Fri, 18 Apr 2025
Esai / M. Yunasri Ridhoh / Mar 26, 2025

Economic Young: Bonus dan Bencana Demografi

Di antara deru gelombang globalisasi dan arus deras perubahan zaman, Indonesia kini berada di simpang jalan. Di depan mata, terbentang peluang besar yang disebut bonus demografi—sebuah masa ketika mayoritas penduduk berada dalam usia produktif.

Suatu kondisi yang, jika dikelola dengan cermat, dapat menjadi lompatan besar menuju kejayaan dan kemajuan. Namun, di simpang jalan yang lain, ada kelokan ancaman: jika anak muda tak diberdayakan, jika potensi mereka terbuang sia-sia, maka “bonus demografi” ini berubah menjadi bom waktu, menjadi “bencana demografi” atau “kutukan demografi”.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa menjelang tahun 2030, sekitar 70% dari total penduduk Indonesia berada dalam kelompok usia produktif. Ini adalah jumlah yang luar biasa besar—jutaan pemuda yang memiliki energi, kreativitas, keberanian, dan impian.

Namun, tanpa akses terhadap pendidikan yang tepat, tanpa dukungan ekosistem ekonomi yang sehat, angka itu bisa menjadi kutukan. Pengangguran meningkat, ketimpangan ekonomi melebar, dan kriminalitas merajalela.  

Karena itu pemuda tidak boleh dipandang  sekadar sebagai angka dalam statistik. Mereka adalah api yang harus terus menyala, energi yang bila diberdayakan akan mampu menggerakkan roda zaman. Di tangan mereka, masa depan ekonomi daerah dan nasional ditentukan.  

Kemandirian Ekonomi

Di pelosok desa yang sunyi dan hening, hingga pusat kota yang ramai, sibuk dan sesak, pemuda berdiri di persimpangan pilihan. Sebagian memilih menjadi pekerja, sebagian lain berani menjadi pencipta lapangan kerja.

Wirausaha dan UMKM menjadi pilihan bagi mereka yang ingin mandiri, yang ingin membangun dari nol, bahkan kadang dari mines, yang percaya bahwa mimpi bisa diwujudkan dengan ketekunan dan kesungguhan—yang semuanya dimulai dari langkah pertama.  

Namun, membangun usaha bukan sekadar tentang keberanian. Akses permodalan menjadi batu sandungan terbesar. Banyak pemuda dengan gagasan cemerlang harus mengubur mimpinya karena tidak ada investor yang percaya pada mereka. Teknologi yang semakin berkembang pesat juga menjadi tantangan, di mana mereka yang tidak siap akan tertinggal.  

Di sisi lain, teknologi juga membawa harapan. Era digital membuka peluang yang sebelumnya tak terbayangkan. Dari sebuah desa kecil, seorang anak muda bisa menjual produk kerajinannya ke mancanegara melalui platform daring.

Dari kamar sempitnya, seorang remaja bisa membangun aplikasi yang digunakan oleh jutaan orang. Bahkan ekonomi digital di Indonesia diproyeksikan mencapai US$130 miliar pada 2025, sebuah angka yang menunjukkan betapa besar peluang yang bisa diraih.  

Tetapi, apakah semua pemuda memiliki kesempatan yang sama? Tentu tidak. Infrastruktur yang belum merata, literasi digital yang masih rendah, serta kebijakan yang belum sepenuhnya mendukung membuat sebagian besar pemuda masih tertinggal dalam deru zaman yang terus berubah.  

Industri Kreatif dan Ekonomic Imajiner

Di balik setiap lagu yang menggugah dan menggetarkan jiwa, di balik setiap film yang menyentuh dan menginspirasi, di balik setiap desain yang memikat mata—terdapat potensi ekonomi yang luar biasa. Industri kreatif yang tumbuh diatas kreativitas dan imajinasi adalah sektor yang tidak hanya memberikan ruang bagi ekspresi dan menghibur diri, tetapi juga menjadi sumber pendapatan yang menjanjikan.  

