Antroposentrisme Kisah Seekor Camar dan Kucing
“Hal-hal mengerikan terjadi di laut. Kadang aku berpikir apa manusia memang benar-benar sudah gila, sebab mereka seperti ingin mengubah lautan menjadi tempat pembuangan sampah raksasa."
"Aku baru pulang mengeduk di mulut Sungai Elbe, dan kalian tak bisa bayangkan berapa banyak sampah yang terseret arus ke sana."
"Demi batok penyu! Kami mengangkut keluar tong-tong insektisida, ban bekas, dan berton-ton botol plastik sialan yang ditinggalkan manusia di pantai".
Zorbas, kucing hitam pelabuhan dengan tubuh gempal itu sedang asyik berjemur di balkon rumah majikannya di Hamburg. Ia menjadi pemilik rumah untuk sementara waktu selama empat minggu lamanya. Majikannya, seorang laki-laki muda yang gemar berceloteh itu, tengah berlibur.
Di tengah aktivitas bersantainya, Zorbas terperanjat ketika seekor burung camar melakukan pendaratan buruk di balkon itu. Tubuhnya hitam dipenuhi minyak dengan napas yang tak karuan.
Sedikit lagi mati, Kengah, si burung camar itu mengakui dirinya tak lagi bisa bertahan dalam waktu yang lama. Menjelang kematiannya yang tragis itu, Kengah rupanya sedikit lagi akan bertelur.
Ia meminta Zorbas untuk berjanji merawat telur itu hingga menetas dan mengajarinya terbang saat piyik itu telah tumbuh dewasa. Ini gila! Zorbas yang tak tahu apa-apa akhirnya kebingungan.
Sebagai seekor kucing pelabuhan, ia bisa saja melahap piyik itu. Akan tetapi, dengan rangkaian percakapan, Zorbas justru mengiyakan janji yang diberikan Kengah.
Ia akan menjadi ibu dari sang calon piyik dan tentu akan mengajarinya terbang. Sementara Kengah, akhirnya mengembuskan napas terakhirnya setelah telur itu keluar.
***
Melalui buku Kisah Seekor Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang garapan Luis Sepulveda, Kengah diceritakan, bersama gerombolan camar lainnya dari Sungai Elbe yang tersambung dengan Laut Utara tengah melakukan perjalanan menuju lokasi rapat akbar yang digelar di Biscay bersama para camar dari Laut Utara, Laut Baltik, dan Samudera Atlantik.
Di tengah perjalanan, Kengah dan gerombolan camar itu singgah untuk melahap kawanan ikan Haring di perairan yang ternyata telah tercemar tumpahan minyak. Bahaya besar terjadi, ia tak menyadari kode untuk menjauh dari permukaan laut dari sang camar navigator lantaran kepalanya telah terlanjur masuk ke dalam air.
Sebuah kapal tanker mencuri-curi kesempatan di tengah kabut lautan untuk membuang limbah minyaknya. Kengah terjebak, sementara kawanan camar lainnya telah menjauh. Hilang dari pandangan.
Kembali ke lautan untuk menolong Kengah adalah hal sia-sia. Tak ada yang bisa selamat. Kalaupun selamat, ia hanya menunda kematiannya sepersekian menit.
Konon, dalam tradisi camar, tak ada yang diperbolehkan untuk melihat kematian antarsesama camar. Itulah sebabnya, saat Kengah terjebak, para camar memilih menjauh dari bencana itu dan mengurungkan niat untuk melakukan pertolongan.
Kengah sekuat tenaga terbang menjauh dari permukaan laut namun limbah minyak itu telah merekatkan sayap-sayapnya. Ia hampir sepenuhnya kehilangan seluruh tenaga hingga akhirnya berhasil terbang kesana kemari mencari daratan dan menemukan balkon tempat Zorbas menikmati aktivitas bersantainya.
Di tempat Zorbas, Kengah kemudian mati tanpa memberi tahu bagaimana cara mengajari piyik itu terbang. Zorbas yang tak memiliki sayap semakin kebingungan. Namun, sebagai kucing pelabuhan, ia bersama kucing lainnya punya harga diri untuk menepati janji yang telah diucapkan.
Membaca novel yang tebalnya tak lebih dari irisan steak sapi itu rasa-rasanya tak cukup hanya dinikmati sebagai cerita dongeng pengantar tidur belaka.
