Melihat Dunia Melalui MIWF
Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 31 Mei 2025, saya dan salah satu teman sekelas memenuhi ajakan guru BK kami untuk menghadiri Makassar International Writers Festival (MIWF). Ini adalah festival tahunan yang mempertemukan penulis, seniman, dan pegiat literasi dari berbagai daerah bahkan negara.
MIWF dikenal sebagai ruang terbuka untuk merayakan kebebasan berekspresi, keberagaman, serta gagasan kritis tentang sastra, budaya, dan isu-isu sosial yang relevan.
Begitu sampai di lokasi acara, kami langsung bertemu dengan guru BK kami, beliau tidak hanya menemani, tapi juga seperti membuka pintu bagi kami untuk mengalami sesuatu yang benar-benar baru. Buat saya pribadi, ini adalah pengalaman yang sangat berharga. Saya belajar untuk lebih berani mengekspresikan diri, membuka diri pada lingkungan sekitar, dan mulai memahami pentingnya membangun hubungan sosial.
Saya melihat sendiri bagaimana guru saya menyapa banyak orang dengan hangat, teman-temannya, rekan-rekannya. Rasanya seperti sedang diperkenalkan pada dunia yang lebih luas, lebih hidup, dan penuh warna.
Mengejutkannya lagi pada keesokan harinya. Entah kenapa, saya memutuskan kembali ke festival itu sendirian. Tanpa guru, tanpa teman. Awalnya ada rasa ragu, bahkan sedikit takut karena saya tak punya siapa-siapa di sana. Tapi rasa penasaran saya jauh lebih besar. Rasanya satu hari sebelumnya belum cukup untuk menyerap semua hal menarik yang ada di MIWF.
Ternyata keputusan itu bukan kesalahan. Saya justru bersyukur karena mengikuti kata hati saya. Di hari terakhir festival itu, saya menyaksikan berbagai pertunjukan yang luar biasa. Salah satu yang paling membekas adalah penampilan dari Suku Wanua. Kelompok seni budaya yang mengeksplorasi identitas lokal, spiritualitas, dan perlawanan lewat seni. Meski hujan sempat turun dan acara tertunda, semangat para penampil dan penonton tidak luntur sedikitpun.
Hari itu juga, untuk pertama kalinya saya melihat langsung sosok Bissu pendeta tradisional dalam budaya Bugis yang memadukan unsur maskulin dan feminin dalam diri mereka. Penampilan mereka terasa seperti membuka jendela menuju sisi Indonesia yang selama ini belum pernah saya lihat: begitu kaya, rumit, dan tetap menyimpan keindahan tersendiri.
Dari situ, saya baru tahu bahwa dalam masyarakat Bugis, tidak hanya dikenal dua gender seperti yang umum kita ketahui, tapi ada lima identitas gender: oroané (laki-laki), makkunrai (perempuan), calabai (laki-laki yang mengekspresikan diri secara feminin), calalai (perempuan yang mengekspresikan diri secara maskulin), dan bissu.
Yang menarik, bissu dianggap sebagai gender yang sakral, karena dipercaya memiliki keseimbangan antara unsur laki-laki dan perempuan. Mereka tidak sekadar dilihat dari bentuk fisiknya, tapi lebih pada peran spiritual dan budaya yang mereka jalankan.
Dalam artikel Kompas.id berjudul “Bissu, Penjaga Budaya Bugis”, dijelaskan bahwa seorang bissu biasanya lahir sebagai laki-laki, namun menunjukkan sisi feminim yang kuat sejak kecil. Hal itu kemudian dipahami sebagai "tanda panggilan", bukan penyimpangan. Justru karena sifat itu, mereka dipercaya mampu menjadi perantara antara manusia dan dunia roh atau dewata, dan memiliki peran penting dalam berbagai upacara adat.
Pengalaman ini membuat saya menyadari bahwa keberagaman budaya di Indonesia bukan hanya soal bahasa dan adat, tetapi juga tentang cara pandang terhadap identitas dan peran manusia dalam kehidupan sosial maupun spiritual.
Selama di area festival, saya juga melihat banyak organisasi yang peduli pada isu-isu sosial dan lingkungan dari yang fokus melindungi alam sampai yang membela hak-hak masyarakat. Salah satunya adalah Amnesty International. Kami sempat mampir ke stand mereka dan belajar bahwa mereka banyak bergerak untuk membela hak asasi manusia, terutama orang-orang yang diperlakukan tidak adil.
Ada juga Greenpeace, yang fokus pada isu lingkungan seperti hutan, laut, dan perubahan iklim. Melihat semua itu membuat saya sadar, ternyata di luar sana banyak orang yang benar-benar bergerak karena peduli, demi kebaikan bersama.
Saya benar-benar bersyukur pernah diajak ke acara ini. Mungkin kalau bukan karena dorongan guru saya, mungkin saya masih menjadi gadis pemalu yang kebingungan di tengah banyaknya kesempatan yang bisa saya pelajari.
Tapi berkat kepercayaan dan bimbingannya, saya menemukan keberanian untuk melangkah, bahkan saat harus sendiri. hari itu bukan cuma tentang menghadiri sebuah festival, tapi tentang menemukan sisi diri saya yang lebih terbuka, lebih berani, dan lebih hidup.
Penulis: Perisai, siswa SMK Kesehatan Terpadu Mega Rezky Makassar.