Thu, 12 Dec 2024
Cerpen / Nurinas Dzakiyah / Jan 01, 2020

Hari Ini Ia Lapar Sekali

Ia lapar setiap hari– namun, hari ini ia lapar sekali.

Perutnya bergemerisik sangat hebat hari ini, lebih dari yang sudah-sudah. Jadi ia memutuskan berjalan keluar meninggalkan rumahnya– yang sebenarnya tidak pantas disebut rumah. Tidak perlu mengunci pintu; ia tidak punya kunci pintu, dan bahkan pintu, dan yang lebih penting, ia tidak punya sesuatu berharga di sana. Tidak perlu mengenakan sandal; telapak kakinya sudah menebal hingga tak lagi merasakan panas trotoar jalan, atau tajam kerikil halaman rumah yang dilaluinya.

Ia terus berjalan, lalu berhenti di depan sebuah toko roti.

Toko roti itu adalah toko roti terbesar di kota. Nyaris seluruh dinding depannya merupakan kaca tebal yang mengilap– menampilkan aktivitas apapun yang terjadi di dalam sana. Ia menghampiri kaca tersebut, mengintip. Seluruh toko itu dipenuhi roti berbagai bentuk. Mereka meletakkan roti-roti di etalase, di meja-meja, di keranjang-keranjang. Orang-orang dengan pakaian yang lebih baik darinya tampak melihat-lihat, menunjuk-nunjuk, dan mengeluarkan berlembar-lembar uang dari tas mereka. Ia melihat salah satu anak mereka duduk di balik meja dan melahap roti.

Ia lapar sekali, dan ia ingin roti seperti yang tengah dinikmati anak tersebut.

Sesaat kemudian, ia beranjak mendekati pintu kaca di sisi kanan. Sebelah tangannya mendorong pintu tersebut– bel-bel di atas pintu bergemerincing semarak.

Orang-orang menoleh dan memandanginya. Mereka memandangi rambutnya yang berantakan karena tak pernah disisir, wajahnya yang penuh debu, bajunya yang kusam dan sobek di sana-sini, serta kakinya yang tak bersandal. Mereka terdiam, dan mengira-ngira– apa yang akan ia lakukan di sini. Sementara itu, ia memandangi si anak mengunyah potongan terakhir roti di tangannya. Ia terdiam, dan mengira-ngira– seperti apa rasa roti tersebut saat masuk di mulutnya.

Lalu, salah seorang dari mereka menghampirinya. Perempuan itu tersenyum padanya.

“Ada yang bisa saya bantu, Tuan?”

Ia tidak melepaskan pandangannya dari anak tersebut yang kini mulai menjamah roti keduanya. “Aku lapar. Aku ingin makan roti. Kau bisa memberikannya padaku?”

“Kami bisa memberikannya jika Tuan memberi saya sejumlah uang.”

“Tapi saya tidak punya uang.”

Senyum perempuan itu sedikit berubah. “Kalau begitu, kami tidak bisa memberikannya.”

Anak itu menyingkirkan roti di tangannya segera setelah ia mengunyahnya sedikit. Anak itu menggeleng-geleng pada ibunya yang berusaha menyodorkan kembali roti itu. Anak itu mengambil roti lainnya di piring mereka, lalu mencicipinya sedikit, lalu menyesap minuman dan menarik tangan ibunya untuk meninggalkan meja– meninggalkan potongan-potongan besar roti.

Perempuan itu mendesaknya dengan senyum yang semakin memudar. “Ada hal lain yang bisa saya bantu, Tuan?”

Ia menggeleng. Perutnya lapar sekali, tapi ia tidak pernah punya cukup uang untuk menyantap sepotong roti.

***

Nyatanya, bukan hanya ia satu-satunya yang kelaparan di tahun dua ribu lima puluh ini.

