Elegi Untuk Epitaf
Kepada Suljalali Walikram
24 Menit sebelum pukul 6 sore
Langit barat tak terbakar karna berkabun
Jingga tenggelam bersama matamu yang pekat
Magrib mengalir jauh tanpa tunggu
Begitupun kau, pergi tanpa kalimat pamit
Memaksaku mengandung elegi
Mendesakku melahirkannya sebagai epitaf
Ketika tanah mengambil perannya
Pusara-mu menjadikanku hujan yang tak mengenal musim
Menggugurkan rintik huruf sebagai bunga dimakam-mu
Jari-jari waktu akan membenihkannya sebagai Elegi untuk Epitaf
Kelak akan tumbuh menjadi nisan yang paling akar
Agar lupa tak berani merenggutmu dari inginku
Sekalipun do'a mengajariku ikhlas yang paling tabah
Kini Aku adalah perempuan yang bergaun duka
Sebab rindu tak pernah tau diri
Menjadikanku rumah yang membingkai segala kenanganmu
Menyematkan namamu pada sujud terakhir yang tak mau berakhir
Dengan khusyuk menanti aamiin menjemput Kabul
Dari tangan Tuhan yang paling rahim
-Kini Aku mengerti,
Kepergian tak selalu perlu kalimat.
Penulis: Indiyus, mahasiswa Pendidikan Antropologi FIS UNM, anggota UKM MAPHAN UNM dan SERUNI.