Thu, 12 Dec 2024
Ceritakanaja / Kontributor / Jun 18, 2021

Berhenti (Cuma) Membaca!

Lebaran kemarin, saya berkesempatan mengunjungi tempat Praktek Kerja Lapangan (PKL) yang pernah saya lakukan pada 2019 di Desa Sumber Dandang, Kecamatan Panggungrejo, Kabupaten Blitar. Selama di sana, selain mengunjungi tuan rumah tempat saya menetap saat PKL dahulu.

Menyambangi anak-anak desa yang lucu-lucu, karena desa itu dekat dengan wisata Pantai Serang, saya berkesempatan mengunjungi pantai itu menjelang Magrib. Kilau pasirnya, debur ombaknya, dan sepoi anginnya menjadi daya tawan utama tempat ini. Di samping, tentu saja, berjejer kuliner yang tinggal kita sesuaikan dengan kemauan dan kemampuan dompet.

Bila dompet sedang kering kerontang, boleh, kok, hanya duduk-duduk di kursi yang sudah disediakan penduduk di sana, asal tetap mematuhi protokol kesehatan yang berlaku. Semua hal positif itu menjadikan pantai ini tidak pernah sepi—terutama saat akhir pekan—bahkan meski pandemi belum benar-benar surut.

Terlepas dari pembukaan wisata di masa pandemi yang menuai kontroversi, setelah beberapa kali berkunjung dan mengamati, ada satu hal mengusik pikiran saya. Apakah itu masalah pungutan masuk pantai yang belum terkelola dengan baik sehingga sering menimbulkan inkonsistensi? Bukan.

Saya bisa maklum bagaimana kondisi desa yang tradisional dan barangkali masih gelap dengan birokrasi pengelolaan pungutan oleh pemerintah, menjadikan biaya masuk wisata ini tidak pasti. Apakah pelayanannya? Masih bukan. Justru masyarakat di sini amat ramah pada pengunjung seperti saya. Masalah yang menggelisahkan saya adalah banyaknya sampah plastik yang berserakan di sepanjang pesisir.

Isu sampah plastik itu sebenarnya bukan yang pertama saya temui. November 2018 silam, saya bersama 47 siswa terpilih lainnya, berkesempatan mewakili Jawa Timur untuk mengikuti Perkemahan ROHIS Nasional yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama RI di Bumi Perkemahan Juru Seberang, Bangka Belitung.

Sehari sebelum pulang, kontingen Jawa Timur dibawa ke Pantai Tanjung Tinggi. Meski lebih bersih, pantai yang menjadi tempat shooting film Laskar Pelangi itu pun mengalami masalah serupa dengan Pantai Serang.

Dua pengalaman di atas membuat saya sampai pada satu kesimpulan, Indonesia memang sedang darurat akan sampah plastik, dan ini benar-benar serius. Mengutip pernyataan eks Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, Indonesia saat ini menjadi penyumbang sampah plastik laut terbesar kedua di dunia.

Setiap tahun, diperkirakan sebanyak 187 juta ton sampah plastik dibuang ke laut dunia. Sosial media pun akhir-akhir ini gencar mempublikasikan info-info dan statistik terbaru terkait sampah plastik yang bisa dengan mudah kita temukan dan baca. Ironisnya, masalah ini terjadi di negara dengan populasi muslim terbesar di dunia. Bagaimana bisa?

Pernah dengar hadis Nabi Muhammad yang singkat namun sarat makna, yaitu kebersihan sebagian dari iman? Saya cukup yakin sebagian besar dari kita sudah tahu. Pertanyaan selanjutnya, sudah sejauh manakah kita mengimplementasikan hadis di atas dalam kehidupan sehari-hari? apa aksi nyata yang telah kita lakukan setelah tahu data-data tersebut? Faktanya, kebanyakan dari kita hanya berhenti pada tahap membaca. Setelah tahu, kita geleng-geleng kepala, prihatin pada kondisi negeri ini, lalu titik.

Padahal, masih dari sudut pandang agama, sikap acuh tak acuh saat mengetahui sesuatu yang salah juga tidak dibenarkan. Nabi Muhammad bersabda dalam salah satu hadis, bila melihat sesuatu yang salah, cobalah mengubahnya dengan tangan. Bila tidak bisa dengan tangan, maka dengan lisan. Bila dengan lisan pun masih tidak mampu, maka setidak-tidaknya bencilah perkara itu dalam hati, dan itulah selemah-lemahnya iman.

Dalam hadis tersebut secara eksplisit Nabi Muhammad menyuruh kita mengambil tindakan saat melihat sesuatu yang salah. Nah, sekarang coba tanyakan pada hati nurani Anda yang terdalam, apakah sampah plastik yang tercecer di pantai itu bukan suatu kesalahan?

Saya melihat dengan dengan mata kepala sendiri, bagaimana para pengunjung Pantai Serang berlarian dan main-main di pesisir tanpa merasa risih oleh sampah-sampah plastik di sekitarnya. Melihat itu mau tak mau prasangka buruk saya muncul, apakah kekotoran ini telah begitu lumrah bagi mereka, dan mereka telah terbiasa?

Jika iya, maka selamat datang, inilah masalah dalam masalah. Bagaimana kita akan mengatasi sampah plastik, bila kita telah menganggapnya bagian dari pantai yang tak terpisahkan?

***

Wa Ba'du, artikel ini ditulis bukan untuk memprovokasi apalagi memupuk kebencian pada ibu pertiwi. Sebaliknya, saya mengajak diri saya sendiri dan Anda semua untuk lebih peduli pada masa depan pantai kita. Bila menjadi inisiator sebuah gerakan terdengar berat, maka mulailah dari diri sendiri.

Patuhi peraturan pemerintah, buang sampah—bahkan meski itu hanya sampah dari segelas minuman, atau sebungkus kudapan—pada tempatnya, dan lain sebagainya. Pantai Serang, Tanjung Tinggi, dan pantai-pantai yang lain, adalah aset kita bersama. Menjaga dan merawatnya sudah seharusnya menjadi kewajiban kita. Oleh karena itu, mari ambil aksi nyata, bukan berhenti pada sekadar membaca.



Penulis: Ubaydillah, santri asal Kediri yang suka menulis, cerpennya sering dimuat di majalah pesantren Mambaus Sholihin Gresik Al-Fikrah, dan beberapa kali telah menjuarai sayembara menulis baik tingkat regional maupun nasional. Dapat dijumpai di Instagram @elqoyz1.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.