Thu, 12 Dec 2024
Cerpen / Kontributor / Apr 03, 2021

Juliet dan Ma'jun

Ada dua hal yang membuatku kagum dengan manusia; asa dan rasa. Senyumanku kerap kali mengembang kala membaca kisah-kisah romansa pada buku-buku tua yang Gama bawa dari toko barang lama.

Entah apa alasannya, tetapi bagiku, kisah-kisah itu cukup indah dengan harapan yang kerap kali hadir tanpa berniat untuk pergi menjauhi angkasa.

Kisah romansa yang kali ini ku baca bukan tentang cinta segitiga antara si kaya dan si miskin. Bukan pula tentang upik abu yang berubah menjadi Cinderella atau putri dengan katak.

Pun, kisah yang masih ku baca ini juga bukan putri yang terkena racun karena memakan sebuah apel atau putri duyung yang menjual suaranya demi sepasang kaki. Bukan ... kisah ini jauh lebih dalam dari semua itu.

Kisah yang tengah ku baca dari buku yang Gama dapatkan tempo lalu hanya berputar pada Romeo dan Juliet. Pasangan yang sudah buta dan gila karena rasa, lalu memilih mati karena tanpa sadar telah terjebak dalam sandiwara dunia bernama cinta.

"Buku itu lagi?"

Aku terperanjat lalu menutup buku lama yang tengah ku baca dengan cepat. Ku arahkan tatapan kebencian pada pria yang tengah tertawa tak bersalah di depan almari tua. Gama, ia memang senang datang tiba-tiba.

"Kenapa kamu suka membaca kisah klasik itu, Luna? Semua orang tau Romeo dan Juliet, kisah lama itu sudah lama mati." Penuturan Gama membuatku berdecak kesal. Ku letakan buku lama itu pada meja, lalu menekuk tiga jemari ke dalam telapak tangan dan menyisakan ibu jari beserta kelingking untuk menempelkannya di telinga seolah-olah sebuah telepon kabel.

"Luna kepada bumi, halo? bisa tolong ingatkan pada Gama bahwa ia sendiri yang meletakan buku ini di atas mejanya? Dan bisa tolong beri tahu juga bahwa Gama yang membawa kisah klasik ini dari toko barang lama?"

Gama tertawa, matanya membentuk bulan sabit yang sempurna. Ia membuang handuk putihnya secara acak di atas ranjang lalu mengambil posisi di depan cermin untuk memandangi pantulan raganya. Aku terkekeh pelan lalu memandangi punggung tegapnya dari belakang.

"Dari dulu hingga sekarang kegemaranmu hanya terjatuh pada kisah itu, Luna. Kenapa bukan kisah timur seperti Laila dan Maj'nun?" pertanyaan yang keluar dari mulut Gama membuatku kembali menjatuhkan atensiku pada perbincangan yang beberapa saat lalu sempat terjeda.

Kepalaku dibawa berpikir mengenai alasan sebenarnya kenapa aku benar-benar menyukai kisah klasik dari bumi bagian Eropa. Aku menimang, menyelami isi kepalaku sendiri untuk mencari alasan yang pasti.

"Apa di kepalamu pernah ada pemikiran kemana kisah selanjutnya dibawa? maksudku, setelah Romeo meminum racun dan Juliet mati karena belati. Apa keluarga mereka tetap baik-baik saja setelah kehilangan?"

Aku menarik napas dalam dan menghembuskannya dengan berat.

"Menurutmu, apa keluarga Layla mampu hidup selayaknya manusia saat anak gadis mereka mati karena menahan rindu pada kasihnya? Pun keluarga Maj'nun sendiri, bagaimana perasaan mereka saat tahu bahwa Maj’nun mati menjadi belulang di samping gundukan tanah Layla?”

Gama mulai tertarik dengan perbincangan yang terjadi. Raganya berbalik, netranya menatapku dengan binaran yang hampir sempurna. "Kisah mereka sama, Gama. Sama-sama di pisahkan oleh kematian, sama-sama gila karena cinta, sama-sama membuat orang yang mereka tinggalkan dihantui duka." Tuturku.

