Hukum Adat dan Tradisi Suku Kajang Ammatoa
Salah satu kelompok Masyarakat adat di Indonesia yang masih konsisten mempercayai dan masih menjalankan adat istiadat mereka sampai sekarang yaitu suku adat kajang Ammatoa di Desa Tana Toa, Kecamatan kajang, kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Suku ini dikenal dengan sebutan “To kajang” yang artinya orang kajang.
Geografi Masyarakat adat di Sulawesi Selatan yang ditulis oleh Puspa pada tahun 2018 mengatakan Mereka bertempat tinggal di suatu wilayah yang berada di perbukitan yang berbatasan dengan teluk Bone berhadapan dengan pulau Selayar, 153 km sebelah Tenggara kota Makassar.
Masyarakat adat Ammatoa tinggal berkelompok dalam suatu area hutan yang luasnya 50 km yang mereka sebut sebagai Tana Toa. Mereka menjaga dirinya dari berbagai pengaruh atau intervensi dari luar, salah satunya dengan cara menjaga dan menerapkan dalam kehidupan keseharian pesan dan filosofi dari nenek moyang mereka, yang bertarung di dalam ajaran “pasang Ri kajang.
Di Tengah gegap gempita kemajuan zaman, Masyarakat adat Ammatoa masih terus berusaha untuk berpegang teguh pada pola hidup kamase-masea. Dalam Bahasa Bugis-Makassar, kamase-masea berarti “kasihan”.
Kamase-masea dalam bahasa konjo (Bahasa sehari-hari Masyarakat Ammatoa) dimaknai sebagai cara hidup sederhana atau yang tidak berlebihan. Olehnya dalam beberapa literatur, kamase-masea ditegaskan sebagai sistem nilai yang diyakini seperti perwujudan gagasan keilahian, atau sebuah sakralitas hubungan antara manusia dan tuhan.
Di dalam hidup bermasyarakat di Kawasan adat kajang Ammatoa diikat oleh aturan-aturan tidak tertulis yang mengikuti “pasang” (pesan atau amanat) yang dipercayai bahwa aturan ini datang dari Turie’ Akra’na (tuhan yang maha kuasa) dan disampaikan melalui Ammatoa.
Hukum adat merupakan hukum asli yang dijaga karena hukum adat adalah pedoman bagi Masyarakat adat kajang Ammatoa. Suku adat kajang Ammatoa menjadi salah satu suku paling ditakuti di dunia karena memiliki hukum adat yang ekstrim dan sakral, dan menjadi daya tarik bagi setiap orang yang ingin mengenal suku adat kajang Ammatoa yaitu kehidupan masyarakatnya yang unik dan kebudayaannya yang masih terpelihara dengan baik.
Wilayah kajang luar masih menjadikan hukum nasional sebagai hukum yang berlaku pada wilayah tersebut, sedangkan Kawasan adat kajang Ammatoa (kajang dalam) menegakkan hukum adat dengan baik dan tegas.
Mappatolangi dalam tulisannya tahun 2017 mengatakan Masyarakat adat kajang Ammatoa memiliki pasang sebagai sumber hukum. Oleh karena itu pasang mempunyai sanksi yang jelas dan juga tegas terhadap pelanggaran atau penyimpangan yang terjadi di dalam Kawasan adat kajang Ammatoa.
Taufiq dalam jurnal yang diterbitkan tahun 2020 menerangkan jika Ammatoa merupakan pemimpin tertinggi di dalam Kawasan adat kajang Ammatoa, beliau diangkat berdasarkan hasil musyawarah dan berdasarkan hasil penunjukan Turie’ A’ra’na.
Tulisan dengan judul Kepemimpinan dalam suku Kajang Ammatoa menyebut jika tugas utama Ammatoa adalah menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di dalam Kawasan adat dan melestarikan pasang dan hutan.
Dalam melaksanakan tugas dan perannya sebagai ketua adat beserta pemangku adat lainnya mereka dibekali aturan sebagai perannya ketua adat beserta pemangku adat lainnya mereka dibekali aturan sebagai perannya yaitu pasang yang diturunkan secara turun temurun sejak Ammatoa pertama.
Melihat pernaan Ammatoa, membuat kedudukan ammtoa menjadi semakin kuat dalam menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi maupun dalam menjaga dan melestarikan hutan.
Ammatoa dalam menyelesaikan pelanggaran adat pada dasarnya bersifat objektif artinya menyelesaikan permasalahan yang terjadi tanpa memandang atau melihat hubungan keluarga, status sosial, kaya atau miskin sehingga siapapun yang melakukan pelanggaran akan mendapatkan sanksi.
