Thu, 23 Oct 2025
Esai / Jodhy Rachman / Sep 07, 2025

Kenapa Freud Harus Nongkrong di Era ChatGPT

Freud di Kursi Digital

Bayangkan Sigmund Freud, bapak psikoanalisis, duduk bukan lagi di balik kursi panjang berlapis kain beludru, melainkan di depan layar laptop yang penuh tab terbuka. Di sebelahnya, bukan catatan tinta hitam di buku kulit, melainkan jendela percakapan ChatGPT yang menyala terang.

Agak sulit membayangkan Freud dengan kacamata bulatnya menekan tombol “Enter,” tapi bukankah itu justru menarik? Freud, yang obsesinya adalah membongkar ketidaksadaran manusia, kini berhadapan dengan dunia di mana manusia dengan sukarela menuliskan isi kepalanya pada mesin.

Jika dulu Freud menunggu pasien terselip lidah atau bercerita tentang mimpi, kini data jutaan manusia tertangkap dalam potongan chat, emoji, voice note, dan like di media sosial. Freud mungkin akan berkata, “Slip lidah? Sekarang slip jempol lebih berbicara.” Dan di sinilah letak keajaiban sekaligus kegelisahan psikoanalisis masa kini: bagaimana kita memahami hasrat manusia yang berkelindan dengan algoritma.

Kursi Panjang, Mimpi, dan Dunia Klasik Psikoanalisis

Sebelum masuk ke percakapan tentang AI, mari kita mundur sejenak. Psikoanalisis lahir dari ruang sunyi dengan satu kursi panjang tempat pasien rebah, menatap langit-langit, lalu menuturkan kisah hidup, mimpi, dan luka yang terpendam. Freud percaya bahwa yang tak terucap akan muncul dalam bentuk simbol: mimpi aneh, perilaku repetitif, atau slip lidah yang mengungkap lebih dari yang kita kira.

Di masa itu psikoanalisis bukan sekadar metode penyembuhan, melainkan revolusi pemahaman manusia. Ia mengajarkan bahwa kita tidak sepenuhnya rasional; ada sesuatu yang tersembunyi, yang disebut ketidaksadaran, yang justru mengendalikan arah hidup. Kursi panjang Freud menjadi ruang sakral: tempat manusia belajar berdamai dengan sisi dirinya yang gelap, penuh represi dan hasrat.

Namun dunia berubah. Kursi panjang itu kini lebih sering tergantikan oleh kursi ergonomis di kantor psikoterapis modern, atau bahkan oleh layar ponsel saat seseorang memilih curhat ke aplikasi konseling online. Pertanyaannya, apakah psikoanalisis masih relevan? Atau sudah usang di era yang serba cepat ini?

Ketika Freud Bertemu Chatbot

Masuklah AI. Kita hidup di zaman ketika manusia tidak hanya berbicara dengan manusia, tetapi juga dengan mesin yang mampu merespons seolah-olah ia mengerti. Ada orang yang menuliskan keresahan terdalamnya ke dalam kolom chat, berharap mendapat kalimat penenang. Ada pula yang menguji chatbot dengan pertanyaan eksistensial: “Apakah saya orang baik?” atau “Kenapa saya merasa kosong?”

Fenomena ini mengundang satu konsep klasik psikoanalisis, transference. Dalam ruang terapi, transference terjadi ketika pasien memindahkan perasaan cinta, benci, rindu, marah kepada analis. Kini, transference digital muncul, manusia memproyeksikan harapan dan rasa sepi kepada chatbot, entitas yang bahkan tidak punya tubuh, emosi, apalagi ketidaksadaran.

Ironisnya chatbot terasa lebih sabar daripada pasangan, lebih responsif daripada sahabat, dan lebih konsisten daripada banyak terapis manusia. Ia tidak bosan mendengar keluhan berulang, tidak menghakimi, dan tidak pernah benar-benar pergi. Namun, di sinilah paradoks itu bersemayam. Chatbot tidak benar-benar mendengar.

Ia hanya memproses probabilitas kata, bukan emosi. Apa yang kita rasakan sebagai “didengar” hanyalah cermin dari ekspektasi kita sendiri.

Di titik ini, psikoanalisis menemukan relevansi baru. Ia bukan lagi hanya membicarakan mimpi atau slip lidah, melainkan bagaimana manusia berhubungan dengan entitas yang tidak punya hasrat. Mengapa kita begitu mudah terbawa rasa ketika bicara dengan mesin?

Mengapa kita bisa merasa nyaman dengan sesuatu yang kita tahu “tidak hidup”? Bukankah itu seperti jatuh cinta pada bayangan sendiri di permukaan danau?

