Melihat Permendikbud Nomor 25 Tahun 2020 Tentang UKT Lebih Dekat
Salah satu dampak dari pandemi Covid-19 ialah lahirnya kebijakan Study From Home (SFH) di bidang pendidikan. Hal ini mengharuskan adanya perubahan metode perkuliahan secara drastis, dari yang semula dilakukan secara tatap muka di ruang-ruang kelas menjadi dilaksanakan secara daring atau online dengan menggunakan beberapa aplikasi penunjang pembelajaran daring.
Implikasi yang harus ditanggung oleh mahasiswa ialah membengkaknya pengeluaran tambahan pembelian kuota internet. Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang telah dibayarkan oleh mahasiswa di awal semester sebagai kewajiban, menjadi tidak berbanding lurus dengan hak yang seharusnya didapatkan. Akibat perubahan perkuliahan menjadi daring, maka secara otomatis mahasiswa sama sekali tidak menikmati fasilitas kampus.
Atas dasar itu, mahasiswa seharusnya memiliki hak untuk menuntut pengembalian UKT sebagaimana diketahui pengalokasian UKT hanya untuk biaya operasional yang terkait langsung dengan proses pembelajaran mahasiswa.
Melihat itu, pada tanggal 28 Maret 2020 Lembaga Kemahasiswaan UIN Alauddin Makassar melayangkan Surat Maklumat tentang Aspirasi Mahasiswa yang meminta agar pimpinan universitas mengeluarkan kebijakan berupa subsidi kuota selama proses perkuliahan online berlangsung serta melakukan peninjauan terkait UKT semester genap tahun akademik 2019/2020 mengingat tidak efektifnya penggunaan sarana dan prasarana kampus sesuai dengan yang diamanahkan dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 7 Tahun 2018.
Dimintai data mengenai nama, NIM, nomor telepon dan jenis provider yang digunakan, ternyata hanyalah bentuk penenangan heroik oleh pimpinan kepada mahasiswa. Sebab sejak Surat Maklumat itu dikirim sampai berakhirnya semester genap tahun akademik 2019/2020, Lembaga Kemahasiswaan tidak mendapat jawaban. Tak ada wujud subsidi kuota, apalagi pengembalian UKT.
Berakhirnya semester genap tahun akademik 2019/2020 pada tanggal 12 Juni 2020, bersamaan dengan itu Kemenag mengeluarkan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 515 Tahun 2020 tentang Keringanan Uang Kuliah Tunggal pada Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri atas Dampak Bencana Wabah Covid-19. Kebijakan peringanan UKT ini dimaksudkan untuk diberlakukan pada semester ganjil tahun akademik 2020/2021, yang penyelenggaraan pembelajarannya dicanangkan masih akan secara daring.
Hal ini dipastikan dengan terbitnya Keputusan Bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Dalam Negeri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada Tahun Ajaran dan Tahun Akademik Baru di Masa Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) pada tanggal 15 Juni 2020.
Menindaklanjuti KMA Nomor 515 tersebut, pimpinan UIN Alauddin Makassar mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Nomor 491 Tahun 2020 tentang Keringanan Uang Kuliah Tunggal Mahasiswa di Lingkungan Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar atas Dampak Bencana Pandemi Covid-19. Dalam diktum kedua, SK Nomor 491 ini menetapkan empat poin sebagai pilihan yang dianggap mampu meringankan UKT mahasiswa selama pandemi.
Pengurangan sebesar 10% dari nominal UKT, perpanjangan waktu pembayaran, cicilan pembayaran bebas bunga (0%), pembebasan pembayaran UKT bagi mahasiswa yang orang tua/wali atau pihak lain yang membiayainya meninggal dunia karena Covid-19. Pilihan-pilihan yang disediakan ini dinilai diskriminatif dan sangat jauh dari konsep keadilan serta mencederai amanah Permendikbud Nomor 25 Tahun 2020 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi. Di mana Permendikbud itu sendiri dijadikan sebagai salah satu landasan hukum dalam penyusunan SK Nomor 491.
Menyinggung soal konsep keadilan, keringanan 10% tentulah tidak adil bila penentuannya berangkat dari komitmen perhitungan unit cost yang merujuk pada SSBOPT dan BOPT. Di mana sesuai amanah PMA Nomor 7 Tahun 2018, penentuan besaran UKT memperhitungkan SSBOPT dan BOPT. Dalam menetapkan SSBOPT, menteri berdasar pada: BOPT, indeks mutu PTKN dan indeks mutu program studi, indeks pola pengelolaan keuangan, dan indeks kemahalan wilayah.
