Thu, 12 Dec 2024
Puisi / Kontributor / Feb 16, 2021

Coffia Arabica

Philia

Duduk bersila di atas rumput, menatap tanah tersirat yang bernama
Tak butuh ucap katamu kala itu, mata kita hanya perlu temu tuk memahami duka
Ujung kerudungmu yang membuatku larut pada beberapa ingatan
tentang canda tawa kita yang tak bertuan apalagi bertuah
dimana hanya ada kita, keyakinanmu pada Allah dan keyakinanku pada Yesus
dan obrolan ringan tentang cinta seorang lelaki yang mebuat hati kita sedikit terkoyak
Hingga beberapa patah kalimat yang menciptakan gelak tawa
Tapi lihatlah aku sekarang,
dengan dada penuh luka yang berusaha menjahitnya walau tanpa bius
duduk bersimpuh di ruang malam adalah bagian dari kebiasaanku
Membasuh mata dengan segenap jari berharap segalanya menjadi usai karena waktu
waktu bukan seorang ibu, jangan berharap ia akan mengompres agar sakitnya berkurang, kau masih punya Tuhan, merataplah kepadanya, katamu lembut
Betapa mengerikannya kehilangan
Tuhan mengambilmu dengan senyum yang tak hentinya terukir
Kau bilang, ketika merindukanku tak perlu danau di matamu tumpah ruah
Cukup melihat senja dan aku akan datang sebagai burung camar yang bernyanyi riang
Bukan di lautan tapi dalam pikiranmu.
semoga engkau dalam lindungan bapa di surga.


*

Coffia Arabica

Derit hujan perlahan menyentuh tanah usang
Setiap tetesnya menceritakan segala kisah
Membawa pejalan kaki berteduh pada warung kopi tapi lupa berteduh dari air matanya sendiri
Manusia memang kadang lupa, mana yang harus dibereskan dan mana yang harus dilewatkan
Termasuk deretan ingatan yang menolak lupa
"Nona, kopinya keburu dingin, tidakkah kau ingin meminumnya selagi masih hangat?" Kata pelayan dengan ramah
Dengan Sekilas senyum, Kuraih gelas kopi dengan khasnya yang hitam
Semakin kusesap semakin pahit
Menyadarkan aku setiap sudut akan gelas ini
Setiap bibir yang mengecupnya memiliki kenangan masing masing
dan kenangan itu tidak perlu terburu-buru membuangnya
biarkan ia mengering hingga menemukan kisah baru
Entah dari bibir yang bersuka cita atau bibir yang berduka
Tak perlu terburu-buru,
Sebab tiap bercak yang tersisa harus sesuai takdirnya
Dan setiap takdir tak pernah luput dari tuannya.

 

Penulis: Nur Ainun Mappiwali, Mahasiswi UINAM jurusan Bahasa dan sastra inggris (BSI), aktif di Forum Lingkar Pena UINAM.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.