Ketika Air Menjadi Bahasa
Di sebuah desa kecil di Sumatera Utara, bernama Kampung Banjir Abadi, hiduplah Pak Lurah yang terkenal dengan slogan "Banjir adalah Berkah!". Pak Lurah ini bukan sembarang lurah. Ia adalah ahli dalam retorika politik, yang bisa mengubah bencana menjadi peluang bisnis.
Setiap tahun, saat musim hujan tiba, sungai-sungai di sekitar kampungnya meluap seperti air liur seekor buaya lapar. Rumah-rumah penduduk tenggelam, sawah-sawah hanyut, dan ayam-ayam terpaksa belajar renang. Tapi Pak Lurah selalu bilang, "Ini bukan bencana, ini investasi! Air ini membawa lumpur subur untuk tanah kita!"
Suatu hari, banjir besar datang lagi. Kali ini lebih ganas dari biasanya. Air naik hingga atap rumah, dan penduduk Kampung Banjir Abadi terpaksa naik ke genteng sambil memegang payung. Pak Lurah, yang rumahnya kebetulan dibangun di bukit kecil (yang ia sebut "bukit strategis"), mengumpulkan warga di balai desa yang setengah tenggelam.
"Saudara-saudara," katanya dengan suara lantang, "banjir ini adalah hadiah dari Tuhan! Bayangkan, kita bisa buat wisata air! Aku sudah hubungi investor dari Jakarta. Mereka mau bangun hotel terapung dan restoran ikan hidup!"
Warga mendengarkan dengan mulut ternganga. Bu Nyai, seorang nenek tua yang ayamnya baru saja hanyut, bertanya, "Pak Lurah, tapi rumah saya sudah roboh. Anak-anak saya lapar. Mana berkahnya?"
Pak Lurah tersenyum lebar, seperti politikus yang baru dapat suap. "Ah, Bu Nyai, itu bagian dari proses! Kita bisa klaim asuransi banjir dari pemerintah. Aku sudah isi formulirnya.
Dan lihat ini," ia tunjukkan peta yang basah kuyup, "sungai ini akan kita jadikan kanal wisata. Orang Jakarta bisa datang naik perahu, makan rendang sambil lihat ikan hiu berenang di jalanan!"
Di tengah pidato Pak Lurah, datanglah rombongan dari ibu kota. Bukan investor, melainkan relawan yang terenyuh hati nuraninya. Mereka datang dengan helikopter, mendarat di bukit strategis Pak Lurah.
Kepala tim, seorang pria berjas rapi bernama Dr. Hijau, langsung bilang, "Pak Lurah, banjir ini bukan berkah. Ini akibat deforestasi hutan di hulu sungai. Pohon-pohon ditebang untuk sawit, dan sekarang air tak terserap tanah!"
Pak Lurah tersedak “Eh… tapi sawit itu sumber devisa negara, Dok! Kita kan harus ekspor. Kalau tidak, angka-angka di layar bisa kurus,” katanya panik, seolah grafik pertumbuhan lebih bernyawa daripada manusia.
Dr. Hijau mengangguk serius, terlalu serius untuk sebuah lelucon yang nyata. “Tentu. Dan sebagai paket ekspor, kita juga kirimkan banjir, longsor, dan warga mengungsi. Jalan-jalan beton kita buat licin agar air bisa meluncur lebih cepat ke ruang tamu rakyat. Sungai kita isi plastik supaya air tidak bosan mengalir. Ini bukan kebetulan, Pak. Ini desain.”
Warga tertawa kecil, tawa yang gugup. Bu Nyai melangkah maju sambil menggendong ayam yang sudah berubah menjadi mitos. “Pak Lurah,” katanya, “kapan Bapak sempat menjelaskan semua ini? Setiap banjir datang, Bapak cuma bilang berkah lalu dana bantuan ikut hanyut entah ke mana. Apa uang juga bisa berenang sekarang?”
Pak Lurah berdehem, lalu menjawab dengan nada seminar. “Saya sudah minta pompa air dari pusat. Tapi anggaran habis. Katanya dipakai buat proyek yang bisa difoto dari udara.”
Dr. Hijau tersenyum tipis, senyum orang yang sudah lelah menjelaskan logika kepada tembok. “Pompa itu seperti sendok teh untuk menguras laut. Yang kita perlukan hutan, tanah yang bernapas, dan kota yang tahu diri. Tapi itu terlalu lambat. Pohon perlu tumbuh, sementara sawit bisa dipanen dan bencana bisa dijadwalkan.
Lagi pula, tanpa banjir, apa yang akan kita kampanyekan tahun depan?”. Angin lewat membawa bau lumpur. Sungai berdeham. Dan Pak Lurah mencatat semuanya dengan serius barangkali sebagai bahan slogan baru.
