Karena Lelah, Aku Ingin Apatis
"Hanya ada dua pilihan: menjadi apatis atau mengikuti arus. Tapi, aku memilih untuk jadi manusia merdeka". Ini adalah kata-kata Soe Hoek Gie. Kutipan kata dari bukunya "catatan seorang demonstran" yang menjadi motivasi bagi saya. Tapi, saya hanya ingin menjadi merdeka atau apatis. Tapi rasanya begitu sulit, mungkin karena kebiasaan yang konyol dan sangat suka dengan kelelahan.
Saya menyukai rasa lelah, dan lelah itu kujadikan sebagai hiburan dalam keseharian. Kendati saya menyukainya, saya ingin selalu terlibat dalam kelelahan itu. Saya sudah merasa lelah dengan semua aktivitas ini.
Tapi apalah daya hadir di tempat yang ramai dan penuh makna (orang mana yang mau hidupnya tanpa makna). Namun, sekali lagi dari rasa lelah itu, saya mau menjadi orang yang santai dengan menikmati indahnya menjadi kaum rebahan.
Dari sini, saya harus meninggalkan dunia yang mengharuskan untuk menjadi orang yang lelah. Sangat melelahkan tapi menyenangkan menjadi orang yang sering aktif di dunia penuh lelah. Berjalan kesana dan kemari, menghabiskan waktu luang dengan kesibukan. Oh iya bukan kesibukan, Mungkin saja hanya sok sibuk. Serasa ingin meninggalkannya karena itu melelahkan dan membuat orang di rumah berfikir saya orang yang suka keluyuran.
Kesukaan dengan keluyuran sudah terawat jauh sebelum memasuki dunia kampus. Meskipun waktu kecil sedikit di manja oleh orang tua (mungkin dianggap lemah). Dulu, saya yang paling di awasi waktu bermain dan sering keluar rumah. Bahkan, mulai dari bangun tidur sudah keluar rumah jika hari libur. Meski pulang dari bermain terkadang harus di eksekusi sama bapak sendiri (heheh).
Itu dulu, mungkin kebiasaan itulah yang menggiring saya waktu kelas dua SMP mulai mengenal dunia kenakalan remaja. Kelas satunya masih untung karena bergaul dengan orang-orang pilihan (katanya). Ya, bisa dikatakan pilihan karena waktu itu saya masuk kelas unggulan.
Keren juga bisa membuat bangga orang tua. Tapi setelah naik kelas, berpisah dengan teman, lalu bertemu dengan orang baru akhirnya pergaulanku berubah. Berteman dengan orang yang nakal dan sering keluyuran, bolos sekolah, celana botol, rambut pirang, dan kriminal (kelas kutu) pun sudah saya lakukan.
Di masa itulah saya sudah mengenal mabuk, dunia gangster (Ala anak baru puber), perkelahian dan membuat busur. Ini sudah menjadi kebiasaan sampai dengan lulus dari SMP. Karena sudah merasakan kenakalan itu, di sekolah menengah saya memilih untuk mengubah gaya hidup.
Mulai dari melihat apa saja yang menonjol di sekolah, melihat siapa yang bisa diajak berkawan. Disini saya munafik, memilih jadi pendiam dan tidak menyukai dunia kenakalan lagi. Jadi, saya memilih masuk organisasi.
Mengenal dunia organisasi sekolah, kesan pertama yang saya dapatkan adalah tentang indahnya kebersamaan, mengenal lebih banyak teman berbeda kelas, dan mengisi waktu luang setelah pulang sekolah. Saya menjadi orang yang tiba-tiba suka dengan organisasi. Sering terlibat dalam kegiatan organisasi, dan dari sinilah saya bisa menikmati banyak tempat rekreasi.
Saking sukanya, hampir tidak ada kegiatan yang saya lewatkan. Bahkan, saya pernah merasa kecewa karena ada kegiatan dan saya tiba-tiba sakit dan mengharuskan tinggal dirumah. Dari rumah, saya hanya membayangkan apa yang dilakukan teman-teman diluar sana. Rasanya sangat rugi jika saya tidak ada dalam kegiatan itu.
Memang organisasi adalah wadah yang bisa mempertemukan dengan orang banyak. Yah tentu saja, makanya saya memasuki semua organisasi di sekolah seperti PMR, KIR, seni, rohis, OSIS kecuali Pramuka dan Paskibra. Jadinya sering terjadi konflik dengan mereka. Pramuka adalah musuh nyata PMR, jadinya keren juga dinamika di SMA. Dari pertikaian ternyata ada pembelajaran di sana (Management Konflik) juga dari pertarungan untuk menjadi siapa yang lebih baik di sekolah dan menduduki semua pimpinan organisasi (Politik permulaan).
