Mon, 23 Dec 2024
Puisi / Kontributor / Jan 06, 2021

Puisi Puisi Ardhi

Ranjang

Kau sudah tak betah jika terus di ranjang.
Berselimut raga dengan desah asmara.
Tatap nanar mata goda membara.
Kecup kening penuh gurat suka lara.

Entah mengapa kini kau suka kolam renang.
Bergaya dalam air keluar dari pipa nafsu.
Menuju gua kehidupan bersua dengan betina.
Bicara tentang air bukan ranjang, kau tertawa.

“Aku sudah bosan di ranjang,” katamu.
Sejenak ia terlupa bahwa ranjang beri kehangatan.
Sedang air menjamunya dengan dingin
Lantas betina lari, sisakan sunyi untuknya.

Sebab, ia lebih suka di ranjang.

*

Bocor

Hari ini hujan menyapa gubuk.
Bersama angin ia mampir dengan menubruk
Tanpa salam ia datang dan masuk ke dalam.
Telusuri ruang hampa keluarga nestapa.

“Pak, Bu, bocor, bocor, bocor!” kata sang anak.
Lengan bapak gesit bawa ember keberkahan.
Dan ibu sibuk cari panci berpantat hitam.
Untuk menampung tangis air dari atap nan gemulai.

Petir mulai merambah ranting pohon.
Kerlap cahaya ramaikan suasana, mencekam.
Gorden melambai minta tolong.
Riuh hujan bertarung dengan debar petir.

“Nak, tolong kau ambil panci kita yang terakhir,” kata ibu
Sang anak cekatan, ia cari panci itu ditemani dengan panik
Usahanya berbuah manis, ia segera menuju ibunya. Gentar hati ia lawan.
Ibu cemas, bapak lemas, bertemu dengan panci, ia ungkap benci.

“Mari tampung air mata duka yang kita alami," sang anak meringis.

*

Kata Kunci


Dia sibuk cari kata kunci.
Seharian mengais tiap lembar memori.
Dalam otak seraya cemas merayap.
Tak jua kata kunci ia temui.

“Aku lupa kata kunci,” katanya.
Dia bersenandung dengan sebuah lagu.
Rawan hati tak tentu menyerang batin.
Ia merunduk, pejam mata berharap temukan kata kunci.

“Sia-sia! Justru gelap menyapaku dingin,” tuturnya geram.
Mentari menerobos masuk ke celah mata sendu.
Kala jendela terbuka seperti hati lapang dirasuki udara segar.
Menuntunnya ke rak buku usang, lantas jemari menyentuh hangat.

Belai lembar tiap kata, mendung suasana menyeruak.
Secarik kenang kembali terpanggil setelah sekian lama hengkang.
Kini, sepi yang kembalikan kata kunci itu padanya.
Kata kunci itu merekat, pada foto ayah dan ibu yang merindukannya.

*

Lakon Alam

Cicak-cicak di dinding.
Diam-diam merancap
Lihat hujan dan tanah bersetubuh mesra.
Dalam dinginnya malam.

Tetes langit murung tertutupi gelap.
Basahi bumi yang kadung kemarau.
Jamah setiap jengkal raga.
Nan kering kerontang fakir kasih sayang.

Air mata sulit dibendung, kian lama datang menerjang.
Malam lepas dari genggam, lahir mentari bersinar duka.
Gemuruh cakrawala menggema, seru cambuk petir menyayat angkasa.
Lirih angin bersuara merdu namun bikin sendu.

Pagi yang elok urung datang
Siul kenari membisu di sangkar.
Air ramaikan jalan,
Menuntut mereka yang hilang kesadaran.

*

Kamis Berpayung Hitam

Kupandang dirimu di sore hari.
Berdiri tegar memegang payung hitam.
Tanda duka menyelimuti, keadilan yang tak pasti.
Menatap istana tempat penguasa ongkang kaki.

“Jangan diam, lawan!” ujarmu.
Seraya deru kendaraan lalu lalang.
Kata itu menguap, merasuk ke dalam sukma.
Muda mudi yang berharap keadilan akan datang.

Namun, penguasa tempat menggantungkan asa.
Tidak lebih sekadar omong kosong nihil makna.
Telah lewati masa kelam 21 tahun yang lalu.
Kala Semanggi dan Trisakti menjadi saksi penguasa lalim.

Tiada peduli didengar atau tidak.
Payung hitam terus mekar di hari Kamis.
Merentangkan spanduk agar mereka tersadar
Bahwa penguasa sedang apatis.

*

Bualan

Sudah berapa kali aku tersedak.
Batuk-batuk sembari menggerutu.
Tentang bualan yang kau tuang.
Dalam secarik kertas suci dengan barisan aksara.

Tiap huruf, kata, terangkailah kalimat.
Penuh janji dibalut manja, kau rangkai indah.
Bak sajak penyair ulung, kau mengemasnya rapi.
Bersama rima dan koma, bikin aku terlena.

Remang hati menunggu kecupan rindu.
Saat bibir ranum itu menyapa bibirku yang gigil.
Kebas rasa tanpa asa, meringkuk dingin dalam lembah nestapa.
O, duhai kasih, tatap mataku hingga membeku dan kaku.

Siapa nyana kau kini seperti abu.
Tertiup lirih angin sisakan bekas hitam.
Mencekam, merekat kelam dalam benak.
Rangkaian aksaramu tak lebih buatku jemu.

*

Senandung Kaum Fals

Ijinkan aku menyayangimu,
Wanita bermata indah bola pingpong.
Nan bersenandung lirih menahan rindu tebal.
Menanti seorang kekasih dalam balut kemesraan.

Mentari menyingsing menuju barat.
Dia menunggu dari siang di seberang istana.
Hingga sore di tugu pancoran temani raga.
Kuingat waktu itu kau bilang, “Buku ini aku pinjam."

Tergurat senyum dalam bibir manismu
Tergores sajak indah namun belum ada judul.
Katamu, “Biar tahu, biar rasa, cinta ini milik kita."
Ah, sayang, aksaramu bongkar benci jadi rindu.

Kusimpan sajakmu jadi barang antik nan cantik.
Kupuja dan puji bak manusia setengah dewa.
Kudendangkan baris kata indahmu pada temanku.
Pada Sugali dan Bento hingga mereka melongo.

Pun kuperkenalkan ia pada ibu.
Ibu bahagia dan memintaku untuk segera jadi sarjana muda.
Katanya, “Cepat kau pinang dia."
Dari situ, kontrasmu bisu, kau pergi putus asa, jadilah aku yang terlupakan.


Penulis: Ardhi Ridwansyah, mahasiswa Komunikasi UPN Jakarta, suka menulis esai dan puisi.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.