Perempuan Pelantang Jalanan
Kini kita berdiri dilapang berpayung sengatan matahari
Bila esok datang penyerbuan lagi
Maka citra sudah tak tertata dengan sedugang kemolekan yang kita agungkan
Boleh bila kita sedikit berontak
Jika hukum-hukum yang berdaulat dirampas habis dengan pecahan koin emas
Tapi jangan mau berdiri di barisan depan
Jika kau berontak tanpa otak
Berkata tanpa data
Karna omong kosong sudah kita gerayangi bulat-bulat, kawan
Maka, ketika datang peringatan keras
Tentang rok dan gamis yang dipagar dan dikunci
Serta cemoohan dan sentuhan kurang ajar dari kaum muka dua
Itu artinya strata manusia ditumpas habis hingga maknanya tercacar
Itu artinya budak-budak diadopsi dari insan yang melahirkan insan lain yang menjadi tuan
Boleh bila kita sedikit berontak
Jika hukum-hukum yang berdaulat dirampas habis dengan pecahan koin emas
Kita tak mau lagi menutup mata
Berpura-pura tuli agar nama tetap harum bak bunga melati
Kita sudah terlampau kenyang dengan sandiwara nama bersih tapi tercium bau parfum lelaki
Sudah tak lagi segan ketika berkoar kotornya sebuah nama akibat sentuhan kaum mata keranjang
Karna perlindungan harus segera digenggam
Coba dengar bisikan lirih suara yang tecicit
Agni dengan puluhan psikolog dan nilai-nilah merah,
Emon dengan kekasih kecilnya yang masih mengecup botol,
Atau mahasiswi yang lari ketakutan dikejar bapak-bapak yang tertawa cekikikan
Sementara ketika beban sudah tak muat ditampung
Ia berusaha bercicit sedikit-sedikit
Ketika satu kalimat yang berhasil dikeluarkan
Ujaran-ujaran sampah dan penginjakan harga diri yang mereka diterima
Lantas, haruskah kita berlindung pada orang-orang waras?
Sedikit-sedikit
Boleh bila kita berontak
Jika hukum-hukum yang berdaulat dirampas habis dengan pecahan koin emas
Penulis: Lulun Safira Nurzilla, mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia UNS yang sedang belajar jurnalis di LPM Motivasi.