Sebelum Bus Terakhir Datang
Kita terjebak selama satu jam di kafe pojok perempatan Pucang Jajar. Dalam percakapan tanpa arah, kita terus berbicara untuk menghabiskan waktu, paling tidak sampai bus terakhir datang.
Aku sesekali memandang keluar jendela kafe, menghitung bus yang lewat, lalu kembali dari arah sebaliknya. Butuh setidaknya empat puluh menit bagi satu bus untuk menyelesaikan satu trayek.
“Ini, Mas, kopinya,” ujar barista, memecah konsentrasiku. Aku mengangguk dan mengambil kantong plastik berisi kopi pesananku.
“Yuk, kita jalan-jalan,” kataku sambil berdiri dan menepuk bahumu. Kamu mengangguk sambil merapikan barang-barangmu ke dalam tas.
Kita melangkah keluar dari kafe, berbelok ke kanan, melewati trotoar yang hancur. Aku segera menggandengmu ketika trotoar berubah menjadi pelataran toko yang tampak seperti arena halang rintang—beton pembatas tak beraturan, lubang di beberapa ubinnya, dan lantai licin.
“Ehhh!” teriakmu ketika terpeleset. Aku segera merangkul pinggulmu untuk mencegahmu jatuh. Aku tersenyum, melihat wajahmu yang malu-malu.
“Nggak apa-apa. Bukannya kamu sering ceroboh begini?” godaku. Kamu memukulku pelan.
“Kamu juga! Kok tadi pesan dua kopi? Padahal satu aja cukup, kan!” balasmu, terdengar sedikit kesal.
Aku tertawa kecil. Sejak tadi pikiranku memang melayang ke tempat lain, tidak sepenuhnya hadir di sini.
Kita menyerah berjalan di trotoar dan memilih bahu jalan. Lebih aman daripada harus menghadapi tantangan halang rintang itu.
“Menyebalkan, ya. Pemerintah sepertinya sulit sekali menyediakan fasilitas yang memadai,” ujarku, masih menggenggam tanganmu erat.
“Yah, itu benar. Tapi, kalaupun pemerintah sudah menyediakan trotoar yang bagus, kemungkinan akan ada sengketa dengan pemilik gedung, kan?” balasmu, matamu tetap fokus pada langkah.
Aku mengusap kepalamu.
“Apasih! Nanti rambutku jadi berantakan!” protesmu dengan nada kesal.
“Gemas. Aku nggak nyangka kamu bisa berpikir sampai sejauh itu,” ujarku sambil menuntunmu menuju jembatan penyeberangan Kebun Bibit Bratang.
Kita tiba di bawah jembatan dan ragu memilih arah.
“Mau ke mana? Lurus atau menyeberang?” tanyamu.
“Seru kalau kita lewat jembatan penyeberangan jam segini,” jawabku.
Kamu menatapku tajam, lalu menghela napas kecil sebelum menjawab, “Oke deh. Yuk.”
Aku terkejut bagaimana kamu setuju begitu saja. Kamu yang dulu sulit sekali percaya padaku, sekarang dengan mudah mengikuti ajakanku. Aku bersyukur sekaligus khawatir.
Kita menaiki anak tangga jembatan penyeberangan perlahan. Kamu menggandeng lenganku erat, dan aku merasakan tanganmu sedikit bergetar.
“Gila, kita beneran melewati jembatan penyeberangan jam setengah sepuluh malam!” ujarku antusias.
Kamu tidak menjawab. Sebaliknya, genggamanmu semakin erat. Aku hanya tersenyum sambil menepuk lenganmu perlahan.
Ketika kita sampai di puncak jembatan, kendaraan melintas di bawah seperti pita-pita yang bergerak cepat. Perlahan genggamanmu mengendur, dan senyummu mengembang ketika melihat semua yang terjadi di bawah sana.
“Biasanya tindak kriminal terjadi di jembatan penyeberangan, apalagi tidak ada CCTV di sini,” kataku sambil menunjuk sudut jembatan yang kosong.
“Aku percaya sama kamu kok,” jawabmu, menatapku lekat.
Aku tersenyum. Aku tahu apa yang sejak tadi membuatku gelisah. Pikiran yang berputar di kepala hingga membuatku salah pesan jumlah kopi di kafe tadi.
Aku menatapmu kembali. Perlahan, aku mengelus kepalamu, menekannya sedikit agar kamu menunduk. Aku tak tahan dengan tatapan polosmu yang seakan menembus pikiranku.
“Sejak kapan kamu begitu jatuh cinta padaku?” tanyaku.
