UU TPKS Disahkan, Selanjutnya Apa?
Setelah perjalanan panjang perumusan produk hukum Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), akhirnya peraturan tersebut disahkan pada rapat paripurna DPR RI (12 April 2022). Perkara tersebut tentu menjadi angin segar bagi seluruh masyarakat Indonesia khususnya perempuan yang kerap menjadi objek kekerasan seksual.
Yang sebelumnya sebagai Rancangan Undang-Undang (RUU), pencapaian ini di inisiasi sejak tahun 2012 sebagai RUU PKS (Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual) kemudian berganti nama menjadi RUU TPKS pada Tahun 2019.
RUU ini sempat beberapa kali keluar masuk Prolegnas prioritas DPR RI dikarenakan pada tahun 2020 Komisi VIII beranggapan bahwa sebelum pembahasan RUU TPKS menurutnya RKUHP harus disahkan terlebih dahulu karena RKUHP punya keterkaitan dengan RUU TPKS itu sendiri. RUU ini juga kerap kali direvisi dan bahkan menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat.
Salah satu pembahasan dalam UU TPKS yang sempat kontroversi yakni UU TPKS dinilai melanggengkan perzinahan. Hal tersebut diutarakan oleh salah satu kader dari fraksi PKS, yaitu Bukhori. Melansir dpr.go.id Ia mengatakan bahwasanya UU TPKS ini berpotensi menimbulkan tafsir pelegalan zina dan penyimpangan seksual.
Akan tetapi hal tersebut dibantah oleh Siti Aminah Tardi (Komnas Perempuan). Mengutip nasional.kompas.com, siti mengungkapkan bahwa “tidak ada satu pun pasal di dalam RUU PKS yang menyatakan zina diperbolehkan, baik zina dalam pengertian KUHP sekarang maupun zina dalam pengertian sosiologis.” Kehadiran perspektif pro dan kontra terhadap UU TPKS tersebut justru disinyalir sebagai salah satu faktor pendukung disahkannya RUU TPKS menjadi UU TPKS.
Hal ini merupakan kemenangan besar yang selama ini dinantikan. Mengingat lonjakan kasus kekerasan seksual yang meningkat tiap tahunnya. CATAHU 2022 Komnas Perempuan mencatat terdapat 7.029 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan yang ditangani oleh lembaga layanan.
Kasus kekerasan terhadap perempuan tersebut terjadi dari ranah privat hingga publik secara umum. Tetapi perlu diketahui bahwa beberapa kasus tersebut merupakan kasus yang sudah terlapor di lembaga layanan. Sedangkan ada banyak kasus atau peristiwa yang belum dilaporkan karena banyak faktor penghambat. Salah satu alasan mengapa banyaknya korban diluar sana yang tidak berani untuk melapor karena akan selalu ada stigma negatif yang dilekatkan kepada penyintas. diantaranya adalah stigma hilangnya kehormatan seorang perempuan. Kata “suci” atau “nakal” kerap kali keluar dari mulut masyarakat sehingga hal ini yang menimbulkan rasa takut atau cemas bagi para korban yang ingin melapor. Selain terhambatnya proses pelaporan, hal ini juga dapat menghambat proses pemulihan penyintas.
Pengesahan UU TPKS ini merupakan sebuah kemenangan yang patut untuk dirayakan. Namun, perjuangan dalam melawan segala bentuk ketidakadilan terhadap para penyintas bukan hanya sampai disini. UU ini harus terus dikawal dalam hal pengimplementasiannya terhadap masyarakat Indonesia, khususnya perempuan.
Selain itu, aturan turunan harus segera disusun oleh para pemangku kebijakan agar dapat mengoptimalkan implementasi dari UU TPKS ini. Merumuskan Peraturan Daerah dan Per Presiden harus menjadi prioritas utama pemerintah untuk saat ini. Meningkatnya kasus kekerasan seksual harus menjadi fokus utama pemerintah demi terlaksananya sila kelima dari Pancasila yaitu “keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Kehadiran UU ini bisa menjadi payung hukum yang dapat melindungi dan memberikan keadilan bagi siapapun dan dari kalangan manapun. Pelaksanaan aturan ini harus dibarengi dengan komitmen, semangat dan integritas para pemangku kebijakan serta masyarakat agar mampu menciptakan ruang aman bagi siapapun.
Adanya UU TPKS ini diharap bisa menjadi solusi dan dapat diterapkan secara optimal. Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa angka kekerasan seksual akan hilang sepenuhnya, namun dengan langkah kecil ini bisa meminimalisir terjadinya kekerasan seksual. Pemerintah dan masyarakat harus bekerjasama agar tercipta lingkungan yang aman dari kekerasan seksual. Juga sangat dibutuhkan keseriusan dan konsistensi dari pemangku kepentingan dalam mengakselerasi penyelesaian sejumlah aturan pelaksanaannya.
Maka dari itu, setiap elemen masyarakat wajib untuk terus mengawal pengimplementasian dari UU ini bukan hanya sampai pada tahap pengesahan. Selain dari itu, perlindungan sepenuhnya harus diberikan terhadap korban kekerasan seksual, siapapun dan dimanapun itu karena setiap orang berpotensi menjadi korban atau menjadi pelaku. Sosialisasi tentang kekerasan seksual harus terus dimassifkan karena perubahan bisa terjadi ketika semua orang memiliki basis kesadaran yang sama khususnya dalam pencegahan dan pengawalan kasus kekerasan seksual.
Penulis: Nurwahyuni Muslimin, mahasiswa UIN Alauddin Makassar, dapat ditemui melalui instagram @callmeyuni_