Ekologi Pancasila: Sebuah Tafsir Alternatif
1 Juni adalah satu peristiwa penting dalam sejarah Indonesia. Peristiwa itu menjadi satu bagian yang menentukan dan membentuk arah sejarah bangsa Indonesia. Di tanggal tersebut istilah Pancasila diperkenalkan kembali. Sejak itulah istilah Pancasila menjadi kosakata yang akrab di dalam percakapan publik masyarakat nusantara (Indonesia saat ini)
Saya menyebutnya diperkenalkan kembali, sebab sebetulnya istilah Pancasila bukanlah sesuatu yang benar-benar baru. Fais Yonas Bo'a dkk, dalam bukunya berjudul "Memahami Pancasila" (2019) menjelaskan bahwa istilah Pancasila sebenarnya sudah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit, kira-kira abad ke-14.
Hal itu tertera dalam kitab Negarakertagama karangan Empu Prapanca dan Kitab Sutasoma karya Empu Tantular. Artinya istilah Pancasila telah lama ada dan dipraktekkan oleh orang-orang nusantara.
Adalah Bung Karno yang memperkenalkan-nya kembali. Di hadapan para peserta sidang BPUPKI, Bung Karno dengan lantang mengajukan dan menawarkan agar Pancasila dijadikan dasar bernegara, jika kelak Indonesia merdeka. Kata menawarkan sengaja saya pilih, sebab sebagai ideologi dan falsafah bernegara, memang baru di tanggal 1 Juni-lah istilah tersebut ditawarkan.
***
Membaca judul artikel ini setidaknya kita akan menemukan dua kata kunci, yakni Pancasila dan Ekologi. Keduanya bagi beberapa kalangan barangkali sudah tidak asing. Tetapi beberapa yang lain termasuk diantaranya akademisi, pemerhati Pancasila dan teman-teman yang bergerak di isu ekologi, belum begitu familiar dengan topik yang mengaitkan keduanya.
Topik yang saya maksud adalah bagaimana menghubungkan Pancasila sebagai ideologi dengan ekologis sebagai konsep tentang keharmonisan dan keberlanjutan alam. Saya tertarik mendalami kaitan keduanya didasari oleh setidak-tidaknya dua alasan fundamental; 1) saya merasakan adanya kritik yang cukup tajam terhadap Pancasila, sebab dianggap sangat antroposentris, dan minus perspektif ekologi. 2) keprihatinan penulis pada kenyataan saat ini dimana 'krisis ekologis' melanda dunia, termasuk Indonesia.
Ekologi Pancasila
Secara paradigmatik ekologi adalah sebuah konsep dan komitmen dalam menjaga dan melestarikan lingkungan. Inti dari ide ini adalah bagaimana membangun hubungan yang harmonis antara manusia (warganegara) dengan alam semesta (termasuk di dalamnya tumbuhan, hewan dll).
Sementara Pancasila adalah ide minimal tentang bagaimana seharusnya kehidupan bernegara dan berbangsa dikelola. Ide ini menghendaki keselarasan, keserasian dan keharmonisan antara alam dengan manusia, dan antara pemerintah, warganegara dengan lingkungan hidup.
Sebagai rumusan ideologis dan sistem nilai, saya kira betul anggapan yang menyebut bahwa Pancasila sudah final. Tetapi di level praksis saya kira Pancasila sebetulnya masih debatable, ia ide yang masih terbuka untuk diinterpretasi dan diperbaharui.
Sebab memang begitulah karakter dasar Pancasila, ia bukanlah sebuah ideologi yang tertutup, yang anti pada kemajuan atau pada perubahan. Ia senantiasa terbuka dan selalu fleksibel pada konteks dimana ia hidup.
Karenanya, sangat penting bagi kita untuk selalu menggali, menerjemahkan dan memaknai Pancasila, agar senantiasa relevan dengan konteks dan situasi zaman. Sebab, bila tidak maka Pancasila akan semakin dianggap sebagai slogan dan retorika kosong semata. Sehat di atas kertas, sakit-sakitan dalam kenyataan, atau kata Buya Syafii Maarif, dimuliakan dalam kata, dikhianati dalam perbuatan.
Dengan demikian konsep ekologi Pancasila mengandaikan integrasi antara Tuhan, Manusia dan Alam. Tanpa ketiga hal itu keberlangsungan dan masa depan Indonesia akan terancam. Karena itu keharmonisan ketiganya perlu dijaga dan dilestarikan, disitulah penting perspektif ekologis di dalam Pancasila.