Gama mengambil posisi duduk di atas karpet berbulu, "bukankah kisah mereka sama seperti kita?" aku tertawa mendengar penuturan Gama. Ku tatap kedua netra coklat itu lalu kembali masuk ke dalam penuturannya yang gila. Ia berharap banyak hal dariku, aku tahu itu sejak pertama kali kita bertemu di toko buku tua. Tetapi untukku menjadi miliknya, rasanya mustahil.

"Entah Juliet atau Laila, keduanya sama-sama mati karena cinta. Juliet dengan belati, dan Laila dengan rasa rindunya. Romeo yang menolak menjadi gila lalu meminum racun yang sama dengan kekasihnya, sedangkan Maj'nun memilih ada di samping tanah gundukan gadis yang ia cinta hingga tiada." Ujarku dengan nada yang rendah.

Kepalaku dibawa berkelana, aku memutus kontak mata dan mulai menghembuskan napas berat. Menceritakan kisah pilu orang lain terkadang membuatku ikut merasakan lara yang seolah dibawa oleh udara. "Semua orang tahu, kedua pasangan itu hidup dalam cinta yang abadi di angkasa sana, Luna." Ujar Gama menyahuti topik malam ini.

Aku menunduk, menjatuhkan pandangan yang berbinar lalu menghentikan kegilaan liar yang tergambar di dalam kepala. "Bisa jadi, salah satu dari mereka hidup dalam tangis duka, Gama."

"Maksudmu apa? Seharusnya kita biarkan saja mereka bahagia dalam labuhan cinta. Mereka sudah saling bertemu di angkasa, mereka sudah saling menepi di dermaga renjana."

Gama tak terima dengan isi kepalaku, ia menyerangku dengan isi kepalanya yang lebih rasional. Aku sadar, terlalu banyak bumbu romansa dan afeksi semu yang menyatu dalam kepala mampu membuatku gila. Seharusnya sudah dari lama aku berhenti membaca kisah klasik puan dan tuan pujangga cinta dari lautan timur hingga eropa sana.

"Maj'nun yang tahu bahwa Laila mati dalam lautan duka menjadi semakin gila dan memilih hidup di samping makam pujaan hatinya hingga napasnya terhenti di tempat yang sama. Lalu Juliet yang tahu bahwa Romeo sudah tiada memilih untuk menusuk dirinya sendiri dengan belati. Bukankah itu sama seperti kita?" aku menuntut jawaban dari Gama. Ku utarakan lagi pertanyaan yang pria itu layangkan beberapa menit lalu.

Tahu bila Gama tengah bertengkar dengan isi kepalanya, aku memilih mengeluarkan kekehan kecil dan membuang pandangan agar tak terlalu terpaku dengan kehadirannya.

"Kita sama-sama mencintai, kita sama-sama kehilangan, kita sama-sama mati. Kamu mati dalam kepiluan, aku mati dalam tangisan. Bukankah kisah kita sama dengan mereka? tetapi apa yang kita dapat, Gama? bahkan untukku pergi tenang dan menyatu bersama semesta saja rasanya sulit."

Aku tertawa lirih. Senyumanku terukir dengan nanar tanpa meninggal mata yang berbinar. Sudah ku katakan di awal, dua hal yang sangat ku cintai dari manusia. Satu, rasa.

"Luna, kamu tahu kita saling mencintai. Kita akan abadi, kita akan baik-baik saja dalam afeksi yang tak lagi menjadi fantasi."

Aku kembali tertawa mendengarnya, Gama selalu mampu memancarkan hal yang hangat dan nyata. Lalu, alasan kedua kenapa aku sangat mencintai manusia di dunia; asa. Ia, Gama. Manusia yang mengajariku untuk ber-asa di semesta yang fana. Ia yang membuatku melihat bahwa tak apa sekali-kali mengharapkan sesuatu yang gila di dunia.

"Gama?" sebuah suara gadis menyeruak.

