Membaca Kasus Yai MIM dengan Kacamata Psikis
Awal Sebuah Ledakan Emosi
Konflik sosial jarang datang tiba-tiba. Ia biasanya tumbuh perlahan, seperti bara kecil di bawah abu. Pada kasus Yai MIM, pemicunya tampak sederhana: persoalan lahan, parkir, dan akses jalan. Tetapi persoalan sederhana ini membuka keran emosi yang sudah lama terpendam.
Awalnya hanya bisik-bisik di antara warga. Obrolan kecil di warung kopi, komentar lirih di gang, atau tatapan curiga yang tidak pernah diucapkan terang-terangan. Bisikan itu lalu berubah menjadi gumam yang lebih jelas. Hingga akhirnya gumam menjelma menjadi rapat warga yang formal.
Rapat yang mestinya menjadi jalan untuk tabayun justru menjadi panggung emosi. Keputusan pengusiran pun lahir. Di sinilah terlihat satu pola penting; emosi yang ditekan tidak pernah hilang, ia hanya mencari kesempatan untuk keluar. Begitu ada pemicu, semua akan meledak sekaligus.
Era digital membuat ledakan itu makin besar. Satu potongan video bisa jadi bahan bakar, satu komentar bisa jadi percikan api, dan ratusan orang ikut menyebarkan bara. Sebuah drama RT yang lokal tiba-tiba membesar jadi drama kota, bahkan nasional.
Sosok yang Jadi Sasaran
Dalam pusaran itu, Yai MIM dijadikan pusat tuduhan. Ia ditempatkan sebagai pihak yang salah, orang yang dianggap tidak pantas ada di lingkungannya. Surat pengusiran menegaskan stigma itu.
Namun yang membuat publik terkejut adalah cara ia merespons. Alih-alih meledak, ia memilih tenang. Alih-alih menyerang balik, ia bicara pelan, runtut, dan menjaga martabat. Seolah-olah ia tahu, melawan dengan amarah hanya akan menambah api, sementara menahan diri justru bisa menjadi air penyejuk.
Bagi banyak orang, ini adalah pemandangan langka. Saat seseorang dijepit, reaksi wajar biasanya marah atau membela diri keras-keras. Tetapi Yai MIM memilih jalan lain: menyalurkan energi marahnya ke dalam kata-kata yang penuh wibawa. Dalam bahasa awam, ia seperti mengubah racun menjadi obat.
Dari situlah simpati publik mengalir. Orang-orang yang menonton bukan hanya mendengar argumennya, tetapi merasakan wataknya. Ia tidak sekadar membela diri, tetapi menghadirkan teladan. Dari sosok yang awalnya dituding, ia berubah menjadi simbol keteguhan dan kesabaran.
Sang Penjaga Ketenangan
Namun ada sosok lain yang justru memperkuat gelombang simpati: istrinya, Rosida. Kehadirannya seperti jangkar emosi. Di tengah badai tuduhan, ia berdiri dengan elegan. Kata-katanya sederhana, tidak meledak-ledak, tapi jernih dan penuh keteduhan.
Publik melihat bahwa ia tidak membalas caci dengan caci. Ia tidak ikut dalam arus riuh. Justru dalam keheningannya, ia menunjukkan kekuatan. Orang-orang yang lelah dengan riuh itu merasa mendapat ruang teduh dari kehadirannya.
Sikap Rosida ini mengajarkan sesuatu yang penting: kadang, yang kita butuhkan dalam konflik bukan tambahan suara, tetapi tambahan ketenangan. Dalam diam yang elegan, ada argumen yang lebih meyakinkan daripada seribu kata.
Tak heran bila banyak penonton akhirnya melihat Rosida sebagai figur yang menenangkan, bukan hanya untuk suaminya, tapi juga untuk publik. Ia menjadi semacam oase di tengah padang konflik. Di situlah orang-orang menambatkan diri agar tidak hanyut oleh riuh kebencian.
Rapat yang Kehilangan Arah
Bagaimana dengan rapat warga? Dalam teori, rapat semacam ini semestinya menjadi forum untuk tabayun, mencari titik temu, dan menyelesaikan masalah. Namun dalam praktiknya, rapat itu berubah jadi ruang penghakiman.
RT dan RW yang seharusnya menjadi penengah malah ikut memperkuat arus pengusiran. Alih-alih jadi pendingin emosi, mereka justru jadi pemantik api. Rapat warga berubah dari ruang dialog menjadi mesin persekusi.