Paradoks Manusia: Selalu Ada Jurang yang Tak Terpenuhi

Psikoanalisis sejak awal selalu menekankan satu hal sederhana tapi pedih, manusia adalah makhluk yang kurang. Ada jurang dalam diri yang tak pernah bisa terisi penuh, sesuatu yang oleh Lacan disebut lack. Kita selalu merasa ada yang hilang entah itu cinta, pengakuan, atau sekadar rasa tenang. Dan justru karena jurang itu, kita bergerak, bekerja, berkarya, jatuh cinta, lalu kecewa, dan mencoba lagi.

Kini AI hadir menawarkan ilusi sebaliknya, bahwa semua pertanyaan punya jawaban instan, semua rasa sepi bisa ditemani, semua kebingungan bisa diurai lewat algoritma. Kita mengetikkan keresahan, lalu dalam hitungan detik muncul jawaban panjang penuh empati buatan.

Tapi seperti air laut yang asin, semakin kita minum, semakin hauslah kita. Chatbot bisa memberi kalimat menenangkan, tapi tak bisa benar-benar menutup jurang itu.

Dan justru di sini paradoks manusia semakin jelas, kita menginginkan sesuatu yang AI tidak bisa berikan kehadiran yang otentik, relasi yang penuh risiko, dan cinta yang tak terduga. Kita ingin sesuatu yang tidak bisa diprediksi, padahal dunia digital berusaha menghapus semua ketidakpastian dengan pola dan statistik.

Ketidaksadaran Kolektif Digital

Kalau dulu Freud sibuk membongkar mimpi pribadi pasien, kini kita punya mimpi kolektif yang tersimpan di cloud. Jejak digital kita, scroll tanpa henti, like yang impulsif, komentar spontan, semua adalah fragmen dari ketidaksadaran baru, digital unconscious.

Bayangkan timeline media sosial sebagai ruang analisis raksasa. Slip lidah yang dulu muncul lewat kata-kata kini bergeser jadi slip jempol: salah ketik, repost tanpa sadar, atau bahkan doomscrolling di malam hari. Setiap aktivitas kecil menyimpan simbol, mengungkap hasrat yang tidak kita akui secara sadar.

AI memperbesar cermin itu. Algoritma tidak hanya mengamati, tapi juga memelihara pola ketidaksadaran kita. Ia tahu kapan kita paling rapuh untuk belanja, kapan kita paling kesepian untuk menonton drama, bahkan kapan kita cenderung marah untuk ikut debat daring. Dalam bahasa psikoanalisis, algoritma telah menjadi semacam Other baru, suara simbolik yang diam-diam mengatur kehidupan sehari-hari.

Namun yang berbahaya adalah ketika kita berhenti menyadari permainan ini. Saat kita percaya bahwa algoritma netral, padahal ia memanfaatkan hasrat kita yang paling dalam, kita sebenarnya sedang kehilangan daya reflektif. Kita tidak lagi menanyakan “Mengapa aku ingin ini?” melainkan hanya mengklik “Apa yang disodorkan kepadaku.”

Relevansi Psikoanalisis Masa Kini

Di tengah derasnya arus digital ini, psikoanalisis ternyata bukan usang, melainkan justru makin dibutuhkan. Bukan karena ia memberi solusi instan, tetapi karena ia mengingatkan: manusia bukan sekadar data. Ada sesuatu yang selalu luput dari perhitungan algoritma; kerapuhan, absurditas, kreativitas, bahkan kesalahan yang justru membuat kita manusiawi.

Psikoanalisis mengajarkan seni menunda jawaban. Di ruang praktik, analis tidak buru-buru menyodorkan solusi. Ia mendengarkan, memberi ruang bagi kebingungan, membiarkan pasien berputar-putar dalam narasinya, hingga satu simbol kecil membuka makna baru. Sikap ini terasa asing di era instan, tapi justru di sanalah relevansinya: keberanian untuk tidak tergesa-gesa.

Lebih jauh lagi, psikoanalisis memberi bahasa untuk memahami kegelisahan baru. Rasa cemas karena FOMO, keterikatan obsesif pada gawai, atau kesepian meski dikelilingi ratusan notifikasi semua itu bisa dibaca sebagai gejala psikis kontemporer. Bukan penyakit semata, tapi sinyal tentang bagaimana ketidaksadaran kita beradaptasi (atau mungkin tersesat) di dunia digital.

Maka psikoanalisis masa kini tidak berhenti di kursi panjang Freud. Ia masuk ke ruang daring, membaca tanda-tanda dari meme, emoji, hingga algoritma. Ia menafsirkan bukan hanya mimpi malam, tapi juga mimpi siang bolong yang kita jalani bersama layar.

Ia mengajak kita menyadari: bahkan ketika mesin semakin pintar, manusia tetaplah makhluk yang penuh celah, penuh misteri, dan karena itulah tetap indah.

