Mon, 11 Nov 2024
Cerpen / Azki Akhmad Mafaza / Jul 26, 2024

Ketika Bintang Berpendar

Suara langkah kaki segerombolan anak yang menginjak genangan air terdengar saling bersahutan. Mereka berlarian di antara air langit yang saling berjatuhan.

Anak-anak itu tampak tengah asyik bermain bola dengan bermandikan hujan. Sedangkan di tepian, terlihat seorang anak laki-laki yang duduk sendirian. Ia tak ikut bermain bersama anak-anak seusianya.

Anak lelaki itu hanya duduk termenung meratapi kesendirian. Namanya Bintang, seorang bocah berusia lima tahun yang belum tahu apa-apa tentang bagaimana cara menjalani sebuah kehidupan.

Ia adalah anak biasa yang hidup di sebuah pemukiman kumuh padat penduduk. Bahkan kurang dari sebuah kata biasa, ia tidak mempunyai apa-apa. Seorang teman pun ia tak punya.

Anak itu hanya tinggal bersama Ibunya di rumah yang seadanya. Sedangkan Ayahnya telah lama tiada.

Kembali di tepian lapangan, dinginnya hujan telah menyelimuti tubuh Bintang. Jemarinya mulai mengkerut dan bibirnya mulai membiru. Kemudian ia pulang, berjalan sendirian di tengah derasnya hujan.

Langkah kaki Bintang yang tak beralaskan apapun mulai terasa berat, tubuhnya menggigil. Dengan sekuat tenaga ia berlari menuju rumahnya yang tersembunyi di antara lorong-lorong jalanan rumah warga.

Rumahnya kini telah masuk dalam jangkauan mata. Lalu dengan tubuh yang basah kuyup ia membuka pintu rumahnya dan mulai masuk secara perlahan.

Bintang tak langsung mandi, ia hanya berganti baju. Menunggu Ibunya yang sedari kemarin masih tertidur. Ibunya telah lama sakit, tetapi anak sekecil Bintang masih belum paham apa-apa. Ia masih saja menunggu ibunya sampai terbangun.

Malam telah tiba, Ibunya belum terbangun juga. Kemudian Bintang terduduk sendirian di sudut kamar rumahnya yang gelap. Matanya terpaku menatap tubuh ibunya yang kini masih terbaring.

Kemudian ia memeluk erat tubuh ibunya, mencoba menahan air mata yang seolah akan tumpah membasahi seisi dunia.

“Ibu, bangun, Bintang lapar,” bisik Bintang dengan suara lemah dan mata yang sayu.

Ibunya tak menjawab. Mungkin hanya suara kegelapan malam yang mampu menjawab. Bintang merasakan kesendirian dan kekosongan yang begitu besar dalam dirinya.

Perutnya terasa sakit karena lapar, sejak kemarin ia belum makan. Ia juga merasakan sepi, terasing di malam yang gelap ini. Baginya, ibunya adalah satu-satunya tempat ia bisa berlindung, satu-satunya tempat di mana ia merasa dicintai dan dihargai. Namun, kini ibunya telah tiada.

Meninggalkan Bintang terduduk di dalam kehampaan yang perlahan menyesakkan dadanya, tubuhnya gemetar karena dingin dan kelaparan.

Dia mencoba menguatkan dirinya sendiri, mengingat kata-kata ibunya yang lembut dan senyumnya yang menghangatkan hati. Tetapi sosok Ibunya yang telah pergi meninggalkan Bintang dalam kesepian yang tak terobati.

“Ibu...” dia menangis, mengiris kesunyian malam dengan suara tangisannya.

Lagi-lagi ia mencoba memanggil ibunya. Namun, hanya keheningan yang menjawab panggilannya, menyisakan ruang kosong yang mendesak hatinya.

Dalam harapannya yang hampir padam. Ia terus mengguncangkan tubuh Ibunya agar terbangun, tetapi itu semua sia-sia. Dalam kegelapan yang menyelimutinya, Bintang merasa terpukul oleh kenyataan yang teramat pahit.

Ia tidak lagi memiliki tempat berlindung, tidak lagi memiliki seseorang yang akan selalu berada di sampingnya. Ia bak terombang-ambing di lautan kesendirian, merasa terasing dan tersesat di dunia yang gelap tanpa adanya cahaya.

Saat fajar telah datang menghampiri, Bintang mencoba untuk beranjak dari rumahnya. Mencari seseorang untuk dapat membantunya, tetapi ia masih saja tak mengerti. Bintang tak bisa untuk menjelaskannya, ia tak tahu apa-apa. 

“Tolong, Ibuku masih tertidur,” 

“Biarlah Ibumu tidur, apa urusannya denganku,” ucap salah seorang tetangga di sekitar rumahnya.

Tidak ada yang mempedulikannya. Tetangga-tetangganya sibuk dengan urusan masing-masing, tidak ada yang peduli dengan nasib seorang anak kecil yang telah ditinggal tidur oleh Ibunya.

Bintang mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri dengan membayangkan masa-masa bahagia bersama ibunya. Namun, perutnya yang kosong dan rasa lapar yang semakin tak tertahankan membuatnya semakin putus asa.

Dia mencari-cari sisa-sisa makanan di dalam rumah yang tampak kosong, tetapi tak satupun yang bisa ditemukannya.

Dengan hati yang tersayat, Bintang meraih sehelai selimut usang yang tersingkap di pojok ruangan. Di lantai yang dingin itu, dia berbaring, tubuhnya seperti terkubur dalam kesepian yang tak terlukiskan.

Rasa lapar yang menyiksa menusuk setiap serat jiwanya, membalutnya dalam kesusahan yang tak kunjung berlalu. Setiap hela nafasnya terasa berat, mengingatkannya pada betapa sepi dan sunyi yang kian mengikat dirinya.

Mata Bintang terpejam rapat, merindukan kehangatan yang dulu pernah dia rasakan. Dia merindukan pelukan ibunya yang hangat, pelukan yang selalu menyirami hatinya dengan ketenangan di tengah badai kehidupan.

Namun, kini hanya kehampaan yang menemaninya, memisahkan ruang kecil di antara dinding rumahnya yang sunyi dan dingin.

Malam itu, ketika cahaya bulan tinggal setengah tersembunyi di balik awan yang menutup, Bintang melepaskan raganya dalam kesendirian yang menyayat hati.

Tubuh kecilnya terkulai lemah di lantai rumah yang sunyi, tanpa ada seorangpun yang mengetahuinya. Sementara tubuh ibunya telah terbaring kaku di atas ranjang tempat tidur. 

Malam menjadi gelap, dan gelap perlahan menjadi senyap. Meninggalkan bau busuk dari tubuh Ibunya yang kian menyengat. Kini Bintang tidak lagi ada di antara senja dan fajar.

Ia telah pergi meninggalkan dunia ini, meninggalkan semua kesedihannya, meninggalkan semua jejak-jejak langkahnya. Lalu bersatu kembali dengan jiwa ibu tercinta.

 

Penulis: Azki Akhmad MafazaMahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Semarang. Dapat ditemui melalui instagram @azki_mafaza.

 

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.