Thu, 17 Apr 2025
Cerpen / Aryasuta / Mar 24, 2025

Titik dan Koma

Malam di Surabaya menggelap lebih dari biasanya. Di bawah langit yang terselubung awan, jalanan yang basah oleh sisa hujan mengantarkan Titik melangkah perlahan. Setiap langkahnya terasa berat, seolah beban masa lalu menekan setiap otot di tubuhnya. Matanya melayang melewati bayang-bayang di antara keramaian yang tampak acak, menyamar di sudut-sudut jalan.

Sebuah pemandangan kecil di pinggir trotoar menarik perhatiannya. Seekor kucing kecil, dengan bulu kusam dan mata yang tampak kebingungan, terjebak di antara reruntuhan karton dan daun-daun kering. Titik berhenti, menunduk, dan tanpa ragu meraih tangan kecil yang gemetar.

Dengan lembut, ia melepaskan kucing itu, mengusap kepala kecilnya seolah mencoba mengusir kesepian yang menyelubunginya. Tindakan sederhana itu, tanpa kata, menjadi secercah cahaya dalam kegelapan hatinya.

Di kamarnya yang sederhana, meja rias yang lusuh menyimpan kenangan masa lalu. Gantungan ponsel kecil di atas meja yang pernah menjadi hadiah dari pacarnya tergantung diam. Permukaan plastik itu seolah mengingatkannya pada setiap janji manis yang pernah terukir di antara tawa dan canda.

Di sampingnya, sehelai bunga mawar putih perlahan layu, warnanya yang pucat mengingatkan pada hari-hari di mana cinta yang ia anggap polos perlahan menjadi bajingan.

Layar ponselnya menyala, menampilkan pesan-pesan lama yang pernah membuat hatinya berdebar. Wallpaper bergambar senja yang indah dan langit berbintik bintang kini hanya menjadi saksi bisu dari masa-masa ketika ia percaya bahwa cinta adalah jaminan kepolosan yang menyongsong masa depan. Namun, semua itu tersapu oleh arus waktu dan pengkhianatan.

Tak lama setelah itu, Titik mengingat momen kecil ketika ia berhenti sejenak di jalan, memandangi sehelai daun yang jatuh dari pohon, menyadari betapa hal sederhana itu bisa mengembalikan kehangatan yang pernah ia rasakan. Meskipun hancur, ia masih mampu menunjukkan empati—momen itu menjadi bukti bahwa, meski dunia telah menghinakan dirinya, ia masih manusia.

Hari-hari berlalu, dan setiap kilasan masa lalu semakin mengikis semangat hidupnya. Dulu, pacarnya adalah sosok yang penuh perhatian, mengukir kata-kata manis yang membuat hati Titik terasa hangat. Namun, seiring waktu, segalanya berubah.

Pada suatu malam, di sebuah ruangan sempit dengan lampu neon yang berkedip, Titik menghadapi kenyataan pahit. Pacarnya—yang pernah menjadi sumber kehangatan—tiba-tiba berubah menjadi sosok bajingan.

Dalam satu pesan singkat yang penuh keraguan, ia mengungkapkan hasrat kotor yang telah tumbuh sejak ia terjerumus dalam tontonan porno di X. Pesan itu bukan hanya kata-kata biasa; ia mengandung ambisi aneh dan dorongan nafsu yang mengerikan.

Titik, yang dulu menikmati keindahan hubungan mereka, kini merasa hancur. Ia merasa seolah-olah dirinya telah menjadi komoditas—barang dagangan bagi seseorang yang tak lagi memiliki moral. Pesan-pesan itu, begitu dingin dan tajam, menembus hatinya.

Dengan perasaan yang semakin hancur, Titi mendapati dirinya terisolasi. Ia tidak bisa lagi menyembunyikan perasaannya yang terluka ketika ia menemukan kenyataan bahwa dirinya telah dijual kepada pria-pria tua yang pacarnya kenal lewat X. Ruangan itu, yang sempat terisi bisikan janji, kini penuh dengan keheningan yang menakutkan dan deru keputusasaan.

Hari demi hari, luka itu semakin meresap. Ia mulai mengumpulkan kenangan-kenangan pahit dari setiap benda di sekitarnya—gantungan ponsel yang dulu bersinar, bunga mawar putih yang perlahan menguncup, dan pesan-pesan lama yang kini terasa seperti guratan duka.

Titik berjalan ke sebuah hotel tua di pinggiran kota, sebuah tempat yang dulu membuatnya hangat. Namun kini, lorong-lorong berderit dan sudut-sudut gelapnya seolah memanggilnya ke dalam keputusasaan.

Di atap hotel yang dingin dan sepi, Titik berdiri di ambang jurang. Angin malam menyapu wajahnya, membawa bisikan yang samar, “Lepaskan semua, biarkan rasa hina ini berakhir.” Hati dan pikirannya seakan bersaing, antara mengakhiri hidupnya atau bertahan melawan rasa malu.

