Tue, 17 Jun 2025
Cerpen / Devi Aviana / Apr 21, 2025

Pria Badut yang Selalu Kutunggu

Melangkah santai, aku berjumpa meja dan bangku-bangku yang tak sedikit sudah jadi arena berbagi rindu. Sepasang muda-mudi, ternyata tak hanya sepasang, tapi sudah berpasang-pasang di sini.

Bibir-bibir berhias senyum, pandang-memandang, mengalir recehan kisah, tutur-tutur manis terkemas santai.

Kutengok kanan-kiri. Belum ada tanda-tanda batang hidungnya di sini. Seperti biasa ketika kami ada janji temu, aku si gadis tepat waktu harus bersabar menanti si pria 'karet' yang memang gemar mengulur-ulur waktu.

Kupilih meja ketiga dari arah pintu. Duduk diam di sana, entah sampai berapa menit lagi aku harus tetap bersemadi. Sambil menumpuk iri pada kisah-kisah kasih di sekeliling.

Coba saja posisi gadis-gadis semringah itu tergantikan olehku. Bayangan dengkiku terusik oleh seorang pelayan kafe. Dengan manisnya ia bertanya padaku, apa ada yang ingin kupesan.

"Saya sedang menunggu seseorang, saya akan pesan setelah dia datang," jawabku tanpa memaniskan ekspresi.

Si pelayan merespons balik dengan kata 'baiklah', tetap dengan memasang senyum lalu berlalu meninggalkanku sendiri lagi. Manis, pelayan pria yang bertampang cukup menarik, tapi bukan berarti aku juga tertarik.

Seperti pria pada umumnya, mungkin ia terlalu terbiasa bersikap manis, entah asli atau 'sok' manis. Yang kupahami, mau tak mau ia mesti bermanis-manis pada pelanggan, demi memastikan yang sudah duduk harus memesan sesuatu, bukan sekadar tuk lihat-lihat pemandangan.

Kini sudah jam setengah delapan malam, empat puluh menit berlalu sejak kakiku menapak di depan pintu kafe tadi. Tanpa sedikit pun rasa berdosa, si pria 'karet' bahkan tampaknya tak berniat memberi kabar, atau dia memang sengaja membuatku mematung konyol mendambanya.

Tiba-tiba, bahuku serasa dipegang, hampir saja aku mengumpat karena kupikir dia yang datang. Begitu menoleh, yang kudapati justru pria lain. Pria asing yang memohon padaku untuk memberikan bangku kosong di hadapanku padanya sebab semua bangku lain sudah terisi.

Aku pun hanya bisa menolak, dengan lagi-lagi berkata 'sedang menunggu seseorang', bangku di hadapanku harusnya untuk dia yang entah kapan tiba di sini. Beruntung pria itu bukan tipe pria yang suka 'ngeyel', ia bisa mengerti.

Kupandang ke sisi ruang yang lain, aku merasa pelayan kafe tadi memperhatikanku. Sepertinya aku bisa membaca pikirannya, ia pasti berpikir mau sampai kapan gadis malang ini menunggu ketidakpastian.

Pukul delapan hanya kurang sepuluh menit lagi. Aku yang tadinya hampir menyerah dan beranjak berdiri meninggalkan meja, tiba-tiba dikejutkan oleh sapaannya. Suaranya yang khas, menyebut namaku dan menampakkan raut 'sok' lugu. Akhirnya dia datang.

"Maaf," ucapnya setelah namaku.

Berlanjutlah dia menyerocos, mewartakan segala macam alasan keterlambatannya, seperti biasa. Setiap alasannya pun seperti biasa, selalu membawa-bawa istrinya—istri yang dia bilang sebentar lagi akan menjadi mantan istrinya.

"Kau memang senang sekali membuatku menunggu," sahutku.

Menunggu dan dirinya, sepertinya punya ikatan erat yang sulit dipisahkan. Macam sejoli yang tautnya sudah digariskan sejak lahir dan dua hatinya begitu saling mengikat.

Aku lagi-lagi mengingat. Pertemuan pertama kami dahulu bahkan juga tak jauh-jauh dari kata menunggu. Aku berjumpa sosoknya di salah satu bandara, ketika sedang menunggu jam penerbangan pesawat untuk perjalananku ke luar kota dalam rangka mengunjungi keluarga jauhku.

Entah pertemuan tak disengaja atau memang takdir yang menyengajakan. Saat itu, dengan santainya ia mengambil duduk di sampingku dan mulai ‘sok’ akrab. Mengajak berkenalan, bertanya-tanya tentang tempat tujuanku, hingga melebar ke pertanyaan-pertanyaan seputar diriku.

