Melihat Takdir Bekerja
Ada yang berbeda di perjalanan pulang ke ibu kota kali ini. Bukan perjalanannya, tapi orang yang ditemani melewatinya. Seseorang, yang dulu pernah memiliki arti lebih dari seorang teman.
8 tahun yang lalu, aku pernah punya seseorang yang sangat spesial. Kekasih lebih tepatnya. Tapi sejak 2014 kami memutuskan berpisah karena banyak alasan. Restu, jarak dan ketidaksepahaman lain membuat kami, atau mungkin hanya aku saja, memilih melanjutkan hidup masing-masing.
Lalu, takdir kemudian mempertemukan aku kembali. Kami melewati perjalanan pulang ke ibu kota beramai-ramai dengan kendaraan bermotor. Salah satunya adalah miliknya dengan penumpangnya adalah aku. Kawan lain hanya bisa senyum-senyum sesekali meledek. Aku, yang dengan terpaksa sebenarnya, mengiyakan ajakan pulang itu, hanya bisa nyengir kuda. Bodoh.
Separuh perjalanan dilewati dengan diam. Ya, dia memang lebih sering diam dan akulah yang lebih vokal dalam hubungan kami, dulu. Apa aku berdebar? Sayangnya tidak. Perasaan semacam itu sepertinya memang sudah lama punah. Aku hanya senyum-senyum sendiri ketika menulis cerita ini.
Karena bosan, aku berinisiatif memulai pembicaraan. Menanyakan kabar, kesibukan dan hal-hal klise lainnya. Lalu sampai ditopik "bagaimana ia dengan kekasihnya?". Ya, dia sudah punya kekasih. Sayangnya, dari sekian banyak perempuan yang pernah dekat dengannya, akulah yang paling dibenci oleh kekasihnya. Semua media sosialku diblokir oleh kekasihnya itu. Facebook, IG, hingga whatsapp. Bahkan dia juga meminta semua password media sosial si "mantan" ini untuk dia pegang, termasuk hal-hal sepribadi whatsapp.
Kenapa? Karena ternyata hingga hari ini, dia masih menyimpan fotoku di dompetnya. Katanya itu satu-satunya yang bisa dia kenang dariku. Aneh bukan. Bagaimana bisa seseorang mengaku mencintaimu tapi dia mampu menjalin hubungan dengan perempuan lain. Aku tidak mau pusing memikirkannya. Toh, kini kami tak lebih dari teman biasa.
Tapi bukan itu alasan aku membuat tulisan ini. Aku hanya merasa miris pada kekasihnya. Dia begitu berusaha keras membuat komunikasi apapun antara aku dan si "mantan" ini hilang. Namun, ternyata ada bagian dari garis takdir kami yang justru bersinggungan. Aku sudah lupa kapan terakhir kali aku mengatakan "hi" kepadanya. Lalu tiba-tiba kami justru diberi waktu bersama selama kurang lebih 6 jam untuk berbincang.
Aku tahu, Tuhan seolah sedang memberi isyarat jawaban atas beberapa kegelisahan yang sering kuadukan padanya. Diantaranya tentang mungkinkah masih ada yang tersisa diantara kami yang bisa kupakai untuk memulai kembali apa yang pernah ada. Sayangnya tak ada debar lagi seperti bertahun-tahun lalu, atau tawa malu-malu atau apapun yang bisa mengisyaratkan aku masih ingin kembali. Nihil. Entah kenapa ini justru sungguh melegakan.
Seolah pesan tersiratnya adalah seberapapun kamu berusaha menghindari sesuatu, jika ia ada dalam garis takdirmu maka kamu pasti akan mendapatkannya. Seperti kami yang seberapapun usaha kekasih si "mantan" mematikan komunikasi di antara kami, jika memang sudah takdirnya kami untuk bertemu, maka tak ada yang bisa menghalanginya.
Apa yang ditakdirkan untukmu, tidak akan melewatkanmu bagaimanapun kamu menghindarinya.
Penulis: NA