Refleksi Evolusi Spiritual-Intelektual Manusia
KEMANDEGAN EVOLUSI-SPIRITUAL DI TENGAH REVOLUSI 4.0
"Kita telah memasuki revolusi 4.0, dengan digitalisasi serta berbagai aspek lainnya yang telah ditawarkan. Namun sayang, kita malah mengalami kemandegan dalam Proses Evolusi Spiritual," Celoteh Dinasty.. ????
*
Manusia merupakan suatu mahluk yang teramat unik. Keunikan yang dimilikinya tentu dapat dilihat dari begitu besarnya rasa ingin tahu mereka akan segala sesuatu. Mulai dari rasa ingin tahu pada seluruh fenomena material yang terinderawi seperti pegunungan, perbukitan, hutan dan lautan, namun juga pada hal-hal yang sifatnya abstrak (ghaib). Dengan hal ini, maka boleh untuk dicap bahwa manusia merupakan mahluk yang begitu 'kepo'.
Berkaitan dengan bentuk 'rasa ketakjuban' yang dialami oleh manusia tatkala berinteraksi dengan suatu realitas atau fenomena, manusia mengembangkan suatu metode guna menghasilkan jawaban atas ketidaktahuan dan ketidakpuasan tersebut. Interaksi manusia dengan realitas ataupun fenomena, telah berbuah dengan lahirnya Filsafat. Guna menemukan pengetahuan yang lebih komprehensif atas realitas fisik dan yang nampak, manusia mengembangkan suatu metode atau pendekatan khusus guna menemukan gambaran atas realitas tersebut seperti Filsafat Empirisme, Materialisme dan Sains. Sedangkan upaya manusia guna memperoleh pengetahuan akan hal yang abstrak yakni hal yang berada dibalik penampakan fisik (Metafisika), maka manusia mengembangkan suatu metode filsafat yang lebih halus dan lebih mendalam guna mengungkap realitas abstrak tersebut. Dalam hal ini, berbagai kalangan filsuf telah mengembangkan pemahaman-pemahaman atau bangunan filsafat mengenai hal ini (realitas abstrak). Mereka umumnya terhimpun dalam pengelompokan kategoti filsafat Esensialis-Idealisme.
Terlepas dari pengelompokan filsuf Esensialis-Idealisme tersebut, menarik jika aspek rasa keingintahuan manusia (kekepoan) akan hal-hal yang abstrak di eksplorasi lebih Lanjut. Dan yang akan menjadi asumsi berikutnya, bahwa dibalik rasa ingin tahu manusia pada hal-hal yang non material, telah menunjukkan bahwa manusia pada sejatinya juga memiliki esensi yang berupa kebutuhan kepuasan batin. Kepuasan batin manusia terpenuhi dan dipenuhi, tentunya melampaui pemenuhuan kebutuhan jasmaniah. Dengan itu, manusia dapat dikata sebagai 'Homo Spiritual', yang dibuktikan dengan semangat pencaharian pengetahuan sejati, guna menuju pada kesempurnaan kualitas diri.
Dari titik inilah proses evolusi spiritual manusia mulai berjalan. Dengan evolusi spiritual, manusia mengalami suatu proses gerak menuju pada penyempurnaan dan keterlepasan dari segala hal yang material (kotor). Salah seorang filsuf Muslim asal Persia, yakni Ibnu Sina yang di Barat lebih di kenal sebagai Aveccina mengistilahkan proses sebagaimana yang telah disebutkan tadi sebagai mati 'Ikhtiari' atau 'mati sebelum mati'. Tatkala jiwa terlepas dari segala hal yang material, jiwa tersucikan dari segala yang mengotorkan jiwa itu sendiri. Dengan itu pula, penyucian jiwa oleh seorang insan yang hendak mencapai spiritualitas yang tinggi, tentu tidak dengan suatu tindakan yang hedonitas yakni suatu rangkaian perbuatan yang menggiring seseorang dari kesucian jiwa. Akan tetapi, tentu dijalankan melalui tindakan alienasi, yakni kontemplasi. Kontemplasi disini, jangan diartikan hanya sekedar rangkaian tindakan pengasingan diri dari seluruh hal-hal yang berkaitan dengan Keduniawian. Justru makna kontemplasi yang dimaksudkan lebih komprehensif, dengan tetap melihat posisi manusia sebagai mahluk sosial. Kontemplasi juga tetap dapat berlangsung di dalam ruang sosialitas-kemasyarakatan, seperti penyucian jiwa lewat peribadatan yang ada di dalam suatu ajaran agama.
Perlu diketahui bahwa evolusi spiritual bukan keadaan yang stagnan yang mengakibatkan seseorang yang sedang menjalaninya berada dalam keadaan vakum. Justru evolusi spiritual adalah suatu gerak mobilitas yang paling azali. Seseorang yang melakukan suatu kontemplasi diri batin, sejatinya lebih bergerak dari pada orang yang bergerak secara Fisik. Geraknya lebih Aktif dari pada keaktifan dari suatu Grup Whats'app, yang selama 24 Jam tiada henti untuk online.