Mengenal dunia yang aktif dan tenggelam di organisasi, membuat saya lupa cara untuk menjadi orang yang santai dan tidak banyak kesibukan. Tapi, lagi-lagi saya senang dengan sesuatu yang melelahkan. Yah, tamat SMA dan mendapat rejeki tiba tiba lulus jalur undangan di jurusan Hukum Pidana Dan Ketatanegaraan UIN Alauddin Makassar. Setelah lulus, saya berfikir mengubah pola hidup yang kedua kalinya. Tapi, gagal karena keadaan yang memaksa untuk terjun.
Dunia kampus sangat menarik dengan kebiasaan mahasiswa yang berbeda-beda. Karena doktrin senior, saya suka dunia gerakan juga dengan aktif di berbagai organisasi. Mungkin karena kebiasaan di sekolah menengah Jadinya kecintaan dengan organisasi tetap terawat.
Cinta dengan organisasi lalu mengabdikan diri, serta bergerak dan mengembangkan organisasi dengan penuh semangat. Akhirnya lagi-lagi saya harus aktif dan tidak menginginkan ada satu moment yang terlewatkan. Jujur saja, saya ingin menjadi orang yang "apatis".
Kata "Apatis" bagi pendengaran orang- orang pergerakan mungkin menjadi kata yang bising ditelinga mereka. Tentu saja ini berlawanan dengan pemahaman orang-orang yang aktif. Tentu saja saya tidak ingin di hujat dengan sebutan "Apatis". Rasanya terlalu pahit, jika kata itu di sampaikan kepada saya.
Jadinya saya harus menghindari sebutan itu dengan menjadi orang paling peduli dengan nasib rakyat tertindas, mahasiswa yang di dzolimi. Tapi, kadang juga kefikiran dengan itu kenapa saya harus pedulikan mereka sementara diri sendiri saja belum jelas. Tapi selalu ada bisikan "jangan!!! Itu fikiran kaum apatis".
Kau bodoh!!! Kata hatiku, tapi saya harus bagaimana?, Ini pertanyaan pada diri sendiri. Sesekali terdiam memikirkan diri sendiri yang jika dikampus jarang makan karena susahnya hidup jadi perantau. Kadang bersama dengan teman sejalan saling peduli dengan keadaan. Yah, ini wujud kami cinta kebersamaan, kata orang terlalu sosialis.
Kebutuhan sendiri masih banyak yang kurang, tapi sibuk memikirkan nasib orang lain. saya sudah kecanduan dengan ini dan saya akan fikirkan untuk keluar dari fikiran tolol ini. Sibuk mengurusi orang lain, lalu lupa diri sendiri. Bahkan, sering melupakan orang yang peduli dengan saya (sebutlah pacar). Fikiran sudah matang saatnya melupakan kebiasaan ini, semoga bisa melepaskan beban ini.
Sudah lama ingin keluar dari dunia yang penuh kelelahan. Berbagai cara sudah saya coba, tapi rasanya sulit. Ya Tuhan!!! Saya ingin berhenti memikirkan orang lain dan terlalu terjun di dunia kesibukan. Saya ingin santai, Menikmati kisah cinta, menikmati kopi dan menikmati hidup yang lucu ini.
Sudah jelas luculah!!! negara kita saja katanya merdeka tapi masih banyak kaum yang tertindas, sudah banyak praktek buruk penguasa lalu dengan santainya mengeluarkan kebijakan. Mungkin lebih baik menolak adanya negara seperti yang diinginkan mikhail Bakunin. Astaga!!! baru saja ingin memikirkan diri sendiri tapi selalu saja terfikirkan tentang problematika berbangsa dan bernegara.
Yah ..memang di kampus saya suka bergaul dengan orang-orang kiri. Jadi wajar pemikiran agak condong ke-kiri, tapi kadang kanan juga mengarah suka dengan produk kapitalis. Tapi jangan, nanti saya jadi penjilat setelah berteriak tolak kapitalis!!!. Saya akan terlihat konyol dengan keadaan seperti ini. Jalan terbaik adalah menjadi kritis dan asal optimis.
