Artistic Journey Pada Pendidikan Seni
Pendidikan seni meskipun memiliki peran penting dalam perkembangan karakter dan kreativitas siswa, masih sering terjebak dalam pola yang terlalu fokus pada prestasi akademik, ujian standar atau nilai tes. Aspek yang lebih penting, seperti pengembangan kreativitas dan pemikiran kritis, sering kali terabaikan.
Pendidikan seni lebih banyak menilai keterampilan teknis, seperti gambar yang presisi, patung yang sempurna, atau musik yang indah, tanpa memberi ruang bagi proses kreatif siswa untuk berkembang. Hal ini menciptakan sistem yang kurang mengakomodasi proses eksperimentasi dan inovasi yang seharusnya menjadi inti dari pendidikan seni.
Dalam penerapan kurikulum yang ada, penekanan pada hasil akhir lebih dominan daripada perjalanan kreatif yang dilalui siswa.
Padahal, seni adalah tentang eksperimen, penemuan diri, dan inovasi. Proses menciptakan karya seni adalah bagian yang tak terpisahkan dari hasil akhir itu sendiri. Namun, kenyataannya, banyak siswa yang tidak diberi kesempatan untuk bereksperimen dan menemukan diri mereka melalui berkesenian.
Meskipun Kurikulum Merdeka menawarkan pendekatan yang lebih berpusat pada siswa, pendidikan seni masih terjebak dalam pola yang terstruktur, dengan penekanan pada produk akhir yang bisa dinilai secara objektif. Evaluasi yang berfokus pada tes pilihan ganda misalnya, tidak menggambarkan bagaimana siswa berkembang melalui proses kreatif.
Saatnya merenung, apakah ada ruang yang cukup untuk proses, untuk perjalanan kreatif siswa? Pendidikan seni perlu lebih menghargai perjalanan itu, karena pada bagian itulah sesungguhnya siswa menemukan diri mereka.
Terjebak Pada Teknikalitas dan Hasil dalam Pembelajaran
Pada perkembangan teknologi dan era globalisasi yang terus maju dimana kreativitas, pemikiran kritis, dan kemampuan beradaptasi kini dianggap lebih penting daripada sekadar menguasai teknik atau menghasilkan karya seni yang sempurna. Dunia seni kontemporer menuntut inovasi, eksplorasi, dan proses kreatif yang mendalam, yang jauh lebih berarti daripada sekadar hasil akhir.
Jika kita ingin memupuk kreativitas dan pemikiran kritis, kita harus melihat seni sebagai proses, bukan hanya pencapaian yang tampak di permukaan. Namun, pendidikan seni kita masih terjebak dalam pendekatan teknis dan berfokus pada produk akhir. Siswa dinilai berdasarkan karya seni yang selesai, seperti lukisan atau patung yang memenuhi kriteria teknis, tanpa melihat proses penciptaannya.
Padahal, apa yang sebenarnya membentuk karya seni adalah perjalanan kreatif yang dilalui siswa, terkait bagaimana mereka bereksperimen, mengatasi kegagalan, dan berkembang sebagai individu dari pengalaman-pengalaman dalam prosesnya.
Pembelajaran sejati terjadi dari pengalaman yang dipikirkan dan dipahami kembali, Bagi John Dewey pada buku Experience and Education (1983) bahwa pengalaman adalah dasar dari pendidikan, ia menegaskan bahwa pembelajaran bukan sekedar pengalaman pasif, melainkan proses aktif merenungkan, menganalisis dan mengintegrasikan pengalaman dengan pengetahuan yang telah ada untuk menciptakan pemahaman yang lebih dalam dan bermakna.
Demikian Kolb pada karya Experiential Learning (1984) ia menyatakan bahwa belajar sebagai proses yang mana pengetahuan diciptakan melalui adanya perubahan dalam berbagai bentuk pengalaman. Dalam konteks pendidikan seni, Pengalaman lebih dari sekadar hasil, tetapi juga perjalanan dan tantangan yang dihadapi selama proses penciptaan karya seni yang merupakan proses kreatif itu sendiri.
Proses kreatif merupakan bagian tak terpisahkan dari pembelajaran yang mendalam, karena setiap eksperimen dan kegagalan berkontribusi pada pembentukan identitas kreatif siswa.
Harry Broudy pada bukunya How Basic Is Aesthetic Education (1977) menjelaskan pendidikan seni dengan peran seni dan estetika membentuk individu yang otonom dan berkesadaran tinggi serta dapat mengembangkan potensi humanis. Baginya, seni sebagai aspek penting dalam pengembangan manusia secara keseluruhan yang tidak hanya berkaitan dengan kemampuan teknis tetapi juga kemampuan mengapresiasi, menganalisis dan menciptakan.
Namun, kurikulum yang terfragmentasi sering kali lebih menekankan pada seni yang bersifat teknis seperti halnya penyelesaian tugas keterampilan lalu mengabaikan kompetensi kreatif yang diperlukan. Siswa diajarkan untuk memenuhi ekspektasi yang telah ditetapkan, tanpa banyak ruang untuk bereksperimen.
