Seandainya Madeleine adalah Rektor Kita
“UIN itu kampus peradaban, bukan? Jika demikian kampus ini mestinya menciptakan manusia, tak perlu ikut-ikutan menciptakan mesin seperti kampus yang lain. Tapi, apalah kami, orang-orang gila yang bermasa depan suram, ditemani adik-adik bodoh karena mau mendengar orang-orang gila seperti kami”.
Resolusi Yang Usang, Zulkifli M; Hal. 30
Kutipan di atas berasal dari salah satu judul cerpen, “Adab Beradik”, yang dimuat dan dikemas ke dalam bentuk buku antologi cerpen yang oleh penulisnya, Zulkifli M, beri judul “Resolusi Yang Usang”.
Narasi dalam cerpen tersebut ibaratkan ruang perenungan bagi saya. Acapkali saya menempatkan diri dalam alur ceritanya, membayangkan, merasakan bahkan merefleksikannya dengan beberapa kondisi perguruan tinggi khususnya di Makassar yang pernah saya tempati bertutur sapa dengan kawan sesama mahasiswa meskipun dengan waktu cukup singkat.
Memandang dari beberapa sisi, perguruan tinggi merupakan arena lahirnya para generasi muda manusiawi yang telah ditempa dan diasah melalui tradisi intelektual. Defenisi itulah yang menjadi buah bibir baik dalam pidato penyambutan mahasiswa baru, seremoni penamatan maupun pidato-pidato lainnya. Namun apakah ihwal demikian betul adanya dalam realitas perguruan tinggi saat ini?
Pemerhati Sosial Makassar, Willy Kumurur, dalam esainya “Kata, Pedang Bermata Dua”, menafsirkan kata sebagai sebuah daya, kekuatan yang kita miliki untuk mengekspresikan diri dalam berkomunikasi, berpikir dan dengan demikian menciptakan peristiwa dalam kehidupan kita.
Namun kata-kata sebagai kekuatan akan menjelma menjadi kelemahan. Senada dengan itu, Don Miguel Ruiz menuliskan dalam bukunya “The Four Agreements” bahwa semua keajaiban yang terjadi berasal dari kata-kata. Kata yang penggunaanya sesuai dengan kenyataan menghasilkan keajaiban, namun penyalahgunaanya ibarat black magic.
Melirik kembali dari sisi lain yang jarang dikunjungi, perguruan tinggi ibarat sebuah bilik tanpa jendela. Hampir dapat dipastikan semua rumah atau bangunan memiliki jendela tentunya. Selain berfungsi sebagai jalur masuk udara atau cahaya untuk menerangi seisi ruangan, jendela adalah pintu empati manusia. Dari jendela, kita mampu melihat proses kehidupan berjalan di sekeliling kita sekaligus merasakan apa yang dirasakan orang lain.
Sejatinya, perguruan tinggi haruslah memiliki jendela empati yang akan menjadi ruang bagi manusia di dalamnya untuk menatap dan merasakan kondisi sekitarnya. Sebaliknya jika tidak maka perguruan tinggi dalam hal ini kampus hanya akan menjadi tempat mencetak dan menciptakan mesin-mesin tangguh dan berjalan bukan karena keinginan sendiri melainkan tergantung yang mengendalikannya.
Kampus sebagai bangunan fisik perguruan tinggi dan ruang memanusiakan manusia bukan lagi menjadi ‘rahasia’ melainkan ihwal tersebut telah menjadi gagasan publik. Manusia yang hidup di dalamnya dikategorikan sebagai masyarakat ilmiah, yakni kelompok masyarakat yang mengedepankan kinerja akal dan pemikiran sehat dengan kedalaman ilmu pengetahuan untuk memecahkan perkara yang terjadi dalam kehidupan sosial.
Polemik di Perguruan Tinggi
Gramsci menuturkan, semua manusia adalah kaum intelektual namun tidak semuanya memahami fungsi intelektual dalam kehidupan sosial termasuk di antaranya mahasiswa (i), tenaga pendidik bahkan jajaran pimpinan di perguruan tinggi. Sepanjang tahun 2019 tercatat beberapa permasalahan yang terjadi dalam perguruan tinggi khususnya di kota Makassar.
Tindakan pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan terjadi di dua PTN di Makassar. Pertama, dilansir m.detik.com terkait pengakuan pemasang kamera GoPro di toilet mahasiswi yang terjadi November lalu.
Kedua, ungkapan sexisme atau catcalling oleh seorang mahasiswa terhadap seorang mahasiswi yang saat itu menjadi narasumber dialog terbuka. Ketiga, seorang mahasiswa nekat menghabisi nyawa seorang mahasiswi secara tragis yang belakangan diketahui memiliki hubungan spesial.
