Thu, 12 Dec 2024
Esai / Kontributor / Jan 01, 2021

Mendisiplinkan Diri Ala Kartini

“Kita mencari cahaya yang jauh padahal begitu dekat;
cahaya itu selalu bersama kita, di dalam diri kita.” Kartini, 1902

Tradisi kebangsawanan tidak membuatnya termanjakan. Nasib perempuan hingga kondisi pendidikan, senantiasa memberinya keresahan. Tantangan zaman tak menyurutkan langkahnya meraih impian. Begitupun pernikahan dini dan pingitan, tak mematahkan asanya mewujudkan harapan. Harapan tentang pendidikan yang berperikemanusiaan.

Bagi Kartini, hanya ada dua kebangsawananan, yakni bangsawan jiwa dan bangsawan budi. Tidak ada yang lebih gila, lebih bodoh dari orang-orang yang membanggakan “keturunan bangsawan,” tutur Kartini dalam suratnya untuk Nn. E. H. Zeehandelaar, pada 8 Agustus 1899.

Begitulah Kartini. Ia menolak panggilan sebagai Raden Ayu ataupun Raden Ajeng. Cukup baginya untuk dipangil “Kartini” saja. Semangat kesetaraan serta mengedepankan perikemanusiaan senantiasa bergelora di dalam dirinya.

Trinil, nama burung kecil yang lincah menjadi nama pangilan lain Kartini. Nama yang melekat karena sifatnya yang lincah, senang berlari, meloncat, dan cerewet. Tidak sekadar bernarasi dengan celotehannya, Kartini membuktikan aksinya. Ia senantiasa membaca, mendiskusikan hasil bacaanya, menulis dan menyebarkan pemikirannya kepada saudara dan kerabatnya.

Tiada hari tanpa membaca. Semua buku, termasuk koran dan majalah dibacanya dari berbagai sumber. Kartini kemudian berinteraksi dan membaca komprehensif mengenai gerakan emansipasi perempuan di Eropa. Sembari rutin surat-menyurat dengan sahabatnya di Eropa membincangkan pengamatan dan gagasannya.

Saat usia 16 tahun, Kartini telah menuliskan artikel mengenai Het Huwelijk Bij de Kodjas (Upacara Perkawinan Suku Koja). Artikel ini kemudian diterbitkan dalam jurnal kenamaan di Belanda pada tahun 1898. Sejarah pun mencatat bahwa ia merupakan perempuan pertama Indonesia yang karyanya dimuat di media Belanda.

Masyarakat Belanda terkesima dengan kemampuan Kartini. Begitu pula dengan kita masyarakat Indonesia. Keterbatasan nyatanya tidak menjadi penghalang. Kartini mampu membuktikan perkataannya mengenai, tubuh boleh terpasung, namun jiwa dan pikiran harus terbang sebebas-bebasnya.

Refleksi dari catatan sederhana mengenai Kartini ini ialah, bagaimana dengan kita? Berkumpul yang kini dibatasi, aktifitas di rumah aja, WFH (Work from Home) hingga penat dan rasa malas senantiasa membayangi. Sampai ada yang berkeluh kesah dengan telah sampai pada kondisi, dimana mau bosan, ia sudah bosan dengan bosan.

Jawabannya ialah mari belajar mendisiplinkan diri ala ibu kita Kartini. Hidup hanya sekali, sehingga kita harus senantiasa berarti sebelum mati. Kartini dahulu dipingit, terdeskriminasi hingga terjebak dalam stigma masyarakat mengenai perempuan sebagai makhluk kelas dua. Hanya ada Laki-laki yang selalu terdepan.

Keresahan mampu terkelola oleh Kartini menjadi energi positif untuk senantiasa berkembang. Senantiasa produktif meski keterbatasan membayangi. Kartini mampu membuktikan konsep psikologi bahwa inner-control, yakni kontrol perilaku berasal dari dalam diri. Sehingga apapun kondisi eksternal yang terjadi, kita dapat terus bergerak, berkarya, dan membentangkan kebermanfaatan. Kuncinya adalah mendisiplinkan diri.

Keyakinan akan masa depan harus senantiasa terpatri dalam diri kita. Seburuk apapun kondisi kita hari ini. Kartini juga menuliskan pesan indah mengenai tiada awan di langit yang tetap selamanya. Tiada mungkin akan terus-menerus terang cuaca. Sehabis malam gelap gulita lahir, pagi akan membawa keindahan. Kehidupan manusia serupa alam. Pesan ini menjadi bagian dari karyanya yang berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang. Dalam bahasa Belanda aslinya berjudul, Door Duisternis tot Licht. Secara harfiah bermakna Dari Kegelapan Menuju Cahaya. Konon ini juga terinspirasi dari QS. al-Baqarah ayat 257, Minadzulumati Ilan Nur. Ayat yang diajarkan oleh Syekh Sholeh Darat, salah satu guru Kartini.

Kartini akhirnya wafat di usia muda, setelah ia melahirkan putra pertamanya. Saat itu, ia menapaki usia 25 tahun. Namun di usia yang singkat tersebut, ia menorehkan banyak karya. Selain tulisan-tulisannya, ia juga mendirikan sekolah perempuan, beberapa karya batik dan kriya ukir, hingga mempekerjakan pemuda Rembang dalam griya seni ukir untuk menopang perekonomian Jepara.

Jika sampai saat ini, masih ada yang belum terinspirasi dari Kartini, bahkan menuding Kartini sebagai pahlawan bentukan Belanda, tentu mereka harus membaca komprehensif layaknya Kartini. Membaca lebih banyak, mengembangkan diri lebih optimal. Sebagaimana kata Kartini, “Kita mencari cahaya yang jauh padahal begitu dekat, cahaya itu selalu bersama kita, di dalam diri kita.” Begitupun sebaliknya, “Banyak hal yang bisa menjatuhkanmu. Tapi satu-satunya hal yang benar-benar dapat menjatuhkanmu adalah sikapmu sendiri.”

 

Penulis: Ahmad Akbar, kini menjabat sebagai Ketua Koperasi Pemuda Indonesia (KOPINDO) Wilayah Sulawesi Selatan periode 2018-2020, Koordinator Divisi Karya Forum Lingkar Pena 2019/2020, dan menjadi pengurus DPD Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Sulawesi Selatan periode 2019-2022. Penulis juga sementara menulis buku ketiganya yang berjudul, Memahasiswakan Mahasiswa. Sebelumnya, ia telah menulis buku mengenai Inspirasi Amanah Aspiratif dan Negeri Statistik.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.