Seketika Dunia Teralihkan
Ibarat laju terarah disinggahkan,
akibat penghalang yang ditunggu reda.
Ibarat kapal kecil menunggu badai sirna,
singgah di pelabuhan melengkapi persediaan,
sebelum mengarungi lautan yang entah ujungnya di mana.
Badai gelombang menyerang tak tentu arah.
Ini tentang aku, yang memilih untuk singgah.
Tentang aku yang menyiapkan amunisi, perbekalan,
melengkapi kekurangan, mengisi kekosongan.
Yang mampu dilengkapi oleh seorang yang ku panggil teman.
Teman tempat berbagi tawa bahagia memuncak,
tempat sandaran buat iba sedih mendasar.
Teman yang dengannya segala nyaman.
Bersamanya kembali bersemangat, bersamanya terasa aman.
Bersamanya terasa tenteram.
Bukannya lebay.
Memang, jalan ditempuh tidak akan mudah.
Tantangan, cobaan, halangan, sikutan, bantingan,
tendangan, cacian, makian bisa saja datang.
Menghantam bertubi-tubi tanpa menunggu salah satunya terselesaikan.
Datang bergerombolan dari segala arah,
atas dan bawah, kiri dan kanan, depan dan belakang.
Entah darimanapun itu arahnya.
Bak gelombang yang memukul bahtera,
yang tak mampu diperkirakan arahnya.
Demikianlah manusia, aku seperti itu adanya.
Butuh dia untuk melengkapi kurangnya jiwa dan raga.
Bisa saja aku memilih menerobos halangannya sendirian,
tapi ku tak yakin bisa selamat dalam menerjangnya.
Bisa saja aku memilih menggebrak sendirian
tapi ku tak yakin tubuh ini utuh setelahnya.
Bisa saja aku melewati penghalangnya sendirian,
tapi aku tak yakin pada kemampuan ku sendiri tanpa dia.
Yah, aku memilih untuk berhenti sejenak.
Menjemput teman.
Dia yang bersedia menjaga belakangku saat ku fokus ke depan,
memerhatikan kiriku saat ku melihat kanan,
menguatkan bawahku saat kucoba meraih ke atas.
Kadang berganti posisi agar semua terkendali dengan pasti.
Dia harus kucari dan ku ajak naik ke bahtera ku ini.
Bersama jalani hidup bahagia maupun sengsara.
Berbagi sedih dan tawa diperjalanan yang ujungnya tak terlihat mata.
Bersiap sedia pada segala kondisi kini dan nanti.
Dengannya ku percaya,
tanpanya tak bisa ku melanjutkan melangkah untuk meraih cita.
Dia. Ya Dia. Ku mau Dia.
Penulis: Mohd. Sadzan Asram, akrab dipanggil Sadzan. Mahasiswa tingkat akhir yang sedang berusaha mengapai mimpi walau posisi dan kondisi tidak mendukung.