Aku menanggapinya dengan menjawab sekenanya dan tetap bungkam atas apa yang kupikir tak perlu kubagi tahu padanya. Aku bahkan tak bisa bertanya balik, ikut ingin tahu segala tentangnya, sebab itu memang bukan gayaku. Aku enggan ‘sok’ akrab dengan manusia yang baru saja kukenal.

Itulah sebabnya, aku tidak tahu, sedang apa ia berada di bandara itu juga. Entah akan pergi untuk perjalanan bisnis, mengunjungi keluarga sepertiku, sekadar kurang kerjaan jalan-jalan di bandara, atau apa.

Tak sampai satu jam perbincangan kami, ia langsung menunjukkan jiwa humornya. Beberapa candaan receh ia suguhkan. Sepertinya ia tak peduli entah aku menikmati candaan itu atau tidak.

Yang jelas, aku ingat, waktu itu aku pun sedikit tertawa. Ya, hanya sedikit, tidak sampai terbahak-bahak. Jujur saja, aku begitu hanya untuk menghargai gayanya.

Tak kusangka, pertemuan itu berujung kami bertukar kontak sebelum aku pergi dengan pesawatku. Dalam perjalanan ke luar kota, aku bahkan sempat berpikir, apa pria tukang lawak receh tadi dari awal memang sudah mengincarku?

Itu sebabnya ia begitu berusaha membuatku terkesan sampai akhirnya bisa dapat nomor ponselku. Entahlah.

Dan ternyata, entah kubilang untungnya atau sialnya, lambat laun aku pun terjerat oleh gayanya.

Menyadari aku sudah setengah kesal, dia pun mengeluarkan jurus gombal dan humornya, seperti biasa. Aku sudah sering menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk mendengar lawakannya yang lebih sering terasa hambar.

Terkadang kupikir dia layaknya badut, suka bercanda, suka permainan. Sampai-sampai hubungan kami yang kuanggap serius rasanya hanya permainan baginya.

Bila bukan karena cinta, aku tak kan ada di sini sekarang. Terlebih bersama pria yang masih jadi milik orang lain. Dia dengan leluasa memanggilku dengan panggilan sayang.

Namun, kenyataannya keseriusan ikatan kami masih dalam bayang-bayang semata. Mungkin dia memang badut. Dari kecil aku bahkan takut pada badut.

Selain karena senyuman lebar palsunya, bagiku wajahnya menyeramkan. Sama halnya dengan pria di hadapanku sekarang. Aku takut manisnya dia selama ini hanya kepalsuan. Meski begitu, rasanya lebih menyeramkan jika dia meninggalkanku tiba-tiba setelah mengambil segalanya dariku.

"Kau sudah terlalu sering mengeluarkan lawakan konyolmu demi mengulur-ulur waktu agar bisa lebih lama bersamaku.”

"Walau itu konyol, kau selalu menyukainya, kan?" sahutnya.

"Lalu, kapan kau mau membawa kita ke ikatan yang lebih serius?”

"Itu pasti terjadi, Sayang. Kuharap kau masih bersedia menunggu.”

"Sampai berapa lama lagi?”

Obrolan macam ini sudah terlalu sering bagi kami.

"Mungkin sampai waktu yang tak dapat ditentukan." Hanya kalimat ini yang kutangkap walau kenyataannya dia selalu tak bisa menjawab tanyaku yang tadi.

Dan sama seperti yang sudah-sudah, tak ada pilihan lain untukku selain lagi-lagi kembali menunggu. Walaupun aku pun tahu, waktu tak kan pernah ada habisnya bagi orang-orang yang menunggu. Waktu tak kan pernah tepat bagi para tukang menunggu.

Cintaku pada pria 'karet nan badut' ini sudah amat memperdayaku.

Andai bisa kuputar waktu dan bisa kembali ke masa lalu, akan lebih baik aku tak perlu berkenalan dengan cinta—cinta yang buta, bila saja kutahu alurnya akan berlarut-larut tak kunjung bertemu klimaks semacam ini. Mungkin takkan sebanyak ini waktu yang kubuang-buang hanya untuk menunggu dan terus menunggu.

 
 
Penulis: Devi Aviana Putri, seorang introver yang menyukai puisi, cerpen, dan novel. Penulis 16 buku solo yang masih aktif menulis novel di platform online. Pencinta kopi, senja, dan kisah bergenre romansa ini bisa dihubungi Instagram: @via_viana97.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.