Cerita Dosaku
Aku Islam, dan aku pernah tidak mengenal agamaku sendiri. Hatiku pernah menjadi yang paling beku. Kaki yang membawa tubuhku kesana kemari dengan pakaian yang tak menutupi auratku. Ya, aku memang sholat kala itu akan tetapi aku hanya mengerjakannya di waktu maghrib saja.
Aku yang pernah menjadi paling keras. Enggan menerima nasehat dan senang dengan dosa, bahkan aku tak pernah mengkhawatirkan dengan setumpuknya dosa yang kulakukan. Aku yang tak pernah memikirkan untuk mengumpulkan yang namanya pahala. Cinta dunia yang menjadikanku buta tentang akhirat. Tapi percayalah, aku terlahir dari keluarga yang baik-baik.
Ayah & Ibuku tak pernah meninggalkan sholat, bahkan mereka selalu mendidik anak-anaknya agar menjadi apa yang di inginkan. Tapi itulah aku, yang sudah membatu. Tanpa rasa malu, aku meneriakkan suaraku yang besar kesana kemari. Ketawa terbahak-bahak dalam sekumpulan yang bukan mahramku.
Jika saja ada kesalahan orang lain padaku, dengan hati yang penuh dendam aku mendiaminya. Aku bahkan pernah tak mau berbicara kepada salah satu temanku selama setahun lebih. Sekali lagi kukatakan bahwa aku memang keras kepala. Egoku yang tak pernah merendah, selalu saja mengiyakan apa yang kumau. Bertahun-tahun aku tenggelam dalam dosa, hingga di suatu tahun aku sering mengalami kesurupan pada setiap bulannya. Mimpi yang hampir setiap malam menjadikanku takut akan hal tersebut.
Bagaimana tidak, jika yang kumimpikan adalah ular yang mengenaskan, hari kiamat yang membuatku berkeringat setiap kali terbangun dari tidurku, bahkan mimpi kematianku yang selalu terbayang sampai sekarang. Hingga hari kelulusan SMP ku tiba, hari itu aku menyebutnya hariku menjemput hidayah.
Aku yang memantapkan niatku untuk ke pesantren. Sehari sebelum ke pesantren, aku mengirimkan sebuah pesan kepada seseorang yang menjalin hubungan denganku selama 8 bulan. Dalam pesan teks tersebut kukatakan "Aku ingin putus". Kata yang singkat tanpa ada penjelasan tambahannya. Menuliskannya tentu bukanlah sebuah kemudahan.
Dengan ucapan bismillah ku nonaktifkan kartuku dan itulah awal terputusnya pula pertemananku pada mereka yang bukan mahramku.Ternyata pilihanku kala itu menjadikanku kehilangan teman. Jendela rumahku menjadi saksi tentang romantisnya tanganku menghapus air mataku.
Betapa sakitnya aku melihat mereka yang dulu membersamai, namun dengan mudahnya tawanya tak lagi bersama tawaku. Dan lagi-lagi, aku merasakan betapa sayang-Nya Allah kepadaku. Ia membiarkan mereka pergi yang membuatku jauh dari-Nya, dan mendatangkan mereka yang merangkulku dalam kebaikan.
Sungguh sebuah perjalanan panjang yang kutulis dalam tulisan singkat. Salah satu yang membuatku bersyukur, dari nakalnya kisahku tapi aku berhasil menjaga kehormatanku, sangat jarang tanganku bersentuhan dengan lelaki kala itu termasuk pada mantan pacarku sendiri, bahkan hanya untuk sekedar salaman. Karena kami berpacaran tidak seperti kebanyakan orang-orang.
Teruntuk kalian perempuan-perempuanku yang sedang berusaha memperbaiki diri, jadilah yang paling sabar dari tantangan hijrahmu. Aku sama sepertimu, pernah berjalan diatas kerikil yang membuat kakiku berdarah demi menggapai cahaya yang ada diujung sana. Selalu ada yang menghina dan selalu ada yang menenangkan. Teruntuk masa laluku, aku tidak membencimu, tapi aku tidak bangga pernah bersamamu.
Diamlah disana, jangan mengikutiku apalagi berjalan disampingku. Biarkan aku bermesraan dengan hidupku yang baru. Aku ingin lebih dekat dengan sang penciptaku.Teruntuk jilbabku, tetaplah menjuntai. Aku nyaman bersamamu.
Penulis: Ita Sasmita, mahasiswa Universitas Islam Makassar, aktif di UKM Al-Qur'an dan hobi menulis.