Kontemplasiku
Ada bagian dari perjuangan dan pengorbanan—biasa aku menyebutnya proses. Kamu tahu apa yang lebih menyenangkan dari sebuah proses? Bersebelahan-lah denganku. Dalam sudut ruang ini, tidak begitu luas.
Ada empat bangku terlihat, namun hanya satu bangku yang kupakai. Meski di tempat yang berbeda, namun aura dan pesona warna sama persis ketika aku berdua denganmu. Seketika pikiranku tertuju pada engkau, pada kisah kita—yang singkat dan telah menjadi kenangan.
Di tempat bersejarah itu, engkau makan begitu lahap dan cepat. Dalam pikirku bergumam sendirian; entah engkau sangat lapar, oh mungkin memang makanan yang kau makan enak, atau engkau bahagia bersamaku? Ah terlalu melambung anganku ini.
Seandainya kau tahu apa yang kurasakan saat itu; aku bahagia. Bahagiaku bersebelahan denganmu, membicarakan hal-hal unik tanpa terstruktur, hingga pada omong kosong.
Hai, lelaki yang sempat berbagi kisah denganku, apakah aku pernah terbesit dalam pikiranmu, seperti engkau yang selalu hadir dalam duniaku? Meski aku tahu, kini kita kembali melanjutkan perjalanan seperti sebelum ada ikatan yang pernah kita sepakati.
Namun, lagi dan terus, aku tidak bisa berhenti bertanya akan hal ini. Padahal seharusnya aku tak begini, aku tahu bahwa mungkin diriku tidak begitu berarti untukmu. Aku, hanya wanita tulus, yang memiliki perasaan tidak biasa dan ingin memilikimu utuh.
Sangat menyebalkan, itu hanya harapan semata, ada wanita yang lebih dulu dan mungkin lebih baik dariku; tentunya ia lebih pandai dalam mengambil hatimu. Tapi tetap saja, memikirkanmu adalah salah satu hal yang masih aku sukai.
Satu hal, ku ingin engkau tahu; sedih sekali rasanya kembali menjadi asing denganmu. Perpisahan menjadi satu-satunya tujuan akhir kita saat itu. Terbesit pertanyaan dalam sanubariku; kita yang sempat saling mengambil jalan masing-masing,
apakah mungkin dalam rencana Tuhan mempertemukan kita?
Apakah dalam lubuk hatimu benar tak ada lagi namaku, sedikitpun?
Ahhh, ini pertanyaan konyol! Rasanya tak perlu lagi pertanyaan seperti ini merayap mengitari isi kepala. Pastinya dia tidak lagi memikirkanmu, tidak lagi peduli denganmu.
Kamu harus bertanya pada akal sehatmu, siapa kamu? Lagi-lagi kewarasan harus mengingatkan bahwa aku bukan siapa-siapa.
Kamu tahu, pada akhirnya aku hanya dapat luka? Bukan karena deramu, tetapi keras kepalaku yang memilih bertahan meski entah kau menganggapku apa, itulah penyebabnya.
Pun aku tak bisa menyalahkanmu, karena mungkin engkau tidak pernah tahu tentang ini. Kini, aku hanya bisa memandang punggungmu dari kejauhan sementara kamu tersenyum manis padanya.
Kita? Kita tidak bisa mempertahankan apa yang telah kita mulai, aku tidak menyalahkan siapa-siapa. Namun ada dua hal yang perlu kau ingat; biarlah aku menyimpan rapih segala tentang kita dulu dan kau tetap mengenang aku sebagai satu yang tak pernah usai miliki perasaan yang tidak biasa itu. Aku merindukanmu.
Penulis: Eka Yesi Yunianti, Mahasiswa yang aktif di lembaga IMPS PBS dan HMI