Fri, 18 Apr 2025
Esai / Ibnu Azka / Mar 03, 2025

Tarawih Paling Depan, Subuh Ketinggalan

Momentum ramadhan adalah momen yang paling di tunggu oleh seluruh umat muslim di dunia, secara khusus di Indonesia. Bukan hal yang mengejutkan jika menjelang ramadhan semua umat muslim sibuk mempersiapkan diri untuk menyambut, baik secara fisik, mental, dan bagi pengurus masjid secara umum yang kerap menyulap masjid agar lebih estetik dari bulan lainnya.

Lampu ditambah agar lebih terang, tembok di cat, speaker dikeraskan, karpet lebih empuk alias baru, AC semakin banyak, itu semua dilakukan tak lain hanya untuk memberikan kenyamanan bagi umat muslim dalam beribadah.

Suasana ramadhan setiap tahunnya selalu jadi magnet tersendiri bagi individu muslim untuk bergegas sesegera mungkin ke masjid.

Entah mengapa yang tadinya tempat paling nyaman untuk berkumpul dengan keluarga dan teman di café, lapangan futsal, perpustakaan, di mall, dan tempat lainnya justru di bulan ramadhan tempat yang asyik dan nyaman rasa-rasanya hanya masjid.

Masjid yang tadinya hanya diisi oleh imam,para lansia, dan bocil-bocil TPQ  (Taman Pengajian Qur’an), kini semakin beragam, utamanya anak-anak muda yang wajahnya hanya muncul seminggu sekali (baca:shalat jum’at). 

Suasana malam rasa-rasanya lebih hidup, orang-orang jadi lebih sering baca Qur’an daripada Koran dan semangat ibadah begitu membara. Jamaah di masjid semakin membludak, seolah ada informasi pembagian sembako dari pemerintah, full desak-desakan (baca:ngantri).

Orang-orang sekitar nampak begitu khusu’ melaksanakan ibadah tidak hanya isya dan tarawih, namun saking semangatnya tembus witir, suatu peningkatan dan simbol ghirah (baca:semangat) dalam beribadah, dan ini harus di apresiasi.

Namun, ada satu pertanyaan yang kerap terlintas, mengapa semangat beribadah ini hanya terjadi di bulan Ramadhan? Apakah karena dorongan akan janji pahala yang berlipat ganda, atau sekadar fenomena ikut-ikutan (FOMO – Fear of Missing Out)?

Istilah modern ini menunjukkan kecenderungan seseorang untuk bertindak bukan karena kesadaran pribadi, melainkan karena takut tertinggal dari tren atau kebiasaan kolektif di sekitarnya. Tanpa disadari, banyak orang terjebak dalam pola pikir dan tindakan yang didasarkan pada arus mayoritas, bukan dari pemahaman dan niat yang benar-benar tulus (baca:kecuali fulus).

Mengapa antusiasme itu hanya terjadi di bulan ramadhan saja? Bukankah bulan lainnya tak kalah penuh berkah juga? Misalnya bulan Dzulqa'dah dan Dzulhijjah sebagai bulan haram dan persiapan melaksanakan haji. Bulan ini juga memiliki keistimewaan, tapi kok rasa-rasanya melaksanakan ibadah tak seantusias saat ramadhan?

Dalam logika rasionalitas kita misalnya, ramadhan bulan yang secara kuantitatif memiliki anjuran yang cukup banyak ibadah dibanding bulan-bulan lainnya, selain anjuran wajib berpuasa selama sebulan penuh, shalat tarawih, witir, dan ibadah lainnya. Tetapi justru yang banyak itulah kita lakukan, sedangkan ibadah di luar ramadhan yang secara kuantitatif tadi tidak sebanyak ramadhan kita abaikan begitu saja. 

Padahal dalam stratifikasi ibadah, shalat lima waktu memiliki kedudukan yang jauh lebih tinggi dibanding ibadah sunnah mana pun, termasuk tarawih. Shalat subuh, khususnya, memiliki keutamaan yang luar biasa. Rasulullah? bersabda:

Terjemahannya : "Barang siapa yang melaksanakan shalat Subuh berjamaah, maka dia berada dalam perlindungan Allah sepanjang hari itu." (HR. Muslim)

Lalu, mengapa semangat kita terhadap shalat subuh tidak seirama dengan semangat kita terhadap tarawih ? Salah satu penyebabnya bisa jadi adalah pola pikir yang keliru dalam memahami ibadah Ramadhan.

Banyak yang menganggap bahwa tarawih adalah “ikon” utama bulan suci ini, sehingga sebagian besar menaruh perhatian lebih pada ibadah tarawih. Sementara itu, shalat subuh dianggap sebagai kewajiban harian biasa, tanpa menyadari bahwa ia justru lebih utama dan lebih berat ujiannya. Selain itu, faktor kelelahan juga sering menjadi alasan klasik.

Setelah menjalankan tarawih yang panjang dan mungkin dilanjutkan dengan tadarus, banyak orang tidur terlalu larut, sehingga sulit bangun saat Subuh. Padahal, jika kita mampu mengatur waktu istirahat dengan baik, masalah ini seharusnya bisa diatasi.

Fenomena ini bukan hal baru. Banyak orang yang begitu bersemangat menjalankan shalat tarawih, bahkan rela menghabiskan waktu berjam-jam di masjid, tetapi ketika azan Subuh berkumandang, mereka masih terlelap dalam tidurnya. Jika direnungkan (baca:kalau mau), ada yang janggal dalam pola ibadah seperti ini.

Bagaimana bisa kita begitu antusias menjalankan ibadah sunnah, tetapi justru lalai terhadap ibadah wajib? Hal ini seharusnya menjadi bahan renungan bagi kita semua.

Ramadhan bukan hanya tentang seberapa banyak rakaat tarawih yang kita lakukan, tetapi juga tentang bagaimana kita menata keseimbangan dalam ibadah. Jangan sampai semangat ibadah sunnah membuat kita lalai terhadap yang wajib.

Ulasan ini tentu bukan ruang menggurui, tetapi ruang untuk merefleksikan mental model (cara pandang lama) kita terhadap ibadah ramadhan, menuju ke mental model baru untuk menjadikan ramadhan sebagai basis melakukan perubahan di bulan-bulan lainnya.

Jika ramadhan kita digembleng untuk meninggalkan maksiat, menjauhi larangan Allah swt, maka selepas ramadhan mentalitas itu harus dijaga bahkan tidak pasif berhenti pada ruang personal semata, namun bergerak menuju ruang-ruang komunal (umum) untuk melakukan kebaikan bersama. 

“Jika Aku Menyembahmu karena Api Nerakamu, Bakarlah aku di dalamnya, dan Jika Aku Beribadah Karena Surgamu, Haramkanlah aku daripadanya, Namun jika aku Menyembahmu karena Kecintaanku Kepadamu, jangan palingkan Wajahmu dariku” Rabiatul Adawiyah

 
 
Penulis: Ibnu Azka, Master Komunikasi dan Masyarakat Islam, penulis dan akademisi.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.