Namun, di Indonesia, industri kreatif masih sering dipandang sebelah mata. Banyak pemuda berbakat yang harus berjuang sendiri, tanpa dukungan yang memadai. Hak kekayaan intelektual yang masih lemah membuat banyak karya mereka dicuri atau dibajak. Akses ke pasar global pun masih terbatas, karena kurangnya infrastruktur yang mendukung.  

Tetapi, harapan selalu ada. Pemerintah mulai melihat potensi industri ini sebagai salah satu pilar ekonomi nasional. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mencatat bahwa sektor ini menyumbang 7,4% terhadap PDB nasional dan menyerap lebih dari 18 juta tenaga kerja. Dengan dukungan yang tepat, industri kreatif dapat menjadi salah satu jalan bagi pemuda untuk mengubah kreativitas menjadi kekuatan ekonomi.  

Belajar dari Negara Lain

Di belahan dunia lain, negara-negara seperti China, Korea Selatan, dan Jerman telah membuktikan bahwa bonus demografi dapat menjadi berkah. China, misalnya, menginvestasikan sumber daya besar untuk pendidikan vokasi dan industri manufaktur, menjadikannya sebagai pusat industri dan ekonomi dunia saat ini.

Korea Selatan, dengan ekosistem startup dan inovasi teknologinya, telah menciptakan ekonomi digital yang kuat. Sementara Jerman, dengan sistem pendidikan berbasis vokasi yang ketat, mampu menghasilkan tenaga kerja yang siap bersaing di berbagai sektor industri.  

Indonesia bisa belajar dari mereka, tanpa harus kehilangan jati diri. Kita memiliki potensi besar dalam sektor ekonomi kreatif, ekowisata, dan industri berbasis sumber daya lokal. Yang kita butuhkan adalah kebijakan yang mendukung, akses pendidikan yang lebih inklusif, serta ekosistem yang memungkinkan pemuda untuk tumbuh dan berkembang.  

Bonus demografi bukan sesuatu yang abadi. Ini adalah peluang yang datang dalam rentang waktu tertentu, dan jika disia-siakan, boleh jadi tak akan pernah kembali lagi. Maka, langkah-langkah strategis harus segera diambil.  

Pemerintah harus lebih serius dalam menciptakan kebijakan yang berpihak pada pemuda. Pendidikan vokasi harus diperkuat, agar lulusan sekolah tidak hanya pandai teori tetapi juga siap bekerja.

Ekosistem yang menghubungkan antara dunia pendidikan dengan dunia usaha, dunia industri dan dunia kerja (DUDIKA) harus didukung, dengan regulasi yang lebih fleksibel dan insentif pajak bagi mereka yang berani berinovasi. Infrastruktur digital harus diperluas, agar pemuda dari pelosok desa pun memiliki kesempatan yang sama dengan mereka yang tinggal di kota besar.  

Namun, di atas semua itu, yang paling penting adalah perubahan pola pikir, dibutuhkan growth mindset. Pemuda harus melihat diri mereka sebagai aktor bahkan kreator perubahan, bukan sekadar penonton dalam panggung sejarah. Mereka harus berani bermimpi besar, berani gagal, dan berani bangkit kembali. Hanya dengan itulah pemuda dapat berperan.

Indonesia sedang berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, ada jalan yang membawa pada kejayaan, dengan pemuda sebagai penggeraknya.

Di sisi lain, ada jalan yang penuh ketidakpastian, di mana bonus demografi dapat berubah menjadi bencana demografi. Pilihannya ada di tangan kita. Dengan investasi pada pendidikan, ketenagakerjaan, dan kebijakan yang pro-pemuda, Economic Young dapat menjadi motor penggerak ekonomi yang berkelanjutan.

Tanpa langkah yang tepat, ledakan penduduk muda bisa berubah menjadi beban sosial yang besar, menghambat pertumbuhan ekonomi, dan menciptakan ketidakstabilan. Negara-negara yang ingin memanfaatkan bonus demografi harus bertindak cepat, sebelum jendela kesempatan ini tertutup.

 

Penulis: M. Yunasri Ridhoh, Dosen Universitas Negeri Makassar.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.