Jika dirangkai dalam kata-kata, gerak seorang kontemplator seperti berikut:
Dalam diam aku bergerak..
Aku bergerak dengan kedalaman..
Dalamnya begitu dalam..
Hingga aku hampir lupa akan dunia..
Begitu dalamnya suatu proses pendalaman batin yang dilakukan oleh seorang kontemplator, bahkan dunia pun hampir saja ia lupakan.
Tentu pendalaman tidak hanya dilakukan hanya sebatas pada tindakan kontemplatif saja (perenungan), sebab penghayatan yang dalam tanpa diiringi oleh amal perbuatan, tentu tidak ada artinya. Oleh sebab itu, perbuatan atau tingkah laku juga memainkan peran vital dalam memengaruhi mobilitas dari strata/tingkatan pada suatu evolusi spiritual. Dan disinilah letak keseimbangan antara syariat dan hakikat, antara perbuatan dan cinta, serta antara teori dan praktek.
REVOLUSI 4.0 DAN DE-EVOLUSISASI
Memasuki suatu fase baru, yang konon beberapa literatur-literatur kontemporer istilahkan sebagai era Post-Modernitas atau Modernitas Radikal. Suatu term epos yang sejatinya tidak dalam rangka memutuskan keberlanjutan epos Modernitas, akan tetapi justru menunjukkan keberlangsungan dari fase modernitas itu sendiri. Dalam hal ini, dunia/masyarakat kontemporer sedang mengalami suatu perubahan signifikan dalam aspek sosial. Sebagai akibat dari berlangsungnya suatu proses revolusi 4.0 yang turut serta dalam menghadirkan suatu kondisionalitas, yang berupa:
"Yang Jauh terasa dekat, dan yang dekat terasa Jauh"
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya, siapakah dalang utama yang menyebabkan kondisi tersebut ?
Apakah sang teknologi mutakhir yang berupa Smartphone (Android) dengan segala kecanggihannya, ataukah sang manusia itu sendiri yang berperan selaku Aktor (Agen) pengguna dari teknologi tersebut, yang merupakan pelaku sejati ?
Tentu saya tidak akan larut secara mendalam pada perdebatan tersebut, yang hingga hari ini kedua belah pihak masih tetap berseteru dan mengkalaim siapa benar, siapa salah.
Yang terpenting untuk diketahui hemat saya, yaitu bahwa perubahan kebudayaan yang berupa teknologi dengan hadirnya revolusi 4.0 sebagai suatu loncatan perubahan paling mutakhir, kini telah menghadirkan pola relasi baru di kehidupan sosial. Dan kini sedang turut pula mempengaruhi proses evolusi spiritul manusia.
De-Evolusisasi. Ya mungkin seperti itulah konsep yang hendak saya tawarkan mengenai keadaan yang menimpa proses evolusi spiritual di abad 21. Evolusi spiritual yang sejatinya merupakan suatu proses pengejaran atau gerak menuju cinta sejati (esensial love), kini malah tersendak oleh suatu batu yang menghalangi aliran sungai. Batu yang dimaksudkan disini yaitu 'CANDU' atau ekstacy duniawiah.
Masyarakat di era Post-Modernitas seakan mengalami suatu kecanduan yang begitu amat berlebihan atas segala hal-hal yang berbau keduniawian. Segala bentuk budaya dan etos materialistis, kini sedang melanda masyarakat yang mengkala dan mengaku-ngaku paling berkualitas. Lewat penggunaan teknologi yang tidak bijak, manusia Post-Mo ter-reifikasi oleh hasil ciptaan mereka sendiri. Mereka seraya melakukan proses eksternalisasi lewat ekspresi dan konsumsi pada teknologi, namun malah menghadirkan suatu pola kebudayaan objektif yang timpang. Kebudayaan tersebut ialah 'Candu' yang makin menjangkiti segenap elemen di dalam masyarakat. Candu menjadi tradisi, ia menjadi kultus baru yang dijalankan sekaligus di sembah sehingga terbentuklah penghambaan baru pada teknologi.
Candu yang menjadi tradisi, tentu di pandang sebagai keadaan normal dalam aktivitas keseharian masyarakat Post-Modernitas. Candu tersebut mampu mengkonstruk rasa senang dan gembira lewat 'simulacra chattingan' dan emoticon. Candu tersebut juga telah menjadikan rasa lapar tidak alami lagi. Lapar kini tidak lagi bersumber dari perut, akan tetapi lewat orgasme mata dengan manipulasi iklan. Bahkan, rasa candu tersebut telah mengubah semangat dan arah spiritualitas umat manusia, yakni dari kedalaman ke kedangkalan.
