Reformasi dan Demokrasi
Hari ini kita semua tengah mengaksikan perubahan ruas politik dari waktu ke waktu. Catatan yang ingin disampaikan terkadang terhempas ditengah jalan belum tentu sampai pada telinga penguasa. Kritik dianggap melawan, masukan dianggap hinaan, dan demostrasi dianggap perang, itu semua sudah menjadi hal lumrah yang dilakukan oleh elit birokrasi sejak dan sampai sekarang.
Tepat 1998 adalah peristiwa yang mengguncang Asia kala itu, krisis finansial oleh sebagian besar negara-negara di Asia. Salah satunya melanda negara Kesatuan Republik Indonesia. Di Indonesia terjadi krisis moneter, krisis itu ditandai dengan melemahnya ekonomi Indonesia sehingga pada saat yang sama terjadi gerakan mahasiswa disetiap kota-kota besar menggugat agar pemerintahan orde baru segera mundur dari jabatannya.
Akibat dari itu pemerintahan semakin tidak seimbang, tekanan datang dari dalam maupun dari luar pemerintahan. Demostrasi terus dilakukan oleh mahasiswa yang tidak percaya lagi pada sistem pemerintahan yang sedang dijalankan. Mereka semua meminta agar segera dilakukan reformasi. Tepat pada tanggal 21 mei 1998 Presiden Suharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia dan digantikan oleh Wakilnya yaitu Baharuddin Jusuf Habibie.
Tidak berhenti disitu, mahasiswa terus melakukan gerakan. Karena dianggap agenda Reformasi belum tuntas, perubahan tidak terjadi disetiap sendi kehidupan. Misi Industrialisasi pemerintahan dianggap tidak relevan, padahal kalau dikaji lebih jauh hanya saja masyarakat pada saat itu belum siap akan adanya agenda perubahan pergeseran cara hidup dan paradigma berfikir maju. Habibie hanya mengukir karirnya sebagai Presiden menggantikan Suharto selama satu tahun enam bulan, kemudian mengundurkan diri pada 20 Oktober 1999 diganti oleh Abdurahman Wahid lewat pemilihan langsung berdasarkan hasil Majelis Perwakilan Rakyat (MPR).
Reformasi belum usai disitu, gerakan perubahan terus dituntut. Abdurahman Wahid seakan bukan alternatif untuk memimpin pemerintahan walaupun dipilih secara langsung. Tidak salah bilamana dianggap demokrasi terus dikebiri, sebab beberapa catatan sejarah membuktikan bahwa dibalik lengsernya orang-orang yang memimpin pemerintahan selalu ada misi-misi kepentingan yang belum selesai dituntaskan. Misalnya dalam sebuah buku Menjerat Gusdur yang rame dibahas dijagad maya melibatkan banyak organisasi Kepemudaan (OKP) dan para praktisi politik pada saat itu. Tidak salah bilamana nama-nama Organisasi Kemahasiswaan seperti Himpunan Mahasiswa Islam ditarik ulur pada misi pelengseran gusdur.
Ini bukti bahwa kita benar-benar belum sampai pada agenda-agenda Demokrasi yang menjujung tinggi nilai kehidupan kebangsaan. Agenda reformasi seakan dijadikan sebagai jembatan akan adanya perubahan iklim politik pada skala nasional yang merembet sampai pada wilayah-wilayah pelosok. Mulai dari Sabang sampai Merauke selalu membumikan demokrasi dan kemerdekaan akan sebuah pilihan hidup. Hemat saya, ini bukan sebuah agenda reformasi yang sempurna dalam mencapai negara demokrasi dengan senantiasa merawat kedaulatan rakyat lewat kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Benarkah Agenda Reformasi Sudah Selesai?
Gerakan perubahan peradaban kebangsaan kita seakan tidak beradab. Nilai-nilai luhur kebudayaan hilang disebagian besar wilayah keindonesiaan. Perusakan moral terjadi dimana-mana, bahkan perang kebudayaan (post truth) tidak jarang kita jumpai diruang-ruang publik. Ini semua akan berefek pada peningkatan kualitas hidup. Hal seperti ini masuk dan menerobos unsur pemerintahan, tidak jarang banyak kasus mencuak dipublik akan adanya birokrasi melakukan rekreasi dari pada mementingkan kepentingan rakyat. Mengaku menjalankan misi keummatan dan kebangsaan dengan mondar-mandir pergi kiri kanan keluar negeri dengan Alasan studi banding. Lalu pulang hanya memaparkan ketimpangan dan kemelaratan, padahal mereka semua tidak pernah belajar bagaimana ketimpangan muncul. Sebab yang dilakukan hanya selfi dan berfoto-foto dimonumental terkenal.
Lantas apa maksud gerakan reformasi? Benarkan kita kehilangan nilai luhur kehidupan kebangsaan? Hemat saya memang sudah sewajarnya kita membuka dan mempertanyakan agenda perubahan besar itu, sebagai penjewantahan terhadap sikap kebangsaan generasi. Reformasi yang dimaksud dengan tujuan untuk mengembalikan kedaulatan tertinggi ditangan rakyat kini sudah berubahah arah.
Kesejahteraan yang dijanjikan berujung pada penyimpangan, alibi sang politisi masuk disetiap sendi kehidupan. Saatnya negara beserta seluruh komponennya kembali pada kitmah Pancasila sebagai instrumen yang fundamental dalam penyelesaian persoalan kesenjangan, amanah UUD 1945 pasal 34 ayat 1 dan 2 bahwa Bumi beserta dengan seluruh isinya dipergunakan dengan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan rakyat banyak. Ini mengindikasikan bahwa ijtihad berdirinya negara ini agar kedaulatan dan kesejahteraan benar-benar ada ditangan rakyat.