Memang, fikiran kiri bagus karena mengarahkan fikiran untuk tetap kritis terhadap sesuatu. Jadi kita bisa menyadarkan para penguasa terhadap apa yang mereka perbuat terhadap rakyatnya. Tapi jangan sampai terlalu dalam juga, Semoga fikiran tidak terlalu Radikal tentang ini. Perlu ada kebijakan dari kritikan itu. Jangan sampai menolak Negeranyalah, cukup tolak kesewenang-wenangan. Itu hanya saran, bukan berarti saya kembali peduli dengan semuanya. Karena saya sudah lelah hingga berujung bingung.
Jujur saya bingung dengan diri sendiri. Sulit untuk menentukan ideologi hidup. Hampir sama dengan curhatan Iksan skuter dalam lagunya "Bingung". Tegas dia bingung dengan dirinya yang mau bagaimana. Kiri dikira komunis, kanan di cap kapitalis, tengah dinilai tak ideologis.
Kalau boleh tambah jadi santai di cap apatis. Sungguh Mengerikan bukan? Kata apatis seakan jadi najis yang berusaha ingin ku sucikan dalam fikiran. Mungkin dengan ini saya bisa menjadi orang yang lebih santai dalam menjalani hidup yang penuh fatamorgana ini.
Kadang saya renungkan kata Socrates "Hidup yang tak direnungkan tak layak untuk dijalani". Dari perenungan itu selalu saja bukan diri sendiri yang direnungkan. Keadaan sosial selalu terlibat dalam perenungan. Mungkinkah ini adalah keharusan? Atau mungkin saya memang harus menjalani hidup yang seperti ini.
Dari perenungan selalu terbayang juga kata Soe Hoek Gie “Bagiku perjuangan harus tetap ada. Usaha penghapusan terhadap kedegilan, terhadap pengkhianatan, terhadap segala-gala yang non humanis” jadinya. Fikiran tambah amburadul mungkinkah ini karena pengaruh fikirannya. Atau karena sudah menjadi kebiasaan.
Terlalu keseringan dan menyukai motivasi di balik buku para pejuang revolusi. Motivasi ini menjadi ajakan untuk mengarah pada fikiran mereka. Saya sudah berjuang sehormat-hormatnya, berpartisipasi dengan pengabdian, bercengkrama dengan dunia gerakan, tenggelam dengan paham kiri. Jika apa yang saya perjuangkan belum selesai itu artinya saya orang yang payah serta tunduk pada ego.
Baru-baru ini saya coba buktikan pada Gie karena perkataannya yang menantang "lebih baik di asingkan daripada menyerah pada kemunafikan". Kata ini begitu menantang, saya mencoba mengkritik dan mendatangi pemerintah di kabupatenku. Meskipun ini akan menjadi celaan nantinya dan menimbulkan kebencian dari penguasa. Tapi setidaknya saya hanya ingin membuktikan saya bukan orang munafik.
Mencoba melawan arus agar tidak menjadi sampah, menjadi diri sendiri, merdeka dengan fikiran, kesesuaian ide dan realitas semuanya sudah berusaha kulakukan. Tapi, lagi-lagi ada dampaknya orang yang diperjuangkan terkadang tidak menghargai perjuangan. Terus masih banyak orang yang cuek dengan hal ini. Saya capek dan ingin menjadi orang yang apatis saja.
Semoga menjadi apatis adalah jalan mulus menuju bangku kekuasaan. Bisa saja menjadi penjilat juga nantinya hidup akan indah, menjadi anak asuh para penguasa juga mungkin nikmat juga. Saya ingin merasakan kenikmatan itu.
Saya ingin apatis dan menjual idealismeku. Seharga kopi dan nasi bungkus juga tidak apa-apa. Ini harapanku, karena jika Idealismeku sudah terjual langkahku menuju apatis semakin terbuka lebar. Saya juga akan menyingkirkan dan mengajak semua para pengkritik kekuasaan untuk berhenti. Saya hanya ingin melihat dunia indah tanpa kritikan.
Oh Tuhan, berilah saya jalan. Keinginanku kabulkanlah. Saya ingin santai dengan semuanya. Biarkan saja penindasan di mana-mana karena ini hanya dunia bukan akhiratmu. Lalu singkirkan semua fikiranku untuk menjadi orang antusias, ambisius dengan segala kegiatan. Tapi, ini bukan kata hatiku, ini hanya kemauan akalku. Jujur saya sulit menjadi apatis, saya sedang kecanduan. Jika ada yang mampu, tolong ajari saya "Apatis".
Penulis: A. Ikhsan, mahasiswa Hukum Tatanegara UIN Alauddin Makassar.