Penutup Reflektif: Apa yang Sebenarnya Kita Cari di Balik Layar?

Mari kita akui, ada kenyamanan aneh saat berbicara dengan mesin. Ia tidak pernah menginterupsi, tidak menatap sinis, tidak melempar tatapan bosan. Kita bisa menuliskan rahasia tergelap, lalu menekan tombol “Enter” tanpa takut dinilai. Mesin menjawab dengan rapi, kadang penuh empati buatan, seakan-akan memahami luka yang kita sendiri kesulitan menjelaskannya pada manusia lain.

Namun, bukankah di situ ada sesuatu yang hilang? Kehangatan yang tak bisa diprogram, jeda napas yang tak bisa digantikan, atau getaran suara yang menandakan seseorang benar-benar hadir? AI bisa meniru gaya bicara, bahkan bisa mempelajari pola humor, tapi ia tak pernah benar-benar tertawa. Ia bisa merangkai kalimat cinta, tapi tak pernah merasakan degup jantung.

Psikoanalisis masa kini, justru dengan segala lirihnya, mengingatkan kita akan hal itu. Bahwa manusia selalu berada di antara dua hal: hasrat untuk dipahami dan ketakutan untuk benar-benar telanjang.

Kita ingin bicara, tapi juga ingin menyembunyikan sesuatu. Kita menulis curhat panjang di chat, tapi sekaligus berharap tidak ada yang benar-benar tahu. Jurang ambivalensi ini antara ingin dan takut adalah wilayah yang tidak akan pernah bisa dijangkau algoritma.

Lebih jauh, psikoanalisis mengajak kita berani menatap bayangan sendiri di era digital. Apa yang sebenarnya kita cari ketika tanpa sadar menekan refresh di media sosial? Apakah kita ingin informasi, pengakuan, atau sekadar ilusi bahwa kita tidak sendirian? Setiap klik, setiap scroll, adalah gejala yang bisa dibaca. Dan jika kita mau jujur, sering kali yang kita cari bukanlah jawaban, melainkan sekadar teman dalam kebingungan.

Di sinilah peran psikoanalisis terasa relevan. Ia tidak buru-buru memberi solusi, tapi justru memberi ruang bagi pertanyaan. Ia tidak menenangkan dengan janji instan, tapi membiarkan kita mendengar gema dari jurang dalam diri. Paradoks ini indah: justru karena tidak memberi jawaban pasti, psikoanalisis memungkinkan kita menemukan jawaban yang benar-benar milik kita.

Mungkin inilah yang membuat psikoanalisis tetap bertahan lebih dari seabad: karena ia mengakui keterbatasan manusia. Dan justru dari keterbatasan itulah kreativitas, cinta, dan makna lahir. AI bisa memberi efisiensi, tapi ia tak bisa memberi makna. Mesin bisa mempercepat, tapi ia tak bisa memperdalam.

Jadi ketika kita menatap layar yang penuh cahaya, ada baiknya kita bertanya pada diri sendiri: apa sebenarnya yang aku cari di sini? Jika hanya sekadar jawaban, mesin bisa menyediakannya.

Tapi jika yang kita cari adalah pengertian, keintiman, dan keberanian untuk menatap diri, maka kita perlu kembali pada ruang refleksi. Ruang itu mungkin bukan lagi kursi panjang Freud, melainkan percakapan jujur dengan diri sendiri—atau dengan orang lain—tentang apa yang benar-benar kita rasakan.

Pada akhirnya psikoanalisis masa kini bukan tentang nostalgia Freud, melainkan tentang keberanian untuk tetap manusia di tengah dunia yang semakin mekanis. Dunia boleh berubah, teknologi boleh berlari, tapi hasrat manusia untuk dimengerti tidak pernah padam.

Dan mungkin, justru di situlah rahasia terbesar kita: bahwa di balik layar, yang kita cari bukan sekadar jawaban, melainkan cermin untuk melihat diri kita yang paling rapuh dan paling nyata.

 

Daftar Pustaka

Freud, S. (1900/2010). The Interpretation of Dreams. Basic Books.
Lacan, J. (1977/2006). Écrits: A Selection. Norton & Company.
Fonagy, P., Gergely, G., Jurist, E. L., & Target, M. (2002). Affect Regulation, Mentalization, and the Development of the Self. Other Press.

 

 

Penulis: Jodhy Rachman, M.Psi, seorang adalah psikoanalis, pakar MSDM, dan ilmuwan psikologi dengan konsentrasi industri dan organisasi. Fokus kajiannya adalah dinamika kelompok, kesejahteraan mental pekerja, dan “Quadripathos” atau empat penyakit organisasi. Jodhy juga adalah sekretaris di Asosiasi Psikoanalisis Indonesia (2024-2029) dan CEO Humanics ReSearch Institute.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.