Padahal dunia seni yang kompleks membutuhkan keberanian untuk berinovasi, menghadapi kegagalan, dan terus berkembang. Selain itu, kecerdasan tidak hanya terbatas pada keterampilan teknis, tetapi juga mencakup kemampuan berpikir kreatif dan berinovasi.
Oleh karena itu, pendidikan seni harus mengadopsi pendekatan yang lebih holistik, menghargai proses kreatif siswa, dan memberi mereka ruang untuk tumbuh melalui eksperimen dan refleksi.
Evaluasi Penilaian Pendidikan Seni dalam Kurikulum Merdeka
Kurikulum Merdeka dengan pendekatan deep learning memperkenalkan pendekatan berbasis kompetensi, yang mengutamakan pemahaman mendalam dan kemampuan berpikir kritis (HOTS). Namun, pendidikan seni masih bergelut dengan masalah klasik, yaitu dominasi tes objektif yang cenderung menilai pengetahuan dasar, hafalan, dan kemampuan teknis siswa.
Padahal, pendidikan seni lebih menuntut pengukuran terhadap kreativitas dan proses kreatif.Tes objektif, seperti tes pilihan ganda, Tes ini tidak cukup menggambarkan perkembangan siswa dalam proses kreatif.
Adapun penelitian menarik terkait penilaian kinerja yang menggunakan pendekatan portofolio dan autentik yang menilai keterampilan praktis serta kreativitas siswa selama proses belajar (Aulia & Hasnawati, 2025), namun pendekatannya masih bergantung pada hasil akhir, kurangnya rincian dalam penilaian proses kreatif secara objektif dan masih pada penekanan keterampilan teknis dan hasil tanpa cukup memperhatikan aspek non-teknis serta berfokus pada bentuk produk dan proyek.
Tantangan yang muncul dalam pendidikan seni yakni ketidakmampuan tes objektif untuk mengukur kreativitas dan proses reflektif yang menjadi aspek penting dalam proses penciptaan karya seni. Piaget dengan teori konstruktivisme dalam bukunya To understand is to invent: The future of education (1973) menegaskan bahwa pengetahuan dibangun secara aktif oleh peserta didik melalui interaksi sosial dan pengalaman nyata.
Teori konstruktivisme ini menjadi landasan penting dalam deep learning, dimana Pengetahuan tidak hanya diperoleh melalui teori, tetapi juga melalui pengalaman aktif dan interaksi dengan dunia sekitar. Dalam pendidikan seni yang berarti bahwa pemahaman tidak hanya datang dari menghafal teori seni, melainkan dari proses kreatif yang dihadapi oleh siswa.
Seni bukan hanya tentang hasil akhir, tetapi tentang perjalanan kreatif yang dilalui oleh siswa.Maka evaluasi berbasis proses menjadi sangat penting karena ia memberikan ruang bagi siswa untuk mengembangkan identitas kreatif dan beradaptasi melalui eksperimen.
Teori konstruktivisme ini relevan dalam konteks pendidikan seni, di mana pembelajaran adalah sebuah proses aktif yang melibatkan pengalaman dan eksperimen. Vygotsky pada bukunya Mind in society: The development of higher psychological processes (1978) menjelaskan konsep zone of proximal development, dimana ia membagi dan membedakan antara apa yang dapat dilakukan siswa secara mandiri dengan apa yang dapat dicapai dengan bantuan orang lain yang lebih mampu.
Ia menegaskan bahwa pembelajaran yang efektif terjadi ketika siswa menghadapi tantangan yang dapat mereka atasi dengan bantuan yang tepat. Dalam seni, tantangan ini bisa berupa pencarian identitas kreatif atau mengatasi ketidakpastian dalam proses penciptaan karya.
Proses ini tidak hanya mengembangkan keterampilan teknis siswa, tetapi juga pemahaman diri mereka, yang pada akhirnya memperkaya ekspresi seni yang mereka ciptakan.
Pendekatan deep learning mengajak siswa untuk memahami materi secara mendalam dan mendorong mereka untuk berpikir kritis. Pendekatan ini berfokus pada pemecahan masalah yang kompleks, eksperimen, dan penerapan pengetahuan dalam konteks nyata.
Sejalan pendidikan seni, yang mengajak siswa untuk menggali lebih dalam dan memahami makna di balik setiap langkah penciptaan karya seni. Tidak hanya sekadar menghafal teori atau menguasai teknik, deep learning mendorong siswa untuk berpikir kritis, berinovasi, dan melihat kegagalan sebagai bagian dari proses belajar yang berkelanjutan.
Hal ini selaras dengan penilaian berbasis proses berupa evaluasi yang tidak hanya menilai hasil akhir karya seni siswa, tetapi juga mengakui perjalanan kreatif yang mereka lalui, tantangan yang dihadapi, serta refleksi yang mereka lakukan selama proses penciptaan karya. Hal ini memberi siswa kesempatan untuk berkembang secara bertahap dan merasakan pencapaian dalam setiap langkah yang mereka ambil.