BOPT diperoleh dari Biaya Langsung (BL) dan Biaya Tidak Langsung (BTL). Keduanya memiliki komponen masing-masing. Biaya Langsung terdiri atas kegiatan kelas (kuliah tatap muka, UTS, UAS, PR, kuis, tutorial, stadium generale, matrikulasi), kegiatan laboratorium/studio/bengkel/lapangan (praktikum tugas gambar/desain, praktik bengkel, kuliah lapangan, praktik lapangan, KKN), tugas akhir/proyek akhir/skripsi (tugas akhir, proyek akhir, ujian pendadaran, ujian komprehensif, seminar), dan bimbingan konseling dan kemahasiswaan (bimbingan akademik, orientasi mahasiswa baru, pengembangan diri).
Biaya Tidak Langsung terdiri dari biaya administrasi umum (gaji dan tunjangan tenaga pendidikan, tunjangan tambahan untuk dosen yang menduduki jabatan struktural, bahan habis pakai, perjalanan dinas), pengoperasian dan pemeliharaan sarana dan prasarana (pemeliharaan gedung, jalan lingkungan kampus dan peralatan, bahan bakar generator, dan angkutan kampus, utilitas, langganan bandwidth koneksi internet dan lain-lain), pengembangan institusi (penyusunan renstra dan RKAT, operasional senat, pengembangan koneksi), dan biaya operasional lain (pelatihan dosen dan tenaga pendidikan, perjalanan dinas, penjaminan mutu, ATK dan lain-lain).
Baru berbicara BOPT, kita dapat melihat dan bertanya, apakah dasar pemotongan 10% berangkat dari dinikmatinya seluruh komponen BL dan BTL dalam UKT? Selama pandemi, proses perkuliahan dialihkan ke sistem online. Sementara komponen BL dan BTL dalam UKT hanya dapat terealisasikan secara tatap muka langsung.
Artinya, selama proses perkuliahan dilakukan secara daring, universitas meraup surplus setiap semester jika tetap menghendaki pembayaran UKT pada mahasiswanya di masa pandemi.
Kembali menelaah Permendikbud Nomor 25 Tahun 2020, dapat dengan jelas memberikan jawaban atas masalah penurunan pendapatan yang secara menyeluruh menyasar sektor ekonomi manusia di tengah pandemi. Dalam pasal 9 ayat (4) disebutkan bahwa dalam hal mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayai mahasiswa mengalami penurunan kemampuan ekonomi, antara lain dikarenakan bencana alam dan/atau non-alam, mahasiswa dapat mengajukan pembebasan sementara UKT (poin a).
Menyambung itu, bencana yang saat ini sedang melanda Indonesia bahkan seluruh dunia adalah pandemi. Pandemi Covid-19 merupakan bencana non-alam dan telah ditetapkan sebagai bencana nasional dalam Keppres Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional.
Jika menilik SK Rektor UINAM terkait pembebasan bersyarat yang hanya berlaku bagi mahasiswa yang meninggal orang tua/walinya akibat pandemi, bukan hanya melanggar Permendikbud Nomor 25 Tahun 2020, namun dengan sendirinya pula membuktikan kelalaian sebuah PTKN dalam menaati PMA Nomor 7 Tahun 2018. Di mana UKT didefinisikan sebagai biaya yang ditanggung setiap mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonominya. Ini berarti, secara definitif UKT, pembebasan bersyarat sesuai SK tersebut sudah melenceng.
Pandemi tidak memandang bulu, sebab di mata pandemi semua sama, ia adalah wabah yang berjangkit serempak di mana-mana yang menyebabkan manusia tak mampu mencegahnya. Maka hal yang perlu dihayati sebelum menentukan kebijakan keringanan UKT di masa pandemi ialah semua aspek pendapatan mengalami degradasi yang signifikan dikarenakan semua wilayah terdampak. Oleh karena itu, pembebasan pun harus menyeluruh.
Penulis: Nur Khalisa M. Musa, akrab disapa Chae adalah gadis kelahiran Salu Makarra 25 Desember 1998, tepatnya di Luwu. Ia merupakan mahasiswi semester VIII jurusan Akuntansi UIN Alauddin Makassar. Sebelum menempuh dunia perkuliahan, ia sempat menjadi kontributor dalam beberapa antologi cerpen dan puisi.