Pandangan kami berdua menoleh bersamaan pada pintu yang terbuka. Ada sebuah raga yang terpampang nyata di sana, seorang gadis dengan wajah yang tengah berharap-harap cemas. Gama menatapku sekilas lalu bangkit dari karpet berbulu, sedangkan aku masih saja terpaku.

"Gama? Kamu baik-baik saja?" tanyanya.

Aku menghela napas berat lalu memalingkan wajah, tak berani menatap mereka berdua.

"Ada apa? kenapa belum tidur?" tanya Gama.

Gadis itu menggigit bibir bawahnya. Netranya berkelana dengan cemas mencari sesuatu dalam kamar adik yang paling ia cinta. "Re?" tanya Gama mencoba mencari jawaban pada pertanyaannya di awal tadi.

"Aku dengar kamu berbicara sendiri ...," tutur gadis itu dengan nada nada yang bergetar di akhir. Gama tak mengucapkan satu patah kata untuk di jadikan jawaban. Ia memilih bungkam dengan tatapan beku yang mengarah pada kakak perempuannya, Rea.

"Gama, ini sudah dua tahun. Lupakan Luna, tolong ...."

Gama masih menatap gadis di hadapannya dengan tatapan yang beku. Kini, netra coklatnya yang semula indah berubah tajam. Perlahan, pria itu mulai bersuara, "Luna masih hidup ..., ia ada disini. Aku masih merasakannya, suaranya, hangat dari tubuhnya, semuanya!"

"Luna sudah tak ada, Gama!" Rea memekik tak kalah kencang.

Netra gadis itu memanas, air matanya sudah tak mampu ia bendung lagi. Suaranya bergetar hebat, "gadis itu sudah mati ..., gadis itu sudah lama mati dengan tali di lehernya!" Mendengar semua itu, Gama kembali bungkam. Kedua tangannya mengepal dengan kuat, urat di lehernya mulai tampak, pria itu tengah menahan emosinya mati-matian.

"Tolong lupakan gadis itu ... Luna hanya hidup dalam kepalamu, Luna hanya hidup di dalam memori milikmu," suara Rea melemah. Kedua tangannya mencengkram angin hingga memerah, air matanya mulai jatuh, pertahanannya lebur. Gadis itu masih kokoh menatap Gama, ia takut Gama semakin gila dari waktu ke waktu. Ia tak ingin Gama terjebak dalam perasaan dan dunianya yang semu.

"kami semua menyayangimu. Minum obatmu dan cepat pergi tidur ...," tutur Rea sebelum satu isakkan lolos dari mulutnya. Gadis itu pergi dari hadapan pria yang paling ia cinta, Gama, adiknya. Sedangkan Gama sendiri memilih menutup daun pintunya dengan pelan.

Selepas pintunya tertutup sempurna, ia mengacak-acak rambutnya frustasi dan berjalan penuh amarah menuju laci dekat cermin miliknya. Ia menarik salah satu bagian di sana lalu mengambil satu tube sedang dengan label utuh yang tertempel di badannya. Pria itu mencengkram tube tersebut dengan kuat sebelum membantingnya ke sembarang arah hingga pecah tak beraturan. Gama semakin frustasi, kedua tungkai pria itu lemas, ia terjatuh di atas lantai yang dingin. Tubuhnya gemetar, ia menangis.

Perkenalkan, aku Luna, jiwa yang hidup dalam kepala Gama.

Aku pun Juliet, gadis yang ditentang oleh keluarga namun sudah terlanjur buta karena cinta. Aku Juliet, gadis yang memilih mengambil tali alih-alih belati untuk menyerah agar tak lagi merasakan sakit karena mencinta.

Lalu Gama, ia Maj'nun yang gila. Terus menunggu waktu kematiannya bersamaku, di sisiku, sembari berujar pada angkasa untuk tetap menghadirkan bulan yang sama pada setiap malam. Ia Maj'nun, jiwanya sudah mati karena duka, tetapi ia masih ingin hidup abadi bersama bulan yang fana. Maj'nun gila, mencintai Juliet yang sudah lama tiada.

 

Penulis: Saharana Triksi, seorang pelajar dan dapat dihubungi melalui Instagram @/andxntea

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.