Tantangan terbesar dalam mengimplementasikan penilaian berbasis proses pada pendidikan seni yakni bagaimana mengukur proses kreatif yang tidak selalu dapat dinilai dengan kriteria teknis yang baku. Teori multiple intelligences dari Howard Gardner (2007) sangat relevan, karena ia menyatakan bahwa kecerdasan manusia tidak hanya terbatas pada kecerdasan intelektual saja tetapi terdiri dari beragam jenis kecerdasan yang berbeda.
Dalam konteks pendidikan seni tidak hanya mengukur kemampuan teknis atau akademik saja, tetapi juga meliputi kemampuan untuk berkreasi, berpikir secara interdisipliner, dan beradaptasi dengan perubahan. Maka penilaian yang kiranya dapat digunakan yakni penilaian berbasis portofolio, yang mencakup bukan hanya karya seni yang dihasilkan tetapi juga perjalanan kreatif siswa.
Penilaian ini dapat menjadi alternatif yang lebih komprehensif. Kita bisa menilai siswa secara holistik, mengakui proses belajar mereka, dan melihat perkembangan yang mereka capai sepanjang perjalanan seni mereka.
Artistic Journey Sebagai Altenatif
Dalam mengatasi permasalahan dari pendidikan seni tersebut, diperlukan gagasan yang mendorong pembelajaran siswa berfokus pada eksperimen, penyempurnaan ide dan refleksi diri sepanjang penciptaan karya. Penulis menawarkan gagasan yakni Artistic Journey model berupa model pembelajaran berbasis perjalanan artistik sebagai solusi alternatif dari permasalahan pendidikan seni, yang konsepnya menekankan pada proses kreatif dan refleksi berkelanjutan.
Hal ini sejalan dengan kurikulum Merdeka yang berbasis kompetensi dengan pendekatan deep learning. Sebuah model yang mengaitkan pengetahuan lama dengan baru, serta mendorong pemecahan masalah secara kritis dan inovatif.
Selain itu, adanya refleksi berkelanjutan yang memungkinkan siswa menggali proses, tantangan, dan pembelajaran sepanjang perjalanan kreatif mereka yang kiranya dapat meningkatkan pemahaman diri dan kemampuan berpikir kritis. Pendekatan ini menegaskan bahwa proses lebih penting daripada hasil dan bahwa kegagalan adalah bagian dari perjalanan.
Dengan integrasi deep learning, model ini membantu membentuk siswa yang tidak hanya terampil dalam teknik seni, tetapi juga kreatif, kritis, dan siap menghadapi tantangan dunia seni yang semakin kompleks. Pendidikan seni harus memberi ruang bagi siswa untuk menemukan suara mereka sendiri, menghadapi kesulitan, dan merayakan perjalanan kreatif mereka.
Model Pembelajaran Berbasis Perjalanan Artritis memberi kebebasan pada siswa untuk mengeksplorasi media dan teknik seni serta merefleksikan kemajuan pribadi mereka, selain itu menggunakan penilaian berbasis portofolio yang tidak hanya penilaian hasil akhir tapi juga mencerminkan kreativitas dan eksperimen siswa dengan menilai perkembangannya dalam menghadapi kegagalan dan menyempurnakan karya.
Namun untuk mewujudkannya, pendidikan seni perlu mereformasi pembelajaran dengan berfokus pada proses ketimbang hasil akhir.
Kurikulum Merdeka memberi ruang bagi pembelajaran yang lebih berpusat pada siswa, sesuai dengan kebutuhan zaman dan dunia seni yang menekankan ekspresi dan pengembangan diri. mendorong siswa untuk berkolaborasi, bereksperimen, dan menghadapi tantangan dalam proses kreatif mereka, mengembangkan potensi diri yang belum tergali.
Seiring dengan tantangan dalam menerapkan penilaian berbasis proses, pendidikan seni membutuhkan model baru yang lebih menekankan pada perjalanan kreatif siswa, bukan hanya pada hasil akhir. Model pembelajaran berbasis perjalanan artistik mungkin dapat menjadi tawaran solusi alternatif yang lebih efektif kedepannnya.
Pendidikan seni harus lebih dari sekadar menghasilkan karya seni yang indah. Proses kreatif yang dialami siswa mulai dari eksperimen, kegagalan, hingga refleksi adalah inti dari pembelajaran. Konsep model Artistic Journey menawarkan pendekatan yang lebih menghargai proses ini, di mana siswa dapat belajar tidak hanya dari hasil, tetapi juga dari setiap langkah yang mereka ambil dalam perjalanan kreatif mereka.
Mengutip pernyataan menarik John Dewey dalam bukunya Art as Experience (1934), seni seharusnya tidak terpisah dari kehidupan melainkan sebuah pengalaman yang terintegrasi dari kehidupan sehari-hari. Maka pembelajaran seni bukan hanya mengajarkan apa yang harus dipelajari, tetapi juga bagaimana siswa belajar, tumbuh, dan berkembang melalui pengalaman kreatif. Inilah yang seharusnya menjadi inti dari pendidikan seni yang lebih bermakna dan relevan pada Kurikulum Merdeka dengan pendekatan deep Learning.
Penulis: Galang Mario, mahasiswa Pendidikan Seni Pascasarjana UNY.