Anomali Kehidupan Sipil
Berhubung tulisan pendek ini bercerita tentang apa yang saya lihat dan saya alami, maka tulisan ini akan dibuat dengan tempo yang sesantai-santainya dan dalam waktu yang sesimpel-simpelnya. Gaya bahasa tulisan ini akan saya buat tidak terlalu kaku, anggap saja seperti membaca sebuah naskah dongeng.
Oke, mungkin saya akan memulai tulisan ini dengan nada yang cukup emosional, saya jengkel dan marah terhadap apa yang ada di depan kedua mata kepala saya sendiri.
Indonesia saat masa-masa pasca-Kemerdekaan tingkat buta huruf masyarakat pada waktu itu adalah 90 persen bahkan dari beberapa data yang saya temukan di artikel internet mencapai 95 persen, artinya sisanya hanya sedikit orang yang bisa membaca dan menulis. Delapan puluh tahun kemudian, tingkat buta huruf hanya pada akumulasi 3 persen secara statistik nasional.
Permasalahan Indonesia saat ini bukan lagi tentang buta huruf ataupun buta aksara, tetapi masalah yang dihadapi saat ini adalah tingginya tingkat buta politik masyarakat Indonesia.
Gak usah tanya mana data konkretnya, secara empiris fenomena tersebut sudah terbukti secara faktual, seharusnya pertanyaan utama yang diajukan adalah bagaimana hal tersebut bisa terjadi. Apa yang membuat masyarakat gagap dalam memahami perpolitikan?
Jawaban mudahnya adalah faktor tingkat pendidikan masyarakat yang rendah dan minimnya minat membaca. Sekilas itu memang seperti jawaban template yang umum digunakan untuk menggambarkan permasalahan inti dari perilaku masyarakat, ya mau gak mau memang itu sebab utamanya.
Gambaran substansi yang ideal untuk juga menjadi pemecahan masalah bagi para pemangku kebijakan, itu pun juga kalau pemerintah punya niat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Percakapan
Kemudian apakah pemerintah sudah melakukan pendidikan politik yang layak terhadap masyarakat? Oh, tentu saja tidak. Mereka tidak mungkin melakukan tindakan yang dapat menjadi “bumerang” bagi mereka sendiri, kebodohan rakyat adalah komoditas penting bagi para elit politik.
Setidaknya itu adalah alasan utama mengapa pendidikan politik di masyarakat tidak pernah terlaksana dengan sangat baik dan maksimal. Oiya, tadi kan saya sempat marah ya di awal tulisan? Tapi sekarang malah jadi biasa saja, dan agak malas. Saya sebenarnya hanya pengen bikin cerpen (cerita pendek) saja, tapi kehidupanku gak begitu menarik untuk diceritakan.
Beberapa minggu lalu saya bertemu dan jagongan dengan rekan ngopi saya namanya Pak Toyo di rumah beliau, kebetulan saya mampir kala itu, kami ngobrol ngalor-ngidul tentang apa saja termasuk politik.
Bicara soal pemimpin, beliau punya kriteria sendiri (kebetulan kami orang Jawa sehingga obrolannya bernuansa karakteristik orang Jawa):
“Sampeyan wingi nyoblos sinten Pak pas pilpres?” (Anda kemarin nyoblos siapa Pak sewaktu pilpres?) tanyaku serius.
“Aku milih Prabowo mas,” ucapnya.
Jawaban yang sebenarnya sudah saya tahu karena di tembok rumah bagian depannya tertempel stiker bergambar Prabowo-Gibran, itu tadi hanya pertanyaan basa-basi hingga kami tiba pada obrolan mengenai pemimpin yang otoriter (dalam konteks organisasi).
“Terkadang kita butuh seorang pemimpin yang otoriter,” ucap Pak Toyo hingga membuatku terkejut dengan reaksi ekspresif seperti Coki Pardede “Haaa..?”
“Pemimpin otoriter dibutuhkan saat tidak ada keputusan final dalam memutuskan sesuatu,” lanjut beliau.
“Oh iya, enggeh Pak.” sautku merespon Pak Toyo.
Dari ngomongin negara hingga pemimpin otoriter dalam konteks organisasi ini, obrolan kami memang benar-benar the real “ngalor-ngidul”.Saya hanya merespon “iya” saja karena saya juga malas berdebat, meng-iya-kan bukan berarti saya sepakat. Setelah itu kami membahas PKI (Partai Komunis Indonesia) juga soal pembunuhan orang-orang yang terduga komunis.
