Luka
Aku takkan pernah tahu bila luka mampu menjelma cinta bilamana aku tak menemukanmu dalam sebuah cerita kelam. Malam itu kau menyesap secangkir kopi hitam dari sebuah kedai yang sedang kita kunjungi. Beberapa lelaki lainnya sedang menghembuskan asap dari kretek yang telah terbakar separuhnya.
Kedai itu sangat ramai, ramai oleh senyap yang hampir menjelma luka. Semuanya sibuk dalam perenungan masing-masing. Ada yang sedang merenungi betapa rumitnya hidup ini, ada juga yang sedang merenungi kapan waktu yang tepat untuk bunuh diri. Sedang kau terlihat hampa, tak memikirkan apa-apa.
"Kenapa?"
"Apanya?" Kau tampak terkejut sekaligus bingung mendengar pertanyaanku.
"Kenapa tidak merokok?"
Kau tidak menjawab, hanya menggeleng pelan.
"Kenapa?" Aku terus menyelidik, tak mau menyerah sebelum kau tuntas menjawab.
"Aku tak tahu caranya merokok. Aku tak tahu caranya menghembuskan asap yang sudah terhirup,"
Aku tersenyum, nyaris tertawa. Bukankah setiap malam kau selalu membasuh tubuhmu dengan kepulan asap rokok yang dihembuskan banyak lelaki dalam kedai ini? Mengapa kau tidak mempelajarinya dari mereka? Apakah kau sudah pernah melakukannya? Atau kau memang tidak mau melakukannya? Aneh ! Tunggu, kau tidak aneh, kau unik.
Aku mengaduk-aduk jus mangga yang sudah tidak dingin lagi sambil sesekali menatap tajam ke dalam bola matamu. Bola mata kecoklatan yang sangat indah.
Lalu aku mengetuk-ngetuk meja mengikuti irama jarum jam yang aku kenakan di pergelangan tangan kiri. Jus mangga yang aku pesan tinggal separuh, namun hatiku enggan untuk menghabiskannya sebelum kau mengajakku berbicara. Sekali lagi aku memandangi bola matamu yang entah sedang terpaku kemana.
Apa yang sedang kau pikirkan? Aku coba untuk menerka-nerka, tapi gagal. Aku tak tahu apa yang terjadi padamu, bukankah beberapa jam lalu kau masih bersemangat? Bukankah tadi sore kau seolah memaksaku dengan nada riang agar aku mau menghabiskan malam minggu bersamamu seperti minggu lalu?
"Kenapa?" Tanyaku sekali lagi.
"Apanya?"
"Kenapa tidak pesan makanan?"
"Aku tidak lapar," Jawabmu pelan.
"Bohong! Bukankah kau belum makan sejak sore?"
"Iya, tapi aku memang sedang tidak lapar,"
Aku menghembuskan napas, menunjukkan rasa kecewa atas sikapmu yang dingin.
Aku baru mengenalmu seminggu yang lalu, disini, di kedai ini. Hari itu kau menyapaku ramah, sangat ramah. Aku lupa berapa lama kita menghabiskan waktu kala itu, tapi seingatku sangat lama. Kita membicarakan banyak hal, banyak sekali. Kita berbicara tentang sesuatu yang seharusnya tak diceritakan pada orang asing yang baru saja dikenal.
Aku berbicara tentang luka yang masih basah, luka yang tak ingin aku ceritakan pada siapapun,sedang kau berbicara tentang masa lalu yang sangat kelam, masa lalu yang penuh penyesalan. Setelah itu kau dan aku saling bertukar cerita yang lainnya setiap malam melalui telepon. Hingga pada akhirnya kita kembali lagi kesini, di kedai ini.
"Ra," ucapmu sedikit gugup.
"Kenapa?"
"Aku mau mati Ra, aku capek!" Kau berbicara dengan nada tinggi lalu berdiri.
"Kamu kenapa?" Aku sangat terkejut melihat sikapnya yang tiba-tiba berubah.
Aku melihat ada sesuatu yang ia genggam di tangan kanan, plastik bening berukuran kecil yang berisi bubuk putih. Aku tidak tahu itu bubuk apa, tapi firasatku mengatakan sesuatu yang tidak baik. Tanpa perlu banyak waktu, benda kecil itu telah berpindah ke tanganku.
"Apa ini? Hah? Apa?" Nada bicaraku tak kalah tinggi darinya.
"Ra, balikin! Kamu gak boleh menghalangi aku! Percuma aku hidup, gak ada manusia di muka bumi ini yang sayang dan cinta sama aku,"
Aku mendekati tubuhnya yang penuh gemuruh, lalu menyingkapkan sedikit rok yang aku kenakan. Pada bagian lutut dan paha ada luka lebam, masih biru. Aku menggulung rambutku yang tergerai panjang, rambut yang menutupi leher bagian belakang.
Disana juga ada luka, luka menganga yang sedikit bernanah. Dia terkejut melihatnya. Aku meraih tangannya, menatap matanya begitu dalam, membiarkan dia membaca apa yang aku rasa tanpa perlu berkata.
Bukankah kau sudah tahu tentang diriku yang selalu menerima luka fisik dari ibu? Bukankah kau sudah tau betapa tersiksanya diriku usai kepergian ayah? Minggu lalu memang hanya berupa cerita yang barangkali bisa aku reka. Tapi sekarang kau melihatnya secara nyata, luka ini masih basah, masih menganga.
Tak ada yang tahu tentang ini kecuali kau. Lalu tentang cerita masa lalumu yang kelam bersama para wanita, bukankah itu juga luka? Luka yang lahir tanpa pernah bisa diraba oleh mata. Kita adalah dua insan yang saling terluka, lantas mengapa kau tega meninggalkanku? Aku baru saja menemukan bahagiaku darimu, apa kau tega merenggutnya secepat itu?
"Aku tak ingin kehilanganmu secepat ini. Aku mohon," suaraku terdengar serak menahan sesak.
Kau hanya diam, membisu. Jemari kekarmu meraihku, lalu menenggelamkannya dalam degup jantungmu yang terdengar riuh. Lukamu dan lukaku melebur menjadi satu lalu menjelma cinta, cinta yang abadi.
Penulis: Raden Ilmi Nurbaeti, perempuan kelahiran Serang yang sangat suka membaca novel dan kumpulan cerpen. Saat ini sedang menempuh pendidikan di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Penulis dapat dihubungi melalui akun Instagram pribadinya @mynameisilmi atau melalui alamat surel ilmibeti08@gmail.com