Berapa waktu lalu pada tanggal 24 September 2019, gerakan mahasiswa dan pelajar tiba-tiba membumi dan menjadi isu penting pada ruang publik. Ketidak percayaan pada birokrasi pemerintahan merupakan wujud nyata dari meletusnya gerakan 24 septa. Misalnya dengan adanya hastag #TuntaskanAgendaReformasi seakan menampar pemerintah yang memimpin negeri ini telah terlampau jauh dari misi kebangsaan setelah orde baru selesai. Hemat saya ini merupakan reaksi psikologi secara sadar pemuda ketika tidak mampu lagi membelenggung dan melihat penyimpangan, kebohongan, dan kecenderungan sistem pemerintahan. Ini merupakan reaksi kegelisahan dan keraguan akan direbut kembali kedaulatan dari rakyat oleh negara. Wajar bila protes, kritikan, dan pemberontakan terjadi dimana-mana.
Saya teringat pada ungkapan Albert Camus pada sebuah tulisannya tentang Seni Pemberontakan, bagi Camus pemberontakan adalah cara terbaik untuk mengendalikan bahkan mengambil alih kekuasaan. Menurut Camus naik gunung dan menikmati awan-awan keindahan semesta merupakan kemunafikan terhadap kejahatan yang terjadi dijalan-jalan dan lorong-lorong. Seni memberontak harus dijiwai, biarlah orang lain memandang kita jahat dengan terus menggugat penguasa. Dan bagi Camus cara terbaik memberontak adalah mengasingkan diri menata bahwa ada gelap setelah terang.
Penjarakan Demokrasi!
Saya teringat pada sebuah tulisan Dawam Rahardjo yang mengkaji Nalar Ekonomi Politik Indonesia 2010. Ada bantahan yang menarik pada persoalan demokrasi dan ekonomi, benarkah demokrasi lebih dulu dari ekonomi. Dalam konsep Smith kekuasaan tertinggi ada pada ekonomi sebab untuk memenangkan kekuasaan harus punya power ekonomi yang kuat, bahkan untuk merebut kekuasaan diperlukan kekuatan ekonomi yang besar.
Demokrasi dan ekonomi kalau dilihat lebih jauh memang tak bisa dipisahkan. Kedua item tersebut merupakan unsur yang kuat dalam membangun negara besar berkemajuan. Tanpa ekonomi yang matang akan terjadi kepincangan demokrasi yang tidak baik, begitupun sebaliknya. Katanya Dawam Rahardjo ini adalah perbedaan yang mendasar iklim demokrasi di Indonesia dengan negara maju lainnya, Rahadjo menyanggah dengan tulisannya bahwa untuk melihat ekonomi politik Indonesia harus menggunakan istrumen geokultur. Yang dimaksud Rahadjo bahwa iklim demokrasi Indonesia harus dianalisi secara geografis dan kultural. Secara geografis ada iklim yang beda antara wilayah Indonesia Timur dan Indonesia Barat begitupun pada kondisi budaya. Bagi Rahadjo keduanya sangat menunjang mensed seseorang dalam melihat demokrasi.
Sampai sekarang harus kita akui bersama bahwa politik uang dan politik praktis sudah masuk di dalam lubuk hati demokrasi kita. Seolah demokrasi adalah pilihan antara nawacita dan materi. Ini semua mengingatkan kita dengan ungkapan Aristoteles yang disampaikan dalam dialognya dengan seorang murid dalam bukunya Hakikat Eros Cinta dan Manusia. Bahwa puncak dari sebuah kebutuhan mendasar manusia ada tiga cinta kemerdekaan dan nafsu.
Saya hanya ingin menyampaikan bahwa kebutuhan yang paling mendasar dari kehidupan setelah cinta adalah kemerdekaan, dalam demokrasi pilihan merupakan sebuah kewajiban yang harus dilakukan kosenkuensinya merupakan keniscayaan. Dalam kehidupan berdemokrasi kita harus sampai pada kemerdekaan memilih dan menentukan sikap. Sebab tradisi berdemokrasi bukan sebuah pesta politik tapi otentiknya adalah wujud nyata pertarungan ide dan gagasan diruas jagad raya memperebut kepercayaan publik.
Indonesia sekarang sedang berada dalam masa transisi perubahan zaman seiring berjalannya waktu, sebagian besar kehidupan sudah disibukan dengan dinamika perpolitikan kebangsaan kita. Sampai sekarang belum ada yang mampu menjawab bagaimana peran intelektual dalam mengisi ruang publik. Bagi saya marilah kita jujur untuk tidak ikut terlibat memenjarahkan demokrasi, sebagai seorang intelektual kita berbagi memberikan pencerahan dan menjadi jebatan antara ketidak tahuan masyarakat dan kebingan elit politik supaya tidak terjadi ketimpangan sosial.
Peran itu harus diambil alih oleh cendekiawan pencerah dalam mengisi dimensi-deminsi sosial, atau dikenal dalam bahasa Gramci adalah Intelektual organik. Sebab peran cendekiawan dan intelektual muda merupakan penjewantahan atas kejahatan yang dilakukan oleh penguasa, sebab kejahatan yang paling jahat adalah penjahat kemanusiaan. Kejahatan kemanusiaan ialah adanya kesenjangan antara nilai dasar kebutuhan dan ketidak adilan penguasa.
Terakhir, teringat pada pesan Ali bin Abu Thalib "Ketika orang baik diam maka orang-orang jahat akan mengisi ruang-ruang publik".
Penulis: Muhammad Yusuf Malik, menempuh studi di Universitas Muslim Indonesia, Ketua Umum komisariat USTS 2018-2019.