Rukmini Bercerita
Baru saja ibu berangkat ke Taiwan menjadi TKI. Kini aku tinggal bersama nenek. Ayah? Rumah ayah dan nenek berjarak sepelemparan batu. Tapi, rumah ayah dan nenek sebenarnya sama saja. Tidak menghadirkan keamanan dan ketenangan batin: keamanan seorang anak perempuan.
Pandangan ayah membuat rumah terasa beku dan menyeramkan. Sempit hati nenek membuat batinku selalu diserang perasaan tidak enakan. Ayah adalah nenek. Nenek adalah ayah. Sama saja, kan? Dan, ada atau tidak adanya ibu sebenarnya juga sama saja. Namun, kepergian ibu membuat keadaan bertambah muram. Tidak ada tempatku berlindung.
Pernah pada satu waktu, di siang hari, ketika ibu sudah di Taiwan, aku merasa lapar. Aku pergi ke dapur nenek buat makan. Ketika tanganku mulai bergerak mengambil nasi, dari sisi lain nenek menengok dengan tatapan intimidatif. Sinis. Perasaanku gundah. Tidak enak. Aku pun mengambil nasi dan lauk secuil, agar nenek menurunkan tatapannya, agar nenek senang hati.
Aku harus menjaga perasaan nenek setiap waktu. Bukan hanya nenek, tetapi juga kakek, paman, bibi, ayah, dan seluruh keluarga nenek.
Tidak masalah jika aku harus menjaga perasaan mereka semua. Kupikir, setiap manusia memang harus saling menghormati. Tapi, siapa yang menjagaku? Perasaanku? Sementara ibu di Taiwan. Tuhan? Tuhan katanya ada di mana-mana.
Tapi, aku tak pernah melihat Tuhan saat diriku muram dihantam oleh energi kebencian nenek dan kakek. Aku tak berani menyalahkan Tuhan.
Aku tak menuntut agar Tuhan hadir secara nyata di hadapanku. Tidak. Aku juga tidak menuntut agar ibu tetap ada di sini. Aku mengerti ibu pergi ke Taiwan karena kami kesulitan membeli beras. Ibu pergi sambil membawa harapan menjadi tajir.
Aku mengerti nenek dan kakek membenciku karena wajahku mirip ibu, bukan ayah. Nenek dan kakek membenci ibu... kemudian aku. Seperti ada kemauan mereka yang tak terpenuhi dari ibu dan diriku.
Tapi aku tak tahu apa. Walaupun kebencian itu nyata, aku tak menuntut agar mereka semua tiba-tiba mencintaiku, agar aku menjadi pelita harapan di masing-masing hati mereka, tidak. Aku tidak berharap apa pun.
Hanya saja aku selalu bertanya-tanya, apa ini yang dinamakan nasib? Atau jangan-jangan porsi hidup seperti ini telah aku pilih di alam sebelum kelahiranku ke dunia.
Apakah pengertian nasib itu sama dengan kesepakatan antara aku dan Tuhan. Apakah aku dan Tuhan telah bersepakat jalan hidupku di dunia akan seperti ini. Aku tak ingat apa pun soal waktu sebelum kelahiran. Aku tak tahu apakah benar kesepakatan itu ada atau tidak.
Ada yang bilang, kita akan lupa pada kejadian di alam sebelum kelahiran.
Namun, yang pasti, seperti ada sesuatu di dalam hatiku yang selalu berbisik agar aku berjalan secara gagah berani. Sesuatu itu bukan bisikan setan, tapi semacam bisikan hati kecil, dan secara alami aku mengikuti bisikan tersebut: berjalan secara gagah berani, tanpa amarah dan dendam.
Hari-hari di rumah nenek selalu sama. Setiap gerakku diamati. Gerak yang berhubungan dengan makanan, dan semua benda milik mereka yang coba kusentuh. Nenek dan kakek tak rela jika aku menyentuh apa pun milik mereka.
Kalaupun aku berhasil menyentuhnya, tatapan nenek dan kakek akan mengintaiku. Setahuku aku tak pernah memulai perang. Memulai permusuhan. Tapi kemudian langkah dan gerakku seperti dimaknai sebagai gerak musuh dalam medan perang. Aku tak mengerti.
Terkadang aku ingin bertanya pada nenek saat ia sedang duduk membaca koran. “Kapan perang ini akan selesai?” Sebelum niat itu terutarakan, nenek dipanggil Tuhan. Beberapa bulan setelah ibu pulang dari Taiwan, nenek meninggal dalam kesepian.