Kamu segera menghempaskan tanganku, lalu bersandar ke teralis jembatan penyeberangan. Menghela napas panjang, kamu akhirnya menjawab, “Entahlah. Semua terjadi begitu saja.”
Aku berjalan mendekatimu, meraih tanganmu. Tanganmu begitu kecil, dan aku suka itu. Aku bisa menggenggamnya penuh dengan satu tangan.
“Padahal dulu kamu pernah menerima aku karena kasihan, kan?” tanyaku sambil mencium punggung tanganmu.
Kamu mengalihkan pandangan, dan aku tersenyum melihat wajahmu yang malu-malu. Perlahan, aku melingkarkan lenganku ke pinggulmu, menarikmu mendekat. Detak jantungmu terasa jelas dari jarak ini. Rasa ingin mencium bibirmu muncul begitu kuat.
“Maaf, ya,” ucapmu, menekan tanganmu ke dadaku.
Aku mengelus kepalamu dengan lembut. “Tak apa, toh sekarang yang bucin kamu,” jawabku sambil tertawa kecil. Kamu menepuk dadaku pelan.
Aku ternyata menyimpan penyesalan sejak tadi. Harusnya aku segera mengungkapkan keinginanku. Sekarang sudah terlalu malam, dan waktu takkan cukup sampai bus terakhir datang.
Tiga bulan lalu, aku sudah pernah menyatakan isi hatiku. Kamu menolaknya. Penolakan itu menyakitiku hingga aku menghindarimu selama ini.
“Aku yang seharusnya minta maaf, Wid,” ucapku, menarikmu kembali dalam pelukan. Aku suka bisa merasakan tubuhmu sedekat ini.
“Karena tadi salah pesan kopi?” tanyamu polos. Aku tertawa lepas.
Aku melepas pelukan itu dan bersandar di teralis di sampingmu. Tarikan napas panjangku membawa bau amonia yang menyengat.
“Pesing ternyata di sini!” seruku sambil terbatuk. Kamu tertawa kecil.
“Yuk, lanjut jalan,” ajakmu sambil menggandeng tanganku.
Aku mencoba memperlambat langkah, menahan tarikanmu. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan—atau kulakukan—di sini, di tempat ini, sebelum orang lain melintas.
“Kenapa kamu jatuh cinta padaku?” tanyaku tiba-tiba, suara lirih namun jelas. Tak sinkron dengan isi kepalaku.
“Karena aku percaya sama kamu,” jawabmu singkat sambil menoleh ke arahku.
Aku terhenti. Dadaku terasa sesak. Pikiran tentang kepercayaan itu membuatku semakin sadar akan kebodohanku. Jika kamu tahu apa yang ingin kulakukan sekarang, aku tahu kamu akan kecewa.
“Kok berhenti?” tanyamu.
Aku menggeleng, berjalan melewatimu, lalu menggenggam tanganmu erat. Langkahku lebih cepat dari biasanya, seperti mencoba melarikan diri dari diriku sendiri.
“Hei! Pelan!” serumu, menarik tanganku untuk berhenti.
Aku menoleh, dan tanpa kusadari, air mataku jatuh. Saat menatap tahi lalat kecil di lehermu, aku tak bisa lagi menahan emosiku.
Kamu memelukku erat, mencoba menenangkanku dengan kata-kata manis. Tapi, tubuhmu yang menempel padaku justru membuatku semakin tertekan.
Aku ingin meminta maaf karena mengecewakanmu. Aku ingin menjadi orang yang bisa kamu percayai sepenuhnya—teman yang selalu ada di sisimu, menemanimu berjalan menyusuri kota di malam hari, naik bus ke tempat-tempat baru, dan membuatmu merasa aman. Tapi aku sadar, aku belum menjadi sosok itu.
Tangisku akhirnya mereda ketika aku menyadari sesuatu. Perasaan ini wajar. Keinginan untuk menciummu, memelukmu, mencumbumu—semua itu adalah hal yang seharusnya ada dalam hubungan kita.
“Lanjut jalan, yuk,” bisikku pelan. Suaraku masih bergetar, tapi aku mencoba tegar.
Kamu memandangku lekat, mencoba membaca isi pikiranku. Aku penasaran, ekspresi apa yang kamu tunjukkan sekarang? Apakah itu kesedihan karena melihatku menangis, atau kekecewaan karena pria yang kamu cintai terlihat begitu rapuh?
Aku tidak tahu.
Kita melanjutkan perjalanan, melewati jalan hingga tiba di halte dekat jembatan penyeberangan.
“Kamu kenapa tadi?” tanyamu lirih.
Aku tak menjawab, hanya tersenyum kecil.
