar, tambang pasir di Takalar, penangkapan petani di Soppeng, Bara-Baraya di Makassar, hingga tanah adat Kajang di Bulukumba. Dari pola contoh kasus di atas, dapat dilihat bahwa aktivitas ruang penghidupan masyarakat di klaim oleh pihak yang berkepentingan, seperti perusahaan. Sehingga saling klaim ini berdampak pada konflik yang terjadi.
Sebagai contoh, kasus reklamasi pantai losari (CPI) yang telah berlangsung sejak 2013 menghasilkan konflik yang panjang antara warga dengan perusahaan pengembang yang dibantu dengan pemerintah. Ruang penghidupan masyarakat yang sebelumnya digunakan sebagai mencari nafkah (nelayan), tidak lagi dapat berfungsi sebelumnya. Akibat dari reklamasi yang mencemari laut di pesisir yang merugikan nelayan. Selain itu hilangnya tempat tinggal warga yang tinggal di daerah lokasi reklamasi. Dari reklamasi pula berembes pada nelayan yang ada di Takalar, karena pasir yang digunakan utuk reklamasi berasal dari penambang pasir yang ada di Takalar. Akibat yang ditimbulkan adalah ruang penghidupan masyarakat tergerus seperti kurangnya hasil tangkapan nelayan hinggal terjadinya abrasi yang parah di sekitar pesisir pantai.
Konflik menurut psikolog sosial Baron dan Byrne adalah suatu proses di mana individu atau kelompok mempersepsikan bahwa orang lain telah atau segera mengambil tindakan yang tidak sejalan dengan kepentingan mereka. Adanya kepentingan merupakan salah satu indikator penyebab terjadinya konflik. Perang kepentingan yang terjadi dalam ruang penghidupan masyarakat mengakibatkan kerugian bagi pihak yang telah berada di ruang itu. Ketidakberdayaan karena pengetahuan yang minim serta sumber-sumber daya yang kurang menyebabkan seringkali masyarakat kalah. Sehingga perlu adanya upaya dari setiap elemen dalam mendukung upaya merebut ruang penghidupan yang diambil secara tidak adil oleh perusahaan bahkan negara sekalipun.
Lantas, dimana kita mengambil peran?
Perlu diketahui bahwa salah satu prinsip dari lingkungan hidup yang tertuang dalam KTT Rio de Jeneiro 1992 yakni intergenerational equity (keadilan antar generasi). Prinsip ini memandang bahwa setiap generasi berperan sebagai trustee dari ekosistem atau sumber daya alam supaya dapat bermanfaat bagi generasi berikutnya dan sekaligus penerima manfaat dari generasi sebelumnya.[3] Sehingga masing-masing dari kita punya tanggungjawab dalam melestarikan lingkungan sebagai ruang penghidupan yang telah diberikan dari generasi sebelumnya dan untuk masa depan generasi berikutnya
Berbagai cara dapat dilakukan dalam menjaga ruang penghidupan masyarakat. Peran yang dapat diambil mesti disesuaikan dengan kemampuan kita. Sebagai contoh, terlibat dalam massa aksi ketika terdapat kasus konflik dalam merebut ruang penghidupan, terlibat kampanye kreatif sebagai upaya penyadaran, hingga melakukan live in sebagai bentuk proses belajar dan internalisasi nilai-nilai dalam masyarakat yang berkonflik. Cara-cara tersebut dapat dilakukan dengan tujuan berperan dalam upaya merebut keadilan, berjuang merebut ruang penghidupan.
Sudah seyogyanya kita peduli dan mau berjuang untuk merawat dan merebut ruang penghidupan kita!
[1] KPA, Masa Depan Reforma Agraria Melampaui Tahun Politik, KPA, Jakarta, 2018, hlm. 17.
[2] Ibid., hlm 33.
[3] Marhaeni Ria Siombo, Tanggung Jawab Pemda terhadap Pengursakan Lingkungan Hidup, Jurnal Dinamika Hukum, 14(3), hal. 397.
Penulis: Muhammad Riszky (Pegiat Literasi di Stimulus Paradigma)