“Mbahku (kakekku) dulu juga jadi korban, dieksekusi di sebelah utara desa di dekat sawah,” ucap beliau sambil nunjuk ke arah utara.
“Lha kok saget dieksekusi Pak?” (La kok bisa dieksekusi Pak?) tanyaku.
“Nah iku, aku yo gak ngerti.” (Nah itu, saya juga tidak tahu.) jawabnya.
Kami benar-benar ngomongin hal-hal yang random yang membuat saya lama-lama jenuh dan akhirnya pamit pulang.
Saya agak kurang pandai kalau membuat cerpen seperti ini, ingatan saya gampang lupa, ada banyak sebenarnya obrolan yang bisa diceritakan di tulisan ini. Karena hari-hari terbiasa menulis esai. Beberapa minggu kemudian ketika saya sedang maem sego kucing (makan nasi kucing)di angkringan dekat desa yang penjualnya juga saya kenal, di situ saya secara tak sengaja bertemu Pak Kimpul.
Beliau berparas tua riang gembira, badan yang cukup gemuk, dan selalu memakai topi warna hitam bergambar lambang negara Indonesia, burung garuda Pancasila. Saya hanya mengingat sedikit obrolan dengan beliau yang cukup panjang selama satu jam lebih itu.
“Soko ngendi mas?” (Dari mana mas?) tanya Pak Kimpul kepadaku.
“Biasa Pak, bar pit-pitan.” (Biasa Pak, habis sepedaan.) jawabku.
Setelah itu kami ngobrol panjang lebar hingga tiba pada Pak Kimpul kesal dengan keadaan Indonesia hari-hari ini, termasuk kesal dengan Jokowi yang tidak segera diadili.
Dan saya tertawa tipis setelah mendengar curhatan beliau karena orang Solo “nyentrik” yang sebelumnya dipuja-puji masyarakat itu sekarang jadi common enemy.
“Wah wes pancen wong Solo (Jokowi) kae ki jan, ninggalke utang negoro akehe semono.” (Wah memang orang Solo [Jokowi] itu, meninggalkan utang negara yang sebegitu banyaknya.) ucap Pak Kimpul.
“Kudune wong-wong koyo ngono kui sing dipenjoro, nyengsarakne rakyat. Bajingan!” (Seharusnya orang-orang seperti itu yang dipenjara, menyengsarakan rakyat. Bajingan!) tegasnya sambil berbicara dengan ekspresi dan nada yang emosional.
Saya merespon sambil tertawa lucu karena beliau yang marah sambil misuh-misuh mendengarkan kata demi kata yang terucap dari mulutnya, jarang-jarang saya mendengar langsung keluh kesah seperti ini.
Dulu waktu pascapemilu banyak sekali yang memuja-muji idolanya sekarang begitu melihat boroknya pemimpin mereka, sekarang mereka punya pandangan yang berbeda.
Ya seperti kebanyakan masyarakat yang hanya mencoblos pilihan mereka karena amplop, bagi kita yang paham apa itu praktik politik para elite maka kita akan mampu melihat beberapa langkah ke depan dengan presisi dan rinci sehingga memungkinkan kita untuk lebih tahu mana pemimpin yang buruk dan mana pemimpin yang ideal.
Minimal punya rekam jejak yang tidak parah misal pemimpin tersebut tidak mencapai tingkat yang ideal.
Pragmatisme Negara
Baru-baru ini kita mendapatkan berita yang sangat “asu” sekali yang pada akhirnya menjadi pemantik kemarahan masyarakat sipil tentang kenaikan tunjangan DPR (Dewan Perampok Rakyat) yang di luar akal sehat masyarakat Indonesia di tengah-tengah kesulitan ekonomi dan kebijakan efisiensi dari presiden Prabowo.
Nominal tunjangan seperti tunjangan rumah, tunjangan beras, hingga tunjangan kehormatan yang ditaksir hingga jutaan tersebut membuat masyarakat bertanya-tanya tentang kenapa tunjangan sebesar itu diberikan kepada DPR ketika akhir-akhir ini reputasi lembaga tersebut sedang anjlok menyusul kinerja DPR yang selalu meloloskan rancangan undang-undang (RUU) yang kontroversial.