Setelah tujuh hari tujuh malam, banjir akhirnya surut, seolah lelah sendiri menggenangi kampung yang tak pernah belajar berenang. Air pergi meninggalkan lumpur setebal ingatan warga, yang segera dikeruk bersama rasa marah agar halaman bisa kembali disebut halaman.
Kampung Banjir Abadi pun kembali ke keadaan yang mereka sebut normal: rumah miring tetap dihuni, bau apek dianggap aroma tradisi, dan lubang di dinding ditutup kalender kampanye tahun lalu.Pak Lurah, yang sepanjang banjir nyaris tak kebasahan selain oleh kilau kamera, kembali muncul sebagai pahlawan pasca-bencana.
Ia berkeliling kampung mengenakan rompi bantuan yang masih berlabel plastik, menyalami warga sambil berhati-hati agar sepatu botnya tak menyentuh lumpur terlalu lama.
Dalam setiap pidatonya, ia menegaskan bahwa semua ini adalah ujian sekaligus peluang, dan bahwa rakyat harus bersyukur karena masih diberi air, meski bukan listrik atau kepastian. Beberapa bulan kemudian, pemilihan digelar, sekadar formalitas agar demokrasi tetap tampak hidup.
Kotak suara disusun rapi, sementara keputusan sudah lebih dulu diambil di ruang ber-AC yang tak pernah kebanjiran. Spanduk-spanduk bermunculan bukan sebagai alat kampanye, melainkan penanda kepemilikan: siapa yang membiayai, dialah yang memilih.Pak Lurah kembali terpilih dengan suara “meyakinkan”, karena suara rakyat hanyalah pelengkap administrasi.
Yang benar-benar menentukan adalah para pemilik lahan, pemodal sawit, dan kontraktor beton yang memerlukan seseorang untuk menjaga agar banjir tetap bisa disebut berkah. Slogan pun diperbarui: “Banjir Berkah, Kini Lebih Hijau!”. Hijau di sini berarti warna rekening yang sehat bukan hutan, karena hutan terlalu boros dan tak menghasilkan dividen cepat.
Warga datang ke bilik suara dengan langkah ringan dan pilihan berat. Mereka mencoblos bukan karena percaya, melainkan karena semua pilihan telah disamakan. Dalam demokrasi versi ini, rakyat diberi hak memilih, tetapi oligarki diberi hak menentukan. Senyum warga pun muncul di foto-foto resmi, agar laporan berjalan lancar dan kemenangan tampak sah.
Setelah itu, kampung kembali tenggelam dalam rutinitasnya: air, lumpur, dan janji. Pak Lurah tetap berdiri di bukit strategisnya, menjaga keseimbanganbukan antara manusia dan alam, melainkan antara banjir dan kepentingan para pemiliknya.
Mereka membersihkan lumpur dari rumah, perabot, dan kenangan, sambil menghafal ulang rute evakuasi seolah sedang mempersiapkan festival tahunan. Anak-anak bermain perahu dari styrofoam bekas bantuan, belajar sejak dini bahwa air bukan untuk dihindari, melainkan disesuaikan. Bagi mereka, banjir bukan kejadian luar biasa, melainkan kalender alternatif.
Di balai desa, Pak Lurah merencanakan program lanjutan: monumen banjir sebagai ikon wisata, museum genangan, dan paket edukasi bertajuk Belajar Tenggelam dengan Bahagia. Semua disusun rapi dalam proposal berwarna-warni, karena penderitaan selalu tampak lebih meyakinkan jika dicetak mengilap.
Warga tahu, sandiwara ini belum mencapai klimaks. Banjir akan datang lagi, tepat waktu, setia seperti janji kampanye. Dan Pak Lurah akan selalu menemukan cara mengubah air menjadi emas atau setidaknya menjadi pidato, baliho, dan kalimat-kalimat kosong yang terdengar mahal. Sementara itu, sungai tetap mengalir, hutan terus berkurang, dan ironi bekerja lembur tanpa perlu anggaran.
Di Sumatera, banjir bukan sekadar air yang tumpah dari sungai ingatan alam. Ia adalah cermin kebanggaan kita: hutan habis, spanduk kampanye tumbuh subur. Pohon ditebang demi keuntungan cepat, lalu air datang tepat waktu untuk mengingatkan dan sekaligus memberi bahan pidato.
Banjir pun naik pangkat, dari bencana menjadi berkah, dari penderitaan menjadi jargon. Barangkali suatu hari kita akan belajar darinya. Tapi untuk apa belajar, jika mengulang jauh lebih menguntungkan? Air terus mengalir, dan ironi kita tak pernah kekeringan.
Penulis: Nur Robi Ari Saputra. Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab ini berasal dari Cilacap, sebuah daerah pesisir yang akrab dengan riuh ombak dan sunyi ladang.