Agama, Kuasa, dan Iman yang Terkungkung
Fokus Penyalahgunaan narasi agama untuk mengontrol, memaksa, atau menjustifikasi ketidakadilan sosial.
Dalam sejarah peradaban, agama selalu menempati posisi yang sakral sebagai sumber moral, pengarah hidup, hingga harapan spiritual manusia. Namun dalam dunia yang makin dipenuhi hasrat kuasa, agama kerap kali direduksi menjadi alat legitimasi politik dan penjinakan sosial.
Ia tak lagi sekadar memandu manusia menuju kebaikan, tapi juga dipelintir untuk mengatur, membungkam, dan mengontrol. Fenomena ini tak hanya terjadi dalam bentuk eksplisit seperti politisasi agama saat pemilu, tetapi juga dalam simbol-simbol keimanan yang dimanipulasi untuk membangun dominasi budaya dan kekuasaan.
Di tengah kemelut ini, muncul pertanyaan yang mengguncang nalar dan nurani: apakah iman kita masih lahir dari ketulusan, atau hanya sisa doktrin yang dibentuk oleh kepentingan?
Agama, dalam sosiologi klasik, dipahami bukan hanya sebagai sistem kepercayaan, tetapi juga sebagai perangkat sosial yang membentuk tatanan. Dalam hal ini, agama memiliki dua wajah: sebagai penguat solidaritas dan sebagai alat kontrol sosial.
Ketika agama digunakan untuk menjaga keteraturan, batas antara pengayoman dan dominasi bisa menjadi kabur. Hal inilah yang menyebabkan agama sangat rentan dimanipulasi oleh kekuatan politik, karena ia memegang kekuasaan simbolik yang besar di masyarakat.
Agama yang Ditarik Turun ke Meja Politik
Politisasi agama bukan hal baru. Dalam pemikiran Max Weber, agama sering digunakan sebagai sarana pembentukan tatanan sosial dan legitimasi kekuasaan. Ia menyebut konsep “otoritas karismatik”, yaitu ketika pemimpin politik menggunakan simbol-simbol religius untuk mengukuhkan wibawa di hadapan rakyat.
Kita tahu bahwa dalam sejarah panjang bangsa ini, simbol keagamaan seringkali dipakai untuk menarik massa, menguatkan basis kekuasaan, bahkan menekan oposisi. Dari panggung pemilu hingga peraturan daerah bernuansa syariat, agama perlahan bergeser dari wilayah batin ke panggung politik yang penuh strategi.
Salah satu contoh yang cukup mencolok adalah penggunaan narasi agama dalam pemilu 2019. Beberapa tokoh politik menggunakan simbol keagamaan untuk memperkuat basis dukungan, bahkan hingga menimbulkan polarisasi di masyarakat.
Isu agama dijadikan alat untuk memisahkan “kami” dan “mereka”, seolah-olah hanya kelompok tertentu yang berhak mengklaim nilai keimanan. Padahal, politik seharusnya menyatukan perbedaan dalam bingkai negara, bukan memperuncing identitas melalui tafsir keagamaan yang sempit.
Pernyataan tersebut dapat dilihat dengan fakta berikut yaitu, salah satu kubu menggunakan narasi bahwa mereka adalah "ulama dan umat" (Jokowi menggandeng Ma’ruf Amin, Ketua MUI), sementara pihak lawan juga menarik simpati kelompok Islam konservatif seperti FPI dan PA 212.
Akibatnya, pemilu bukan sekadar pilihan politik, tapi jadi “ujian iman” bagi sebagian kelompok. Beberapa ormas dan tokoh juga menyebarkan opini bahwa satu pihak berpihak pada Islam, sementara yang lain dianggap "anti-Islam", "pro China", atau "pro asing". Ini sangat menyederhanakan dan memperkeruh suasana, karena agama dijadikan alat politik identitas.
Sebenarnya ini bermula diaksi 212 meski begitu puncaknya pada 2016 (kasus Ahok), dampaknya berlanjut hingga pemilu 2019. Banyak tokoh 212 yang terang-terangan mendukung Prabowo, membawa agenda “ganti presiden” dengan narasi religius.
