Sat, 07 Sep 2024
Cerpen / Nevalina / Jul 26, 2024

Dunia Pertama

Di dalam sebuah kafe dengan live music yang tengah menyanyikan salah satu lagu favoritku, berjudul "Penyendiri-Misellia". 

Lagu yang sejak lama sudah kumasukkan ke dalam music playlist di YouTubeku itu, sepertiga liriknya cukup relevan denganku, si manusia tengah-tengah, 50% terbilang cukup ulung sebagai penyendiri.

Sisanya, aku merasa lebih berenergi ketika memiliki obrolan menarik untuk dibahas bersama mereka, yang memiliki persamaan diksi denganku—dalam membaca adegan hidup yang penuh dengan beban komedi, tanda seru, tanda tanya, serta propaganda.

Bahkan hingga berjam-jam lamanya, menghabiskan waktu untuk berjenaka, tiba-tiba saling membasuh luka tak kasat mata.

Namun, pada suatu sore hari yang cerah, dengan sedikit awan yang terlihat berlapis-lapis tipis di langit.

Aku memilih untuk mendengarkan helaan napas dan haluku sendirian, tanpa pendengar, tanpa saran, tanpa guyonan. Aku ingin singgah ke dunia keduaku dalam 1 jam 45 menit dari 24 jamku yang melelahkan. 

Tepat lurus searah dengan pintu masuk kafe, di ujung pojok sebelah kanan, aku duduk. Berhadapan denganku, terlihat dinding kafe yang dihiasi oleh sebuah lukisan dinding—bertemakan Space and Time Color by Buko2, yang tertulis pada sudut lukisannya. 

Saat menunggu pesananku tiba, lukisan itu menarik perhatianku. Seperti memintaku untuk memaknai arti kehadirannya. Perlahan-lahan, sepertinya lamunanku yang kosong itu mulai terisi dengan pikiran yang akan segera melalang buana. 

"Kak, berikut pesanan roti bakar, dan air mineralnya ya!", ucap hangat seorang barista, yang merangkap sebagai waitress.

 "Oh ya, terima kasih kak!", kubalas dengan ucapan tulus, meski aku bukan Tulus. 

Kedua bola mataku mulai menatap kembali lukisan itu, beriringan dengan rasa haus serta tangan kananku yang mulai menjangkau air mineral di atas meja.

Tegukan pertama dan kedua seperti menandakan bahwasanya, waktu untuk berpetualang dengan pikiranku sudah dimulai. Sementara kepalaku bersandar pada dinding dibelakangku, sebelum benar-benar kusandarkannya pada bahumu. 

Tiga elemen di dalam lukisannya terlihat melukiskan semesta, separuh wajah manusia, dan waktu. Interpretasiku ketika melihat karyanya, semestinya sejalan dengan pelukis, namun aku tidak berharap sama persis—tentang alam semesta, termasuk bumi yang sedang kupijak, penghuni lainnya, dan waktu.

Apapun yang kumiliki saat ini, semuanya akan berlalu secara singkat. Bahkan roti bakar hangat yang kupesan tadi pasti tidak akan hangat lagi seperti suapan pertama, pada suapan terakhirku nanti. 

Terbesit dalam benakku kalau begitu.. 

Mungkinkah mimpi di atas kertas putih yang kutoreh dengan tinta warna-warni, akan sungguh menjadi pelangi? kumohon, semoga.

Akankah ceria bahagiaku yang hinggap, suatu saat berubah menjadi senyap? kumohon, tetaplah, jangan berubah.

Akankah yang kemarin hilang dapat kembali kutemukan? kumohon, kembalilah.

Bisakah aku terus menjadi yang melekat dalam ingatanmu? dikala air mata dan tawamu hadir, tetap aku yang menjadi pulangmu? kumohon sungguh, pulanglah hanya padaku. 

Sebab aku ingin menjadi keriput, hingga gigi kita berdua tanggal dan terpejam dalam damai berdua.

Akankah aku dilupakan? oleh mereka yang menghadirkan 1001 cerita di hidupku, setelah 100 hari aku berpulang menuju keabadian? kumohon, maafkan kesalahanku, aku memang pendosa. 

Mengapa lukisan itu jadi bermakna terlalu dalam, hingga rasanya aku bisa saja tenggelam dalam samudera pikiranku sendiri, sembari mengunyah roti bakarku yang bertopping keju, susu manis. Yang manisnya tentu saja tidak semanis senyumanmu. 

Seketika aku tersadar mendengar suara gemuruh dari luar, ternyata sejak tadi hujan turun deras. Dan sepertinya, aku akan sedikit lebih lama duduk di kafe untuk beberapa menit ke depan.

Kukira, aku sudah bisa pulang dari dunia keduaku, ternyata belum. Sedikit asumsiku melanjutkan, bahwa dua triliun galaksi yang saat ini hanya bisa diamati dari bumi.

Mungkin suatu saat akan menjadi keindahan yang dapat dilihat secara langsung kilau gemerlapnya, disentuh, atau bahkan kita dapat memetik bintang-bintang di atas sana, sebagai manik-manik yang menghiasi gaun dan mahkota. Barangkali nanti, ketika jiwa-jiwa dengan jasad baru tiba di Mahligai milik Raja. 

"Drrttt...drrttt! aku melihat notifikasi dari layar ponselku, sebuah utas dari X yang isinya "teruslah bertahan, sampai akhirnya kamu tahu bahwa hal itu akan sepadan".

Hatiku tertegun, dan aku berpikir bahwa apapun yang kemarin dan hari ini kutemukan, semua itu bukanlah sebuah kebetulan, melainkan sebuah pesan untuk memerangi ribuan hantaman.

Tentang waktu yang terus berlarian mengejar tayangnya, dunia yang menuntut sempurna, dan manusia yang terlena dengan segala tipu daya.

Semua hal yang kujalani ini ternyata memang hakikatnya sementara, sebab bukan aku yang memiliki semesta seutuhnya, begitu pun hatimu.

Bahkan, detik-detik di mana rasa cokelat yang terasa manis di kala kukecil dulu, kini rasa manisnya tak lagi sama. Semua berubah seiring berjalannya waktu. Dunia, aku, dan waktu.

Seperti halnya dunia keduaku dalam 1 jam 45 menit, yang telah habis waktunya di kafe yang sudah mulai sepi ditinggalkan para pengunjung. Ya, kafenya memang unik, mereka tutup pukul 18:00 WIB.

Mungkin mereka tidak menginginkan anak muda sepertiku, terlalu lama menghabiskan waktunya untuk overthinking.

Begitu juga dengan hujan deras yang sudah mulai mereda. Menandakan, bahwasanya aku sudah bisa kembali ke duniaku yang sesungguhnya. Dunia pertama.

 

Penulis: Nevalina

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.