Kini dunia tidak lagi mampu untuk memproduksi akal sehat, namun malah mereproduksi kebencian lewat peternakan hoax. Dunia semakin tidak jelas arahnya kemana, demikian pula manusia yang ada di dalamnya, kini makim tercerabut dari akar kesadaran dan rasa kemanusiaan yang dimilikinya lewat suatu proses genosida eksistensial.
Sehingga yang kini berjalan di muka bumi bukan lagi manusia, akan tetapi mayat hidup karena ia tak bernyawa, dan robot karena ia tak merasa.
REKONSTRUKSI SISTEM : SUATU LANGKAH MEMULAI POST-CANDU
Sebagaimana yang telah diuraikan bahwa candu (ekstacy) yang kini terobjektivikasi sebagai suatu kebenaran mutlak dan tradisi semakin menggiring masyarakat ke arah Kejahiliahan. Tentu apakah keadaan yang demikian akan didiamkan begitu saja? Sembari menunggu kepunahan pada kemanusiaan (Post-Human) dan pada masyarakat (De-Sosial).
Seperti yang tersirat dalam pandangan seorang ilmuan sejarah ternama yakni Arnold Toynbee, yang dimana pemantapan dari perkembangan suatu peradaban tentu harus melalui proses "challenge and response". Dengan asumsi tersebut, maka sudah semestinya ketika kita semua mengiginkan suatu peradaban yang bermutu dan berkualitas tinggi, yang di dalamnya terdapat keselarasan kosmik tanpa ketimpangan dan eksploitasi oleh suatu entitas kepada entitas lainnya. Maka sudah semestinya pula, kita hadirkan suatu respon atas gejala candu yang melanda masyarakat kita di hari ini. Sebab candu yang membudaya adalah suatu challenge bagi segenap insan yang tersentak hatinya, guna membangun masyarakat dan kebudayaan ke arah yang lebih baik.
Realitas objektif di tengah masyarakat yang berupa 'kebudayaan candu' mesti diberi suatu lawan tanding, yang saya pribadi maksudkan dan hadirkan sebagai 'proyek sistem transendental.'
Proyek sistem transendental tentu merupakan suatu prakarsa yang muncul dan lahir lewat pengalaman langsung dengan relaitas kejahiliahan yang sedang melanda masyarakat manusia. Proyek sistem atau ola transendental dilaksanakan dengan proses politis yang realistis akan situasi namun tetap diisi oleh samangat idealistik untuk perubahan dan perbaikan kualitas masyarakat. Proyek sistem transendental dimaksudkn guna dicapai suatu keadaan yang selaras anatara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, manusia dengan alam, manusia dengan dirinya sendiri, termasuk manusia dengan teknologi. Tujuan tersebut, tentu sekiranya dapat dicapai melalui 'rekonstruksi sistem' pada tataran budaya (cultural) dan tataran struktural yang ada. Di dalam proses perubahan tersebut, untuk tataran budaya, pendidikan mesti dimeratakan (pendidikan yang merakyat) dan sistem pembelajaran yang sebelumnya cenderung doktriner mesti diubah menjadi pendidikan yang lebih manusiawi. Pola pendidikan yang terlalu timpang pada aspek materialistis semata, mesti dire-orientasi ke arah atau orientasi pendidikan dengan prinsip keseimbangan. Sedangkan pada tataran struktural, mesti direkonstruksi kembali tata hukum yang tidak adil kepada masyarakat dan tidak tebang pilih, serta kondisi struktural yang memungkinkan dibolehkannya suatu pemeluk agama untuk diatur berdasarkan aturan keagamaannya dengan tetap memegang prinsip harmonis dengan struktur-sistem yang utama.
Singkatnya proyek sistem transendental dimaksudkan sebagai upaya perbaikan terhadap sistem yang ada, yang diwarnai oleh pola sistem yang non-spiritualis dan kapitalistik. Sebab budaya candu yang ter-objektifikasi sebagai suatu kebenaran, sejatinya lahir dari pola yang berupa sistem yang ekspolitatif. Dengan itu sistem transendental hadir sebagai jawaban kejahiliahan yang melanda masyarakat, yang diwujudkan dengan langkah-langkah politis, realistis-idealis dan moderat.
Adapun kaitan lebih lanjut dengan proses evolusi-spiritual yang dijalankan individual, proyek sistem transendental yang terwujud secara budaya dan sistem akan turut mendukung proses evolusi-spiritual pada manusia pendukung kebudayaan dan sistem tersebut. Dengan disediakannya suatu kondisi yang kondusif dan harmonis bagi relasi tiap entitas yang ada, maka diharapkan proses evolusi spiritual yang sebelumnya tersendak oleh budaya candu, dapat kembali berlangsung.
Penulis: Dinasty Dindra Pratama (Mahasiswa Sosiologi Universitas Negeri Makassar)