Mereformasi Sikap di Tengah Eksklusivitas
Indonesia dikenal sebagai negara yang sangat beragam, baik dari segi etnis, budaya, maupun keyakinan dan agama yang dianut masyarakatnya. Keanekaragaman ini menyatu dalam semangat kebangsaan Indonesia yang berlandaskan Pancasila. Sebagai dasar negara, Pancasila bersama dengan UUD 1945 menjadi landasan utama dalam menjamin terpenuhinya hak dan kewajiban seluruh warga negara secara adil dan merata.
Namun, jika kita melihat realitanya, apakah hak-hak warga negara sudah benar-benar terimplementasikan sesuai cita-cita para pejuang kemerdekaan? Dalam hal ini, terdapat tiga aspek penting yang harus diperhatikan, yaitu: Wawasan Kebangsaan dan Nilai Bela Negara, Kesiapsiagaan dalam Membela Negara, serta Kemampuan Menganalisis Isu-Isu Kontemporer. Ketiganya memiliki peran signifikan dalam menghadapi berbagai permasalahan sosial dalam masyarakat yang majemuk.
Sebelum membahas lebih jauh, penting bagi kita untuk memahami apa saja hak dan kewajiban individu sebagai warga negara yang dijamin oleh konstitusi. Secara khusus, Pasal 28 UUD 1945 menjabarkan hal-hak individual setiap warga negara yang wajib dilindungi oleh negara, seperti hak untuk hidup, hak menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaannya, serta hak untuk mendapatkan penghidupan yang layak.
Memang tidak mudah mewujudkan semua ini, terutama mengingat jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar. Namun, hal tersebut tetap memungkinkan untuk dicapai.
Sebagai warga negara, khususnya sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), kita dituntut untuk menerapkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 dalam kehidupan sehari-hari. Pemahaman terhadap dasar negara ini harus diiringi dengan kesanggupan dan komitmen pribadi untuk menjalankannya dengan penuh tanggung jawab.
Memiliki pengetahuan tentang Pancasila dan UUD bukan berarti otomatis kita memiliki wawasan kebangsaan. Bela negara bukan hanya tentang perjuangan fisik atau menentang negara lain, tetapi bisa dimulai dari hal-hal sederhana yang sering diabaikan, seperti mencintai produk lokal atau memperkaya diri dengan ilmu pengetahuan.
Ironisnya, justru hal-hal kecil seperti ini seringkali terasa sulit untuk dilakukan. Masih banyak terjadi diskriminasi berdasarkan gender, agama, ras, suku, hingga pandangan politik. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah bangsa ini benar-benar menghargai keberagaman? Atau apakah selama ini semboyan Bhinneka Tunggal Ika hanya menjadi slogan yang hampa makna? Apakah bangsa ini siap mengatasi tantangan-tantangan sosial yang tersembunyi di balik istilah “keberagaman”?
Contoh nyata di lapangan:
-
“Lowongan ini hanya untuk pria, perempuan tidak mampu melakukannya.”
-
“Pendirian dan aktivitas ibadah dilarang di wilayah ini.”
-
“Hanya suku tertentu yang boleh memiliki tanah di kawasan ini.”
Kenyataannya, praktik-praktik eksklusivitas semacam ini masih marak terjadi. Nilai-nilai luhur dalam Pancasila dan UUD 1945 belum sepenuhnya dijadikan panduan dalam bertindak dan bersikap. Bahkan, sejumlah pasal dalam konstitusi kerap disalahartikan atau dipelintir maknanya. Namun satu hal yang jelas: bangsa ini memerlukan reformasi.
Reformasi yang dimaksud bukan untuk mengganti arah tujuan bangsa, melainkan untuk mengoreksi dan meluruskan kembali haluan yang sejatinya ingin dituju. Reformasi ini perlu menyingkirkan batas-batas eksklusivitas yang secara perlahan merusak semangat persatuan bangsa. Bhinneka Tunggal Ika harus kembali menjadi pengingat bahwa negeri ini diberkahi keberagaman. Keberagaman yang dapat digunakan sebagai alat pemersatu, namun juga bisa menjadi sumber perpecahan jika tidak dikelola dengan bijak.
Oleh karena itu, perubahan yang dibutuhkan adalah pembenahan cara pandang Masyarakat bahwa perbedaan bukanlah ancaman, melainkan keindahan yang harus dirayakan. Semua itu bisa dimulai dari diri sendiri: dengan menghargai diri sendiri, menghormati sesama, serta menjaga keharmonisan lingkungan sekitar. Dari pola pikir eksklusif menuju sikap inklusif, dari bergandeng tangan namun canggung menjadi merangkul perbedaan dengan damai.
Penulis: Cynthia Octania Siregar, CPNS Mahkamah Agung Gelombang 1, Angkatan 4, Kelompok 4.