“Kamu boleh kok ngomong apa aja. Aku nggak akan marah,” lanjutmu sambil mengelus kepalaku.
Aku tak berani menatap matamu. Pandanganku beralih ke lehermu. Tapi itu hanya membuat perasaanku semakin meluap.
Aku mulai bertanya-tanya. Ada berapa banyak tahi lalat seperti yang ada di lehermu itu? Apakah di dadamu juga ada? Atau mungkin di punggungmu? Tidak! Aku harus menahan pikiran ini!
Dadaku terasa sesak. Napasku semakin berat. Dunia terasa kabur, sampai akhirnya aku merasakan dekapan hangat darimu.
“Cup-cup, tenang, ya,” ucapmu sambil menepuk punggungku lembut.
Aku mengerti. Perasaanku tak penting. Yang harus kulakukan adalah menjagamu, bukan menyusahkanmu.
“Aku mau ngomong sesuatu sebelum bus datang,” kataku pelan.
Kamu melepas pelukanmu dan memandangku lekat. Tatapan itu penuh perhatian, seperti memintaku melanjutkan.
“Sebenarnya, aku hari ini sudah memesan kamar hotel di dekat sini,” ucapku sambil menatap matamu. “Aku ingin menghabiskan malam denganmu. Aku merasa sudah tak tahan dengan semua tekanan ini.”
Aku melihat bibirmu bergerak hendak berkata sesuatu, tapi aku buru-buru melanjutkan.
“Aku tahu. Aku kurang ajar. Aku tahu aku tidak pantas memintamu melakukan sesuatu yang begitu intim denganku.” Aku mengalihkan pandangan ke trotoar. “Aku hanya... bingung dengan diriku sendiri.”
Aku menelan ludah, mencoba menenangkan diriku.
“Tiga bulan lalu, aku sudah bilang ke kamu kalau aku merasa ketertarikan seksual terhadapmu. Waktu itu, kamu menolakku. Aku mengerti, tapi aku sakit hati. Makanya, aku menghindar dan bilang alasan pekerjaanku di Solo.”
Aku kembali menatapmu. Kamu tak tersenyum. Wajahmu netral, mungkin kecewa. Tapi aku harus jujur.
“Sejak SMA, aku tidak pernah merasakan ini lagi. Semua berubah setelah aku mengalami pelecehan seksual di bus. Saat itu, aku merasa tubuhku dirampas. Perasaan jijik itu tinggal di dalam diriku bertahun-tahun.” Suaraku mulai bergetar. “Tapi denganmu, aku merasakan sesuatu yang berbeda. Aku merasa hidup kembali.”
Kata-kataku tercekat sejenak. Kamu masih diam, dan itu membuatku semakin cemas.
“Aku ingin menciummu. Aku ingin tahu bagaimana lekukan tubuhmu. Aku jatuh cinta pada kulitmu, aromamu, bahkan hal-hal kecil yang tidak orang lain perhatikan,” lanjutku sambil menarik napas panjang. “Aku tahu ini menjijikkan, tapi aku tidak bisa berhenti merasakannya. Apa aku tidak normal sehingga merasakan semuanya sendirian?”
Dari sudut mataku, aku melihat bus berwarna merah datang mendekat. Waktuku tinggal beberapa detik lagi. Ayolah, Widya, katakan sesuatu! Jika kamu memang punya perasaan, tunjukkan!
Bus berhenti di depan halte. Penumpang mulai turun. Aku menoleh ke arah bus, lalu berbicara pelan, hampir berbisik.
“Sudahlah, aku tahu apa jawabanmu,” kataku sambil melangkah ke arah pintu bus. “Maaf, ya.”
Aku naik ke dalam bus, memilih kursi dekat jendela. Saat bus mulai bergerak, aku menoleh keluar. Kamu masih berdiri di halte, sibuk dengan ponselmu. Aku menduga kamu sedang memesan ojek online.
Bus melaju lebih cepat, meninggalkan halte. Ponselku tiba-tiba berdering. Sebuah pesan WhatsApp muncul—darimu.
“Lain kali bilang dulu, ya. Aku biar bisa siap-siap untuk menginap.”
Penulis: Aryasuta, memiliki kesibukan sebagai karyawan swasta yang berdomisi di Kota Kediri. Hobi menulis sejak SMA dan telah menerbitkan buku berjudul Rona Elegi Gita. Sejak tahun 2023, menulis dengan target menyelesaikan satu cerpen setiap harinya. Mulai tahun ini, memulai keseriusan untuk terjun ke dunia penulisan dengan mengirim tulisan ke media-media.