Sebagai upaya menjawab kritik bahwa Pancasila minus perspektif ekologi, berikut saya ajukan beberapa tafsir alternatif, yakni;
Pertama, pengelolaan lingkungan berdasarkan asas Ketuhanan Yang Maha Esa, sila ini menegaskan agar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara pengelolaan lingkungan harus didasarkan pada nilai Ketuhanan. Implementasinya dapat mewujud dalam bentuk yang beragam, misalnya dengan melaksanakan ajaran agama yang memerintahkan untuk tidak berbuat kerusakan di muka bumi. Konsep ini secara epistemologis dikenal dengan istilah Ekospiritual. Ekospiritualisme dikenal dalam ajaran berbagai agama (Ling, 1994).
Misalnya dalam ajaran Islam ada kewajiban untuk membina hubungan antara manusia dengan Tuhan, dan dengan alam. Ajaran Taoisme pun demikian, menekankan konsep keselarasan dan kesempurnaan alam dalam memandang manusia dan alam sebagai suatu kesatuan. Hindu sendiri telah memiliki berbagai filosofi yang mendasari pentingnya menjaga alam, seperti konsep palemahan pada Tri Hita Karana.
Nasrani juga menekankan ajarannya sebagai cinta kasih dalam berinteraksi, termasuk dengan lingkungannya. Buddhis pun demikian menekankan manusia untuk hidup selaras dengan lingkungan, kalau kita menjaga alam, alam pun akan menjaga kita. Kalau kita tidak menjaga alam, maka alam pun tidak akan menjaga kita.
Kedua, pengelolaan lingkungan berdasarkan nilai Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Sila ini misalnya dapat diaktualkan dengan mengurangi penggunaan limbah plastik, memperbanyak ruang terbuka hijau, melakukan edukasi dan advokasi tentang perlunya lingkungan untuk dilestarikan, mengadakan gerakan penghijauan seperti penanaman pohon dan sebagainya. Dengan begitu, udara yang dihirup bisa tetap nyaman;. Udara yang baik dan lingkungan yang sehat adalah satu diantara hak yang dimiliki oleh setiap manusia (warganegara).
Ketiga, pengelolaan lingkungan berdasarkan prinsip Persatuan Indonesia. Sila ini bermakna perlunya persatuan seluruh komponen keindonesiaan, baik itu manusianya, hutannya dan seluruh yang terkandung di dalamnya. Karena itu sila ini diimplementasikan dengan tidak merusak lingkungan demi untuk menjaga kesatuan, keseimbangan dan keharmonisan antar komponen, misal antara air, tanah, pohon dengan manusia, sebab bila tidak maka sangat mungkin terjadi banjir, tanah longsor, kebakaran lahan dll.
Keempat, pengelolaan lingkungan berdasarkan nilai Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan. Hardjasoemantri (2000) menyatakan penerapan sila ini bisa dilakukan dalam berbagai bentuk, misalnya menumbuhkan kesadaran dan tanggung jawab para pengambil keputusan dalam pengelolaan lingkungan hidup; mengembangkan kesadaran akan hak dan tanggung jawab masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup; serta mewujudkan kemitraan masyarakat, dunia usaha dan pemerintah dalam upaya pelestarian daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Sila ini juga dapat diimplementasikan dengan dibentuknya regulasi dan program yang melindungi kelestarian lingkungan, melarang industri yang menghancurkan ekosistem alam, seperti pembakaran hutan, penimbunan laut, pengerukan gunung, penambangan yang mengeksploitasi alam secara tidak bertanggungjawab dll.
Kelima, pengelolaan lingkungan berbasis Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sila ini dapat diimplementasikan dengan pengelolaan lingkungan yang berkeadilan. Berkeadilan dalam pengertian lingkungan dikelola dengan maksud untuk meningkatkan kesejahteraan sosial.
Tidak hanya itu, juga untuk menjamin terpenuhinya kebahagiaan lahir dan batin bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal itu tentu dengan tetap memperhatikan prinsip kelestarian alam dan keberlanjutan ekosistem lingkungan. Sila ini juga bisa dimaknai dengan terlibat aktif dalam gerakan mengadvokasi kebijakan-kebijakan yang tidak pro lingkungan hidup.
***
Hari ini adalah hari Pancasila diperingati kelahirannya. Semoga saja, tidak hanya semata perayaan, tetapi menjadi momentum untuk membudayakan dan meneladankan Pancasila. Sudah saatnya Pancasila diturunkan dari puncak menara gading, menjadi tindakan, menjadi perbuatan. Salah satunya dengan menjadi bagian dari gerakan menjaga dan melestarikan lingkungan. 5 juni nanti lingkungan hidup diperingati, semoga juga menjadi ruang merefleksi kembali, bagaimana wajah dan masa depan lingkungan hidup kita.
Salam Pancasila. Salam adil dan lestari!
Penulis: M. Yunasri Ridhoh, Mahasiswa Program Magister Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pendidikan Indonesia. Menulis buku “Kebebasan Berpendapat dan Berorganisasi di Kampus”. Saat ini menjadi tenaga pengajar di SMA Golden Gate School Makassar.