One Piece di Era Simulakra
Senin pagi di sebuah kampus, Langkah pelajar berbaris rapi memasuki kelas. Lagu kebangsaan mengalun, kamera ponsel merekam setiap gerak, dan rekaman itu segera mengalir ke media sosial. Di layar, semuanya tampak khidmat dan penuh semangat.
Namun di tengah barisan, seorang pelajar menyanyikan lagu dengan bibir yang bergerak, sementara matanya kosong. Usai bernyanyi, ia kembali menunduk pada ponselnya, tersenyum menatap video nasionalisme yang sedang viral.
Terbesit pertanyaan, apakah pendidikan benar-benar membentuk rasa cinta tanah air yang mendalam, atau hanya melatih mereka untuk tampil seolah mencintai? Fenomena ini mengingatkan pada konsep simulakra Jean Baudrillard bahwa realitas yang tergantikan oleh simulasi yakni salinan tanpa makna.
Nasionalisme di sekolah kerap hidup sebagai citra seperti lomba kemerdekaan, video bertagar persatuan, atau unggahan simbolis. Indah di permukaan, tetapi sering hadir tanpa pengalaman nyata berjuang bersama komunitas yang terpinggirkan.
Seperti yang diingatkan Guy Debord dalam Society of the Spectacle (1967), masyarakat modern telah mengalami transformasi cenderung mengkonsumsi citra dan penampilan yang disebut sebagai tontonan, bukan lagi realitas pengalaman langsung dari dunia nyata. Jika sekolah hanya mengajarkan simbol tanpa makna, ia tak lebih dari panggung besar simulasi yang melahirkan penonton, bukannya pelaku perubahan.
Keterjebakan ini tak hanya ada di ranah simbol kebangsaan. Di banyak ruang belajar seperti perkuliahan, tolok ukur keberhasilan pun kerap ditentukan oleh indeks prestasi, sertifikat seminar, akreditasi, dan dokumentasi kegiatan. Walau hal tersebut penting, tetapi ketika menjadi tujuan utama, makna sejati Pendidikan yakni mencari kebenaran, mengasah integritas, membangun empati perlahan terdesak ke pinggir.
Kita merayakan toga dan gelar cum laude yang kini cukup mudah didapatkan demi standarisasi, namun jarang merayakan keberanian seorang mahasiswa yang bertanya: “Mengapa kebijakan publik kita tak berpihak pada yang lemah? Atau kenapa sistemnya demikian?”
Di titik inilah, pelajaran dari fiksi seperti One Piece terasa relevan. Ibarat replika dan bagaimana dunia nyata bekerja dalam perspektif Eiichiro Oda sehingga konsep ceritanya terasa sangat dekat dengan pembacanya khususnya kondisi di negeri kita. Eiichiro Oda menciptakan dunia bajak laut yang meski penuh absurditas tapi mampu memantulkan realitas kita.
Para bajak laut tersebut dalam posisi kontradiktif justru mewakili kegelisahan dan kenyataan yang terjadi, walau Luffy dan kru bajak lautnya disebut “penjahat” oleh kekuasaan, namun justru memegang nilai-nilai yang lebih manusiawi: setia, adil, rela berkorban.
Mereka tidak membangun negara atau menyusun manifesto politik. Mereka memilih menolak tunduk pada sistem yang culas, hidup di pinggir, dan membagi peran berdasarkan kemampuan, bukan otoritas mutlak.
Inilah anarkisme kolektif, yang menempatkan solidaritas di atas dominasi, sebuah cermin bagi pendidikan yang tidak hanya mencetak lulusan patuh, tetapi melahirkan individu yang kritis, berani mempertanyakan, adil dan berpihak pada yang lemah.
Zaman ketika kekuasaan bengis berbalut kesederhanaan serta kebijakan yang merugikan rakyat dibungkus retorika kebajikan, Luffy dan krunya justru menjadi pengganggu yang sangat dibutuhkan, kekacauan yang dilakukan bukannya merusak atau meruntuhkan tetapi memaksa kita bercermin kembali “siapa kita sebenarnya dan dimana kesetiaan moral itu bertumpu”.