Nenek sakit berbulan-bulan. Di hari-hari ketika ia sekarat, tak ada siapa pun, kecuali ibu dan diriku. Ibu membawa pulang uang seratus juta dari Taiwan. Uang itu habis untuk merawat nenek selama empat bulan.
Di manakah orang-orang yang dicintai oleh nenek? Mereka masih di rumah yang sama. Mereka masih menjalani hidup seperti biasa. Tapi, nenek sekarat dalam kesepian, tanpa ditemani orang-orang yang ia sayang. Ibu tak pernah mempertanyakan itu.
Ibu seperti benda mati. Ia menghabiskan uang untuk merawat nenek tanpa mengungkit permusuhan yang telah nenek kobarkan demikian panjang. Ibu seperti benda mati. Ibu seperti tak memiliki hati.
Di mata nenek, ibu bagaikan benda najis. Aku tak tahu seperti apa nenek di mata ibu. Aku tak bisa membaca isi hati ibu. Aku tak pernah melihat ekspresi perasaan dari dirinya. Ibu seperti benda mati. Ibu adalah aku. Aku adalah ibu.
Kudengar dari orang-orang, perempuan adalah makhluk perasaan, tapi ibu seperti bukan perempuan. Ia tak mampu mengekspresikan kemauan hati. Ia tak tahu caranya mendemonstrasikan ego berjilid-jilid.
Menuntut agar orang-orang mengikuti setiap kemauan hatinya. Aku tak tahu apa definisi sebenarnya dari ego? Tapi, orang-orang sering membicarakan ego dan menyebut orang lain egois.
Dari yang dibicarakan orang-orang itu, kukira makna ego itu sama dengan menuntut. Menuntut agar segala sesuatu berjalan sesuai dengan kemauan diri. Kalau itu definisi ego, sungguh aku tak pernah melihat definisi itu melekat pada ibu.
Ibu seperti benda mati. Ia tak memiliki perasaan. Setelah nenek meninggal, uang ibu habis, ibu berangkat lagi menjadi TKI ke Taiwan dengan harapan yang masih sama —menjadi tajir. Dua tahun ibu di sana.
Ketika ibu menjelang pulang, kakek jatuh sakit. Ibu sampai ke kampung halaman, ke rumah kakek, membawa uang delapan puluh juta. Ibu melihat kakek terkapar di sudut kamar.
Tidak ada siapa pun, hanya ada aku. Ibu bertanya padaku: mengapa tidak dibawa ke rumah sakit? Aku hanya diam. Aku si anak kecil yang tak punya uang. Ibu bergegas ke rumah tetangga kaya raya, meminta bantuan agar mengantar kakek ke rumah sakit menggunakan mobilnya.
Ibu dan aku mengiringi. Kakek dirawat di rumah sakit berminggu-minggu. Ibu dan aku menemani. Setelah tiga minggu keadaan kakek mulai membaik. Ibu melunasi seluruh tagihan senilai sembilan puluh juta. Uang ibu tak cukup.
Ibu meminjam pada tetangga kaya raya, dan ibu berjanji akan menggantinya. Setelah biaya rumah sakit lunas, akhirnya kakek boleh pulang. Kami pulang ke rumah dalam keadaan bahagia.
Ibu merawat kakek di rumah sampai benar-benar pulih. Ibu mengatur jadwal makan dan jenis makanan yang boleh kakek makan.
Obat yang dibawa dari rumah sakit selalu ibu sediakan setelah kakek makan. Sesekali ibu memintaku membantunya. Setelah kakek benar-benar pulih, ibu mulai bekerja lagi. Bekerja di rumah tetangga kaya raya menjadi tukang cuci pakaian.
Tiga bulan kemudian, ibu pamit padaku untuk berangkat menjadi TKI ke Arab Saudi. “Apakah ibu masih ingin menjadi tajir?” Tanya Rukmini.
“Tidak.”
“Lalu kenapa pergi lagi?”
“Kau harus sekolah, Nak. Kau harus kuliah. Jangan menjadi seperti ibu.”
Penulis: Agung Hidayat, senang pada filsafat, hukum, dan rokok. Buku terbarunya “Pak Syam & Anak Muda” terbit pada 2024. Dapat dihubungi melalui instagram @agunghidayat.id