Saat ia hampir menyerah pada bayangan jurang yang mengundang, tiba-tiba terdengar langkah kaki di sampingnya. Seorang perempuan muncul dengan secangkir kopi hangat yang mengepul, membawa kehangatan yang kontras dengan dinginnya malam.

Koma, dengan senyum tipis namun penuh kehangatan, menyapa, “Hai, Mbak, hidup memang brengsek. Tapi, kalau kamu lompat sekarang, bakal jadi bahan tertawaan banyak, lo.”

Tanpa menunggu jawaban, Koma dengan cepat meraih tangan Titik dan memberikan pelukan singkat yang penuh kehangatan. Dalam momen itu, Titik merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sejak lama—sebuah dorongan kecil yang mengusir rasa hina. Tatapan mata Titik yang jujur dan penuh perhatian membuatnya berhenti sejenak, melupakan bisikan jurang yang menggoda.

Di bawah rindangnya malam, hujan mulai turun dengan lembut. Butiran air menari di antara bayang-bayang, membawa pesan tentang pembersihan dan awal yang baru. Titik perlahan menunduk dan menyentuh kembali bunga mawar putih di mejanya. Ia teringat akan masa lalu ketika bunga itu merupakan simbol kesetiaan—ketika ia masih percaya pada janji-janji masa depan pernikahan.

Setiap tetes hujan seolah menjadi irama yang mengiringi pergolakan batin. Dalam keheningan, Titik menyadari bahwa walaupun luka itu masih segar, ada kekuatan dalam dirinya yang belum sepenuhnya padam.

Ia mengingat hari-hari ketika ia merawat tanaman kecil di balkon, bagaimana ia dengan sabar menyiram setiap daun seolah setiap tetes air adalah janji untuk tumbuh kembali. Ingatan itu menyusup perlahan, mengalir bersama arus pikiran yang tak terputus, menyambungkan masa lalu yang indah dengan masa kini yang kelam.

Di sampingnya, Koma masih memegang secangkir kopi dengan tangan yang sedikit bergetar karena dingin. “Hidup memang kejam, Mbak. Tapi aku yakin, hidup lebih baik daripada mati dan menjadi berita viral di esok hari,” ujarnya sambil menyeringai, nada sarkasnya yang ringan membuat beban sejenak terangkat.

Langit perlahan berubah warna di bawah fajar yang mulai menyingsing. Warna merah lembut dan keemasan merayakan hari baru, seolah alam pun ingin memberi kesempatan kedua kepada jiwa yang terluka. Titik menuruni atap hotel dengan langkah perlahan, meninggalkan keputusasaan yang hampir membawanya ke ambang jurang.

Ia memperhatikan hal-hal kecil yang selama ini terlupakan—sehelai daun yang terbang tertiup angin, senyuman asing di antara kerumunan, bahkan derap langkah kaki yang berirama pelan seiring dengan harapan baru. Setiap detik, setiap langkah, seolah mengukir janji bahwa hidup ini, meski penuh luka, masih layak untuk dijalani.

Koma berjalan di sampingnya, sesekali melontarkan komentar yang membuat Titik tersenyum kecil. “Nih, lihat. Pagi ini ada berita orang gantung diri. Orang-orang di media malah memaparkan fotonya. Untung aja mbak nggak jadi lompat.”

Dengan setiap langkah, Titik merasakan bahwa ia tidak lagi sendiri. Bayangan pengkhianatan dan keputusasaan masih menghantui, tapi kini ia membawa secercah keberanian yang disemai oleh kehangatan persahabatan.

Di antara riuh rendah kota yang perlahan terbangun, ia tahu bahwa meski masa lalu tak bisa berubah, ia punya kesempatan untuk menulis bab baru.

Setibanya di ujung jalan, Titik menatap langit yang kini memerah lembut, seolah fajar sedang mengusap setiap kepingan hatinya yang retak. Di sana, dalam heningnya pagi, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak lagi membiarkan bayang-bayang masa lalu mendikte hidupnya.

Koma, dengan senyum tulus, menggenggam tangan Titik sejenak. “Ayo, kita mulai hari ini dengan secangkir kopi. Mbak sudah nggak sendirian lagi,” katanya sambil tertawa ringan, menebarkan kehangatan yang menembus dinginnya pagi.

Dan dengan itu, Titik melangkah ke dalam hari baru—dengan luka yang masih ada, namun dengan secercah fajar yang kini menuntunnya menuju harapan yang baru.

 
 
Penulis: Aryasutakaryawan swasta di Kota Kediri—di mana macet dan kopi hitam jadi sahabat sejati—selalu menuliskan keanehan hidup sejak masa SMA, hingga pernah menerbitkan buku yang terasa seperti eksperimen kegilaan masa muda. Sejak 2023, saya menetapkan target menulis setiap hari, meski malas dan gravitasi imajinasi kerap jadi lawan. Tahun ini, saya serius mengirimkan karya ke berbagai media, sebagai sindiran halus pada industri yang lebih memilih clickbait daripada cerita mendalam; di dunia digital, saya bisa ditemui di Instagram.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.