Tak hanya itu, kenaikan tunjangan tersebut juga menghina akal sehat publik ketika masyarakat sedang dihantam masalah ekonomi dan susahnya mencari pekerjaan.
Di sisi lain ada sekelompok oportunistik yang memancing kemarahan rakyat dengan memanfaatkan mereka untuk turun ke jalan pada 25 Agustus 2025 dengan hastag “Bubarkan DPR.” Awalnya saya gak curiga, tapi setelah melihat pamfletnya yang cukup aneh karena pada pamflet tersebut menampilkan tulisan arahan untuk mengambil benda-benda yang dibuat untuk membuat kerusuhan dan juga postingan para aktivis di media sosial perihal kejanggalan aksi pada tanggal tersebut, saya mencoba menganalisis.
Dan saya tiba pada kesimpulan bahwa demo tersebut tidak murni terorganik, ada yang menggerakkan untuk tujuan tertentu. Menjadi kompatibel ketika redaksi Tempo memberitakan bahwa ada sejumlah anggota militer yang turun ke aksi pada demo selanjutnya di tanggal 28 Agustus dan menyamar lalu membuat kerusuhan di dalam aksi damai tersebut yang berdampak panjang hingga berujung insiden kematian Affan Kurniawan, pengemudi ojek online yang dilindas kendaraan taktis Brimob milik kepolisian.
Dan itu menjadi pemicu meluasnya eskalasi demo di berbagai daerah hingga tanggal 30 Agustus, selengkapnya pembaca bisa buka sendiri linimasa di beberapa surat kabar media. Fokus saya yang paling menarik justru adalah isu “darurat militer.”
Tidak terbayangkan bagi saya bahwa kerusuhan ini akan bermuara pada rumor kebijakan darurat militer yang diajukan oleh Kementerian Pertahanan (merujuk pada laporan Tempo).
Bahkan mereka sudah membuat draf peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk disodorkan pada Prabowo Subianto meskipun ia urung niat untuk meneken draf tersebut karena didesak oleh orang-orang dekat Prabowo dan para petinggi partai hingga beberapa pejabat negara agar menolak usulan tersebut.
Awalnya saya menduga isu darurat militer ini adalah inisiatif Prabowo sendiri, sehingga kesimpulan saya pada kerusuhan demo kemarin adalah bagian dari skenario yang ia jalankan sebagai dalih “keamanan nasional” sehingga darurat militer diberlakukan.
Ternyata asumsi saya salah, seperti yang dikatakan John Roosa (Sejarawan) ataupun Zainal Arifin Mochtar (Pakar Hukum Tata Negara) bahwa militer selalu berupaya untuk membentuk “negara di dalam negara.” Militer muncul di dalam kehidupan sipil dengan entitas yang berbeda dalam bentuk Komando Teritorial dan darurat militer menjadi bagian dari sejarah terbentuknya entitas tersebut.
Kompleksitas di atas yang saya uraikan dari paragraf awal membuat kita tiba pada pandangan bahwa setelah delapan puluh tahun merdeka, kita belum jadi bangsa yang benar-benar dewasa.
Ibarat manusia, seharusnya semakin tua semakin bijak dalam mengambil keputusan. Alih-alih menjadi lebih dewasa, bangsa Indonesia seperti bangsa yang baru lahir yang harus diajari bagaimana cara bernegara dan berbangsa yang baik. Para generasi boomer yang memimpin negara ini masih terjebak pada bayang-bayang denialitas mereka sewaktu masih muda, bahwa mereka menganggap dunia masih sama seperti dahulu.
Padahal sejatinya pola kehidupan politik di dunia sudah berubah terlebih lagi munculnya generasi muda yang lebih progresif dan sadar akan nasib masa depan mereka di dunia. Perubahan harus segera dijalankan, kalau perlu bukan hanya sekadar reformasi, tetapi revolusi!
Penulis: Farouq Syahrul Huda, saat ini hidup dan tinggal di Klaten, Jawa Tengah. Aktivitas sehari-hari adalah membaca buku dan sesekali berolahraga, selebihnya adalah bekerja (selayaknya hidup di Indonesia). Alumnus UIN Surakarta prodi Hukum Pidana Islam angkatan 2015.