Abdul dalam tulisannya yang diterbitkan pada tahun 2017 mengatakan Hukum adat bersumber pada Pasang, yang mana Pasang adalah amanat, pesan dan perintah bersifat memaksa dan mengikat penganutnya.
Peranan Pappasang bagi masyarakat adat Kajang Ammatoa adalah sebagai sumber hukum dalam mengatur sistem masyarakat dan juga sebagai sumber ajaran dari perilaku masyarakat adat Kajang Ammatoa serta pedoman menjaga hubungan.
Tiga hal yang saling berkaitan dan dikatakan berperan apabila masyarakat yang menganutnya menjaga dan melestarikan ketiganya, yaitu pedoman hubungan dengan tuhan, pedoman hubungan dengan manusia dan pedoman hubungan dengan alam.
Tulisan dengan judul pasang sebagai sumber hukum dalam Masyarakat kajang mengatakan Sebagaimana yang kita ketahui bahwa wilayah ini terbagi menjadi dua wilayah yaitu Ilalang Embaya (Kajang dalam) dan Ipantarang Embaya (Kajang luar).
Ilalang Embaya (Kajang dalam) dikenal dengan sebutan Kawasan adat Kajang Ammatoa yang mana wilayahnya berada dalam kekuasaan adat, sedangkan Ipantarang Embaya (Kajang luar) yaitu wilayah di bawah pengawasan pemerintah struktur administrasi desa. Walaupun demikian, kedua wilayah tersebut tetap mempertahankan ajaran-ajaran leluhur mereka yaitu Pasang.
Dengan berlakunya sistem perundang-undangan negara (hukum negara), masyarakat adat Kajang Ammatoa masih mempertahankan hukum adat yang bersumber dari Pasang. Yusril juga menerangkan dalam tulisannya yang diterbitkan tahun 2021, walaupun demikian masyarakat adat Kajang Ammatoa juga dapat menyelesaikan pelanggarannya melalui hukum negara.
Apabila pelanggarannya sudah diselesaikan melalui hukum negara maka hukum adat tidak dapat lagi untuk diajukan karena permasalahan yang terjadi dianggap telah selesai melalui hukum negara itu sendiri yang dimana dalam konsep hukum di Indonesia yang menganut paham positivisme terlalu kuat meletakkan hukum negara lebih tinggi pemberlakuannya daripada hukum adat.
Maulana dalam jurnal yang diterbitkan pada tahun 2019 mengatakan ditengah arus globalisasi, adat istiadat di Kawasan adat kajang Ammatoa masih dipertahankan sebagaimana yang kita ketahui bahwa Kawasan adat kajang Ammatoa merupakan salah satu kampung tradisional yang menjadikannya daerah tujuan wisata sehingga globalisasi dan modernisasi akan masuk melalui para peneliti, wisatawan dan pemerintah setempat.
Namun walaupun demikian Ammatoa selaku ketua adat akan bertindak tegas, bertindak tegas artinya Ammatoa tidak melarang masyarakatnya untuk hidup modern tetapi jika ada masyarakatnya yang ingin hidup modern maka sebaiknya dilakukan diluar Kawasan adat kajang Ammatoa, dan jika ingin masuk ke dalam Kawasan adat kajang Ammatoa maka harus mengikuti aturan adat yang ada.
Adat istiadat dan sistem kepercayaan ini dipegang teguh oleh masyarakat Kajang Ammatoa meskipun pengaruh globalisasi dan modernisasi mulai dirasakan, khususnya di wilayah Kajang luar. Namun, Ammatoa sebagai pemimpin adat tetap menegaskan bahwa meskipun modernisasi bisa diterima, kehidupan modern hanya dapat diterapkan di luar kawasan adat, sementara di dalamnya, masyarakat harus tetap mengikuti aturan adat yang berlaku.
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun hukum negara berlaku di luar wilayah adat, masyarakat Kajang Ammatoa tetap mempertahankan hukum adat mereka sebagai pedoman hidup yang sakral dan tidak dapat digantikan.
Dengan demikian, keberadaan masyarakat adat Kajang Ammatoa dan hukum adat Pasang merupakan simbol dari pengaruh budaya hukum yang kuat di tengah arus perubahan zaman, menjadikan mereka sebagai salah satu contoh masyarakat yang berhasil mengintegrasikan nilai-nilai tradisional dengan tantangan modernisasi.
Maka, budaya hukum yang terjadi di masyarakat adat kajang Ammatoa telah memberikan pembuktian bahwa budaya sosial yang kuat dapat mengesampingkan hukum Negara yang ada di Indonesia.
Penulis: Fitri, mahasiswa Pascasarjana UGM jurusan Magister Ilmu Hukum.