Melalui cerita yang diperankan oleh sekumpulan binatang itu, Luis Sepulveda ingin menyampaikan pesan penting untuk kita semua, atau barangkali hanya saya -yakinkan dirimu jika pesan itu juga tepat disampaikan untukmu.
Saya menyoroti kejadian bagaimana akhirnya Kengah mesti mengalami pendaratan terakhirnya itu lalu mati sesudahnya.
"...sekarang kita ucapkan selamat tinggal kepada camar ini, korban bencana yang disebabkan oleh manusia." Perkataan itu diucapkan oleh salah seekor dari segerombolan kucing pelabuhan usai melakukan prosesi pemakaman Kengah di dekat kediaman majikan Zorbas.
Manusia dan pengetahuan-pengetahuan yang dimilikinya rupanya tak selalu berakhir baik -meski kita tahu pengetahuan secara mendasar membawa manusia menjadi makhluk yang lebih bijak.
Dahulu, manusia hanyalah makhluk daratan yang hanya bisa berandai berkelana di atas hamparan lautan. Dengan pengetahuan, manusia berhasil melakukan observasi melalui persamaan-persamaan matematis hingga akhirnya berhasil menemukan cara untuk mengarungi lautan.
Melalui kemampuan itu, manusia mulai melebarkan orientasi pengetahuan semula dari jembatan untuk membangun hubungan harmonis dengan alam hingga akhirnya menjadi alat untuk menaklukan. Saya bisa menyebutnya sebagai penyimpangan terhadap pengetahuan.
Lalu apa yang terjadi?Manusia memulai penaklukannya, mengeruk alam, lalu menyisahkan polusi dan pencemaran yang berakibat pada terganggunya kehidupan makhluk hidup lainnya. Kengah hanyalah satu dari banyaknya korban ulah manusia.
Saya menduga, Luis Sepulveda agaknya cenderung meletakkan kritik terhadap antroposentrisme dalam novelnya itu. Ia menggunakan karakter binatang, makhluk hidup selain manusia.
Dalam kritik antroposentrik, manusia menjadi satu-satunya mahkluk hidup yang penting ketimbang yang lainnya di muka bumi. Sehingga, keberlangsungan hidup di muka bumi hanya berorientasi pada kebutuhan manusia belaka.
Pembangunan industri besar-besaran atas dasar pengetahuan yang dimiliki manusia akhirnya berakibat pada terganggunya keseimbangan: krisis iklim hingga ruang hidup bagi mahkluk hidup lainnya yang semakin terdegradasi.
Hal menarik lainnya, saat Zorbas mengalami keterbatasan kemampuan ketika mengajari piyik yang telah diberi nama Fortuna itu terbang.
Keterbatasan itu yang akhirnya membawanya pada seekor kucing penjaga apartemen yang lebih mirip museum barang antik bernama Profesor. Profesor banyak membaca dan mengandalkan buku ensiklopedia untuk mengatasi berbagai masalah yang dialami para kucing pelabuhan.
Sayangnya, masalah Zorbas dalam mengajari Fortuna terbang tak kunjung berhasil meski Profesor telah menggunakan teori mesin terbang milik Leonardo Da Vinci. Ini terbilang memalukan bagi Fortuna. Camar adalah satu-satunya jenis burung yang ahli dalam hal penerbangan.
Zorbas frustasi dan bertekad melanggar pemali para kucing: berbicara kepada manusia. Tetapi, manusia mana yang bisa diajak bicara untuk membantunya menepati janji itu?
Siapa yang akan percaya jika seekor binatang mampu memahami dan berbicara kepada manusia. Kalau saja manusia itu percaya, binatang-binatang itu hanya berakhir dalam ruang-ruang eksperimen.
Saya akhirnya menyadari mengapa lumba-lumba membadut di kolam renang pertunjukkan dan bagaimana burung Kakaktua mesti mengulangi omong kosong manusia di dalam sangkar. Binatang yang terlalu cerdas pada akhirnya harus menanggung resiko di hadapan manusia.
Penulis: Naufal Fajrin JN, pernah menempuh pendidikan di program studi Sastra Inggris Universitas Negeri Makassar. Selain menulis puisi, cerpen, dan esai, penulis juga menulis sebagai jurnalis untuk salah satu media pemberitaan daring di Indonesia. la menulis sejumlah puisi dalam album "Kendari Mencari, tapi Apa yang Hilang?" dan telah diterbitkan oleh sebuah komunitas literasi yang bernama Pustaka Kabanti yang berbasis di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Dapat dihubungi melalui Instagram @naufalfajrin.id.