Bumi sudah tidak mampu memberikan banyak untuk seluruh manusia– bumi kehabisan energi, bumi kehabisan semua yang ia miliki. Mereka yang di kota masih sedikit lebih baik– menerima impor gandum dari daerah-daerah kecil meski harus mengeluarkan biaya sangat besar. Sementara itu, mereka yang di desa harus merelakan sedikit hal yang terlalu banyak bagi mereka –tanah-tanah mereka. Mereka merelakan tanah mereka beralih ke tangan wajah-wajah asing yang tak pernah mereka lihat sebelumnya. Mereka menandatangani surat-surat yang mereka tidak pahami agar anak-anak mereka tidak dipukuli. Mereka meninggalkan rumah yang tak lagi dimilikinya– anak-anak remaja meninggalkan rumah untuk bergabung dalam demonstrasi besar-besaran dan kerusuhan sambil memegang senjata. Para ibu menyaksikan harga-harga makanan yang melambung tinggi, dan menyaksikan dompet mereka yang tidak menyisakan apa-apa. Para ayah ingin memberi makan keluarganya –mereka diam-diam menangkap ikan di laut antah berantah, dan untuk itu, orang-orang berseragam balas menangkapi mereka.

Ada terlalu banyak mereka yang butuh makan.

Di kota itu, semua orang kelaparan. Mereka berlarian menuju supermarket dan toko-toko makanan. Mereka merangsek masuk, memecahkan kaca, memukuli pemilik yang mencoba melawan –mengambil sebanyak mungkin makanan lalu membagikannya pada anak-anak mereka yang menunggu di luar toko.

Seorang pria muda menyaksikan penjarahan tersebut dari balik kaca jendela kamarnya yang terletak di lantai dua bangunan toko roti. Ia pun kelaparan, dan memutuskan akan mengambil beberapa potong roti di toko majikannya. Ia mengemas pakaiannya dan teringat seorang gelandangan yang tinggal di hutan kecil di pinggir kota –mungkin, ia harus ke sana untuk menyelamatkan diri. Gelandangan itu sudah tak pernah terlihat berjalan menyusuri kota sejak seminggu belakangan, tapi ia yakin gelandangan itu ada di sana.

Pria muda itu mengambil beberapa potong roti cokelat untuk dimakan bersama gelandangan itu.

Di luar, tiga orang pria melemparkan batu ke kaca toko. Kaca itu pecah, tentu saja. Mereka berhamburan masuk dan mengambil roti-roti di seluruh penjuru toko. Mereka memukuli pria muda itu dan pergi tanpa menoleh lagi.

Pria muda itu roboh. Roti-roti cokelat di tangannya jatuh.

***

Ia baru terbangun berpagi-pagi setelah hari itu– dan, ia merasa semakin lapar.

Di bawah terik matahari yang terlalu gerah, ia berjalan di trotoar yang selalu ia lewati. Ia terpana. Rumah-rumah dan toko-toko berwarna hitam legam– hancur dan hangus terbakar api. Mobil-mobil terbalik dan terkapar di badan jalan. Asap membumbung tinggi di mana-mana. Orang-orang– atau mayat– bergelimpangan di jalan; ibu tua yang sering memberinya sekotak makanan, wanita muda pemilik toko roti, anak-anak kecil yang meneriakinya setiap kali ia melintas di depan rumah mereka, pria yang pernah memukulinya karena ia merasa ingin memukuli seseorang, pria lebih muda yang sempat memotretinya di rumahnya di tengah-tengah hutan kecil di pinggiran kota, dan masih banyak lagi.

Langit berwarna terlalu gelap ketika ia mendongak.

Ia memutuskan menghampiri toko roti di seberang sana –toko roti yang didatanginya berhari-hari lalu. Toko roti itu menjadi satu-satunya bangunan yang masih sedikit utuh dibanding bangunan-bangunan di sekitarnya. Kini ia tidak lagi mendorong pintu kaca dan mendengarkan bel-bel bergemerincing –kaca-kacanya telah berhamburan dan bel-belnya entah di mana. Seorang pria muda tergeletak di lantai. Meja-meja dan etalase hangus terbakar. Juga roti-rotinya.

Kecuali sepotong roti dengan bentuk serupa yang pernah disantap oleh anak kecil itu.

Ia mulai menggigit roti itu. Rasanya seperti rasa cokelat, berbaur dengan rasa abu yang pahit.

Ia mengunyah sambil berjalan-jalan di sepanjang jalanan kota yang terlalu lengang. Perutnya lapar sekali, dan ia beruntung memperoleh satu-satunya potongan roti yang tersisa di kota itu.

Penulis: Inas (Mahasiswa Psikologi UNM)

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.