Sedikit Hal Tentang Buku dan Tradisi Ilmiah
“Aku rela di penjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas.”
Muhammad Hatta
Hatta adalah salah satu contoh bapak republik yang memelihara buku hingga akhir hanyatnya, kecintaanya kepada buku dimulai saat ia sekolah dagang di Batavia pada tahun 1919. Ketika ia di asingkan di Banda Neira dan Boven Digul ia juga membawa 16 peti buku bacaan. Bahkan buku tulisannya yang berjudul Alam Pikiran Yunani ia jadikan mahar untuk menikah dengan Rahmi. Di dalam artikel historia id yang berjudul Soekarno, Hatta, Sjahrir dan Buku, sepanjang hidupnya Muhammad Hatta mengoleksi sekitar 10.000 buku hingga ia menjadi orang langka Indonesia. Yah memang sungguh langka apabila di era sekarang kita ingin menjadikan ini sebagai sebuah perbandingan.
Saat ini jumlah pengoleksi dan pembaca buku dapat kita lihat di pojok-pojok kampus atau bahkan di sudut-sudut kamar mahasiswa. Alhamdulillah apabila masih ada tetapi yang tragis dari seorang mahasiswa apabila tidak memiliki 1 pun koleksi buku bacaan dan yang lebih tragis dari itu adalah yang punya uang banyak dan mampu membeli buku tetapi buku beralih fungsi menjadi bahan pajangan, mungkin seperti bunga mawar yang hanya dapat di pandang, uwwuww unch uncchh.
Di dalam kampus kita boleh menengoh para pelapak yang duduk di hadapan buku-bukunya dan seringkali kesepian bahkan terasa asing di tengah keramain ini mungkin suatu bentuk perenungan para pegiat untuk memahami, menganalisis atau bahkan mengkritik bacaan yang sedang di daras. Bagi para ciwi-ciwi revolusioner apabila melihat sosok-sosok para pelapak atau pembaca seperti ini bisalah di temani duduk paling tidak di ajak ngobrollah entah mengenai keadaan kampus atau bahkan hal-hal sosial diluar sana yang mungkin tidak sesuai dengan keadaan yang semestinya barangkali suatu saat bisa berdampingan menjadi kawan belajar dan berjuang. Hhehee.. Oiya jangan terlalu tegang guys.
Para pegiat memiliki semangat merawat buku dan pikiran-pikiran cemerlangnya dalam bentuk tulisan yang beragam entah dalam bentuk artikel, esai, quotes dan tidak jarang dari mereka yang punya buku sendiri walaupun tidak dalam bentuk terbitan. Kita bisa melihat tradisi ilmiah para aktivis kampus terdahulu seperti Gie, Ahmad Wahid dan masih banyak lagi. Mereka saat itu tidak hidup seperti hari ini yang apapun serba mudah apabila ingin mempelajari suatu hal tinggal ke toko buku atau tinggal searching di google pun jadi, mereka dapat hidup di zamannya sesuai dengan kondisi zaman dan kita dapat hidup di zaman kita sesuai dengan kondisi zaman.
Dalam hal merawat tradisi ilmiah mungkin kita tidak sebanding dengan mereka yang sudah membuat banyak karya dan catatan. Para aktivis senior, kalau mau cari bahan bacaan atau belajar harus kawalahan dulu cari toko buku atau orang-orang yang lebih paham, sekarang kita sebenarnya lebih mudah apabila ingin mencari bahan bacaan atau belajar tinggal merapat ke lapak, ke perpustakaan, ke teman, ke senior dan googling.
Sepertinya inilah perbandingan kita apabila menengok kebelakang akan tetapi mereka (para aktivis senior) cukuplah di jadikan sebagai penyemangat hari ini, tidak usah berlebihan mengagung-agungkan, bukan berarti lebih memuji generasi sekarang. Kita harus sama-sama memahami bahwa kondisi zaman tidak sama kita mungkin sedikit lebih paham dengan kondisi kampus hari ini. Salah satu hal yang dapat dirasakan langsung adalah kita tidak dapat dipisahkan dari tanggung jawab sosial sebagaimana yang menjadi tanggung jawab mahasiswa di dalam kampus. Dari sini kita bisa merasakan langsung keadaan apa yang hadir di tengah kerumunan manusia.
Tradisi ilmiah di dalam kampus memang tidak mudah untuk di hadirkan begitu saja, kita telah mendapati berbagai macam kelompok studi dan organisasi kemahasiswaan yang berupaya merawat tradisi ini namun selalu saja tidak kita temukan keramaian seperti tempat-tempat hiburan lainnya.
Tradisi ini semestinya harus sama-sama kita hadirkan kembali minimal dengan cerita-cerita lepas mengenai hasil bacaan, bagaimana pandangan kawan-kawan mengenai situasi hari ini dan juga apa yang telah di kaji dan temuan apa yang kita dapatkan. Apabila teman diskusi seperti ini sekarang jarang ditemukan di dalam kampus, kenapa tidak kita mulai merawatnya mulai dari diri sendiri.
Penulis: Nur Saddam, mahasiswa Teknologi Pendidikan UNM dan belajar di banyak organisasi.