Cuara Buruk dan Ingatan Tentang Sebuah Nama
Di teras rumah kusibuki diriku menanti kepulanganmu
Dengan segelas nektar dan sepiring ambrosia
Aku menunggu kepulangmu entah sejak kapan itu bermula ingatanku pun lupa kapan terakhir kali kita bertemu lalu kau pergi.
Aku ingat bentangan senyummu itu yang tak berujung.
Sejak kepergianmu aku lebih banyak berdoa walaupun ingatanku tentang Tuhan mulai memudar
Album foto yang kusimpan yang berisikan tentangmu selalu kubuka tiap sore yang panjang
Kuratapi segala sesuatu yang ada pada dirimu mulai dari matamu yang sayu, hidung yang sedikit mancung dan bibirmu yang manis, barangkali ini alasanku untuk tidak melupakanmu.
Entah sudah berapa banyak cuaca buruk yang kulewati demi kepulanganmu.
Dalam menanti kepulanganmu lebih banyak kuhabiskan waktuku mendengarkan lantunan mazmur
Dengan ini membuatku tenang tanpa mengurangi sedikitpun akan ingatanku tentang dirimu
Setiap sepertiga malam aku terjaga dari mimpi-mimpiku
Dan kemudian aku menangisi segalanya sambil memeluk album foto tentangmu
Inikah kecemasan itu?
Mengapa ia membawaku jauh dari ingatan-ingatan tentang saat pertemuan pertama dan terakhir kita
Kini aku sudah lupa warna kecupanmu
Yang lebih menyakitkan lagi, aku sudah lupa namamu.
Penulis: Muh. Ilham Ismail, mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Makassar.