Di tengah masyarakat yang religius secara simbolik, iman sering kali tak lagi tumbuh dari kesadaran personal, tapi dari tekanan kolektif. Erich Fromm, seorang filsuf dan psikolog, menyebut fenomena ini sebagai “otomatisme sosial”, di mana individu mengikuti norma bukan karena pilihan sadar, melainkan karena takut dikeluarkan dari lingkaran sosial.
Kita diajak (atau dipaksa) tampil religius bukan karena cinta pada nilai ilahiah, tetapi karena takut terlihat menyimpang. Di sinilah lahir iman yang tak lagi intim, tapi publik: iman yang diawasi, bukan dirayakan.
Dalam dunia modern, Jean Baudrillard, sosiolog Prancis, memperingatkan tentang hiperrealitas: ketika simbol menjadi lebih penting dari makna sebenarnya.
Dalam konteks agama, hal ini terjadi ketika konten dakwah viral, merch keislaman, hingga gaya hidup religius menjadi tren pasar. Agama dikemas, dijual, dan dikonsumsi tanpa ruang cukup untuk refleksi.Ustaz seleb, kultum viral, dan konten keimanan seolah membentuk ilusi bahwa kita religius, padahal kita hanya sedang menikmati kemasan spiritualitas, bukan esensinya.
Kuntowijoyo, dalam pemikirannya tentang “ilmu yang membebaskan”, pernah berkata bahwa agama seharusnya membebaskan manusia dari belenggu penindasan, bukan memperkuatnya. Maka tugas kita bukan menjadikan agama sebagai alat kuasa, tapi sebagai ruang sunyi untuk kembali kepada nilai-nilai utama: kasih sayang, kejujuran, dan keadilan.
Iman yang paling jujur tumbuh di ruang yang sunyi. Di saat manusia berdialog dengan dirinya sendiri, tanpa penonton, tanpa kamera, tanpa algoritma.
Penyalahgunaan agama untuk kepentingan politik tidak hanya merusak kepercayaan publik terhadap institusi agama, tetapi juga menciptakan iklim intoleransi yang mengancam kohesi sosial. Ketika agama dijadikan alat kekuasaan, maka yang dikorbankan adalah makna sejati dari iman itu sendiri.
Masyarakat tidak lagi mendekat kepada agama karena cinta atau pencarian makna, melainkan karena tekanan sosial dan ketakutan. Jika dibiarkan, hal ini akan mengikis kedalaman spiritual masyarakat, dan menggantinya dengan kepatuhan simbolik tanpa pemahaman yang mendalam.
Agama Tidak Salah, Tapi Kita Mungkin Sedang Salah Menggunakannya
Agama, dalam esensinya, adalah pelita. Tapi pelita bisa membakar jika didekatkan ke bensin kekuasaan. Karl Marx pernah berkata bahwa agama adalah candu masyarakat. Tapi bukan karena agama itu buruk, melainkan karena ia sering dipakai untuk menenangkan manusia dari penderitaan yang seharusnya diubah, bukan diterima.
Maka pertanyaan ini tetap relevan: di antara suara elite yang mengaku mewakili Tuhan, masihkah kita bisa mendengar suara Nya dalam sunyi? Dan barangkali, bentuk iman yang paling tulus adalah diam-diam menyayangi Tuhan, tanpa perlu diumumkan kepada siapa pun.
Rujukan
Baudrillard, J. (1994). Simulacra and simulation. University of Michigan Press.
Fromm, E. (1941). Escape from freedom. Farrar and Rinehart.
Kuntowijoyo. (2006). Islam sebagai ilmu: Epistemologi, metodologi, dan etika. Tiara Wacana.
Marx, K. (1995). Contribution to the critique of Hegel's philosophy of right. In Sociology andreligion (pp. 3–4).
Weber, M. (1978). Economy and society: An outline of interpretive sociology (Vol. 2).University of California Press.
Penulis: Nur Ariestya Ningsih, Mahasiswa Psikologi UNM dan anggota kader 56 LKIMB UNM.