Sementara itu, tindakan yang dikategorikan sebagai kekerasan akademik yakni Drop Out (DO) 11 mahasiswa di salah satu sekolah tinggi di makassar. Menginap di kampus sebagai bentuk respon mahasiswa terhadap pelarangan tersebut yang dinilai tidak sinkron dengan posisi kampus sebagai wadah berekspresi dan berkegiatan mahasiswa.
Selanjutnya, kasus maladministrasi pengelolaan perguruan tinggi terjadi di salah satu kampus negeri di Makassar. Dimuat di kolom Opini Fajar.co.id, setidaknya terdapat tiga tulisan yang menyoroti kasus maladministrasi tersebut.
Maladministrasi pengelolaan perguruan tinggi yang dimaksud adalah pemilihan pejabat yang tidak sesuai aturan main yang sebenarnya. Misalnya, dekan yang tidak memenuhi syarat. Yang tercantum dalam Statuta kampus yakni minimal Lektor Kepala sementara yang terpilih baru berpangkat Lektor.
Begitupula dengan beberapa pejabat penting di program studi yang juga tidak sesuai dengan Statuta dan peraturan menteri. Hal demikian tentu tak dapat ditolerir karena mengingat perguruan tinggi harus berjalan secara tertib administrasi sebagaimana diatur dalam konstitusi perguruan tinggi.
Tiga polemik dalam arena perguruan tinggi di atas setidaknya menjadi representasi dari banyaknya peristiwa lainnya sekaligus mengiyakan apa yang dibahasakan Gramsci sebelumnya terkait kaum intelektual yang masih banyak tak paham fungsi dan nilai intelektualitas khususnya dalam tata kelola perguruan tinggi.
Segelintir peristiwa tersebut kembali mengingatkan kita pada novel Les Miserables karya Victor Hugo yang menggambarkan kisah Wali Kota Madeleine untuk menolong Fantine sekaligus berkorban untuk kebahagiaan orang miskin adalah sebuah pilihan hati nurani.
Wali Kota Madeleine menunjukkan sisi terbaik seorang pemimpin. Madeleine berani menukar kebahagiaannya untuk menemukan kebenaran, sebuah jalan yang minim dilakukan oleh banyak pemimpin saat ini.
Madeleine adalah sosok pemimpin yang dibutuhkan negeri ini yang menjalankan amanah dan memilih hidup dengan menghadapi bahaya bukan memilih bahaya sebagai cara untuk hidup. Yang dimaksud dengan memilih hidup dengan menghadapi bahaya adalah seseorang yang mempertaruhkan hidupnya untuk menemukan sebuah kebenaran. Seperti yang dikatakan Dante Aligheri, yakni menemukan sebuah pintu yang menyeramkan, sebuah pintu kebenaran.
Pintu itulah yang dipilih oleh Madeleine sebagai seorang wali kota yang harus bertempur melawan keraguannya sendiri dan memilik masuk. Masuk untuk menghadapi bahaya, bukan hidup dalam bahaya. Meskipun ia akhirnya di penjara namun orang yang dipimpinnya masih menganggapnya sebagai sosok wali kota yang sangat dermawan.
Namun dalam arena kepempinan kita saat ini khususnya di perguruan tinggi kebanyakan memperdagangkan kedalaman jiwanya hanya untuk memperoleh kekayaan materi dan tak memikirkan nasib orang-orang yang dipimpinnya. Tentu, kita semua mengharapkan sosok Madeleine dalam novel Les Miserables lahir di dunia nyata, di dunia kepemimpinan negeri kita tercinta.
Terkhusus di perguruan tinggi, andai saja Rektor kita adalah Madeleine maka tak akan ada lagi mahasiswa yang berhenti kuliah hanya karena persoalan tak memiliki biaya, tak akan ada lagi kekerasan akademik (skorsing dan DO) bagi mahasiswa yang melayangkan protes terhadap kebijakan kampus yang tidak pro mahasiswa. Andai saja yah! Namun marilah kita berdoa menurut ketidakpercayaan masing-masing, semoga Madeleine hadir dalam kenyataan dan menjadi Rektor kita.
Penulis: Askar Nur, Mahasiswa jurusan Bahasa & Sastra Inggris Fakultas Adab & Humaniora UIN Alauddin Makassar. Penulis merupakan Presiden Mahasiswa DEMA UIN Alauddin Makassar Periode 2018 dan Duta Literasi UIN Alauddin Makassar 2019.