Seperti seni sejati yang diungkapkan Horkheimer dalam bukunya Art and Mass culture (1941) bahwa kesenian sejati bukanlah pelarian dari realitas melainkan bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan hidup. Dia menolak seni sebagai hiburan yang sekedar mengalihkan perhatian sebab dapat menjauhkan manusia dari kesadaran kritisnya.
Demikian dalam dunia onepiece perlawan tampil epik dengan nuansa ringan dan penuh kelucuan namun pada dasarnya sebuah gugatan terhadap dunia yang terlampau serius dalam membenarkan dan menormalkan ketidakadilan. Luffy dan krunya di Onepiece yang cukup radikal dan polos namun bertindak berdasarkan pada hati nurani yang setia dengan kalangan kecil, yang rentan dan dianggap sepele oleh dunia.
Sebagian mungkin menilai sikap mereka semacam itu begitu kekanak-kanakan. Namun, di tengah dunia yang terlanjur begitu vulgar dalam menyamarkan kebengisan moral di balik topeng kebaikan, justru secercah kepolosan dari imajinasi fiksi menjadi wujud kesadaran yang paling murni (Kasiyan, 2025).
Kepolosan tidak mengenal kepura-puraan, ia tak punya kemampuan untuk bernegosiasi dengan kebohongan penguasa. Perlawanan mereka bukan pada senjata melainkan pada gestur tubuh jiwa yang terluka tapi terus berjalan sekuat tenaga, mereka menghadirkan wajah-wajah sejati dari manusia.
Pada keunikan inilah, onepiece justru melampaui batas hiburan dan menjadi sebuah kritik sosial yang mampu menyentuh akar realitas, didalamnya berpesan bahwa manusia jangan berhenti bermimpi akan kebebasan walau ditengah kekacauan dan runtuhnya makna.
Paulo Freire, dalam Pedagogy of the Oppressed (1968), berupa konsep conscientization merupakan proses kesadaran dalam mengembangakan kesadaran kritis terhadap realitas sosial, politik dan ekonomi yang menindas, membaca dunia dan melihat struktur penindasan. Sayangnya, di banyak kampus, ruang untuk merenung dan berdialog semakin sempit.
Jadwal padat, tugas menumpuk, dan tekanan administrasi membuat kelas kehilangan fungsi aslinya sebagai ruang kebebasan. Padahal, pembebasan pendidikan hanya mungkin jika teori terhubung dengan praktik sosial: kuliah yang disertai proyek lapangan, riset yang berpihak pada masalah riil, dan diskusi yang berani mengusik status quo.
Menjelang 80 tahun kemerdekaan, kita perlu bertanya: apakah Pendidikan hari ini melahirkan manusia merdeka, atau hanya pekerja terampil?
Kemerdekaan akademik bukan sekadar kebebasan berpendapat, melainkan keberanian untuk menolak ilusi, melihat dunia sebagaimana adanya, dan berkata “tidak” pada ketidakadilan bahkan jika datang dari kebijakan resmi, hal ini seperti ditegaskan Albert Camus dalam The Rebel (1951), pemberontakan sejati adalah penegasan nilai-nilai yang membuat hidup layak dijalani.
Bajak laut One Piece seperti halnya mahasiswa sesungguhnya berada di kapal yang sama, mengarungi lautan penuh tipu daya. Kampus yang hanya memberi peta resmi akan melahirkan penumpang simulasi. Sebaliknya, kampus yang membekali kompas moral, keberanian bertanya, dan kesetiaan pada nurani akan melahirkan nahkoda yang menemukan jalannya sendiri meski badai menghadang.
Pada akhirnya, tujuan pendidikan bukanlah menjadikan manusia sebagai “raja penguasa” di puncak karier, melainkan seperti Luffy yang ingin menjadi raja bajak laut, berlayar demi kebebasan sejati, kebebasan untuk hidup setia pada nurani di tengah dunia yang terus mencoba menjualnya.
Penulis: Galang Mario, mahasiswa Pendidikan Seni FBSB Universitas Negeri Yogyakarta, Jl. Colombo No. 1, Yogyakarta. Saat ini sedang focus studi dan Riset pada kajian seni budaya dan Pengembangan Pembelajaran seni rupa. Email: galangmario.2024@student.uny.ac.id