Fenomena ini sebenarnya tidak asing. Secara psikologis, kelompok yang gelisah sering mencari kambing hitam. Dengan menunjuk satu orang sebagai biang masalah, mereka merasa lega. Lega itu memang ada, tapi semu. Masalah sebenarnya tidak selesai, justru makin dalam.
Dalam kasus ini, Yai MIM menjadi sasaran kolektif. Rapat bukan lagi ruang mencari solusi, tapi panggung untuk menyalurkan emosi. Publik yang menyaksikan melihat betapa fungsi mediasi hilang. Yang muncul hanyalah tekanan. Dari sini, simpati publik semakin berpihak pada yang tertindas.
Publik Jadi Hakim Baru
Di era media sosial, publik tidak lagi hanya penonton. Mereka kini berperan sebagai hakim baru. Satu potongan video bisa memicu ribuan komentar, satu status bisa mengubah opini nasional.
Dalam kasus ini, publik berpihak pada kesabaran. Mereka melihat bahwa orang yang sabar lebih layak didukung daripada mereka yang berisik. Viralitas yang awalnya mungkin dimaksudkan untuk menjatuhkan justru berbalik arah, menjadi dukungan yang besar.
Namun, ada kekosongan yang terasa: pemerintah kota. Walikota yang mestinya hadir untuk menenangkan justru diam. Diam itu ditafsirkan sebagai pembiaran. Publik merasa ditinggalkan. Dalam psikologi sosial, ketidakhadiran pemimpin menciptakan rasa ditelantarkan.
Akibatnya, publik mencari pengganti. Mereka menemukannya dalam figur Yai MIM dan Rosida. Figur personal akhirnya menggantikan absennya figur formal. Inilah mengapa simpati semakin deras, bukan hanya karena kasihan, tetapi karena publik melihat moralitas di mana negara absen.
Bahaya Salah Sasaran
Di tengah dukungan, muncul bahaya lain. Ada yang mulai menyeret konflik ini ke ranah identitas: suku, etnis, atau agama. Padahal, ini bukan persoalan identitas, melainkan persoalan perilaku.
Ketika konflik digeser ke identitas, ia jadi sulit diselesaikan. Perilaku bisa diubah, identitas tidak bisa. Jika marah diarahkan ke identitas, luka sosial hanya akan semakin dalam. Ini ibarat memukul bayangan: kita tidak pernah menyelesaikan masalah, hanya menambah gelap.
Publik harus waspada. Dukungan pada Yai MIM tidak perlu musuh kolektif. Ia hanya butuh satu hal, keadilan. Membawa isu ini ke ranah SARA hanya akan menodai perjuangan moral yang sebenarnya.
Dukungan Publik sebagai Alarm
Dukungan publik yang membesar bukan sekadar simpati, tetapi alarm. Alarm bahwa sistem sosial tidak bekerja sebagaimana mestinya. Alarm bahwa RT/RW gagal menjadi penengah. Alarm bahwa pemimpin kota tidak hadir.
Dari alarm itu lahir tuntutan: hentikan pengusiran, evaluasi perangkat lokal, dan hadirkan pemerintah kota sebagai penjamin keadilan. Publik tidak hanya menjadi penonton, tetapi ikut mengawal jalannya proses.
Dukungan ini juga merupakan koreksi sosial. Ia adalah mosi tidak percaya terhadap cara lama yang sembrono, sekaligus panggilan untuk membangun cara baru yang lebih adil dan bermartabat.
Bagaimana Sistem Seharusnya Bekerja
Kasus ini memberi pelajaran berharga tentang rapuhnya sistem kita. Untuk mencegah hal serupa, ada beberapa prinsip yang harus dijaga.
Pertama, RT/RW harus menjadi mediator, bukan hakim. Rapat warga semestinya ruang dialog, bukan ruang pengusiran. Prinsip tabayun—mendengar kedua pihak secara adil—harus diutamakan.
Kedua, pemerintah kota harus hadir cepat. Kehadiran pemimpin bukan untuk mencari sorotan, tapi untuk menghadirkan rasa aman. Masyarakat butuh merasakan negara ada di pihak mereka.
Ketiga, jalur hukum harus ditegakkan. Sengketa tanah tidak bisa diputuskan lewat emosi. Hanya pengadilan yang berhak menentukan.
Keempat, literasi digital harus diperkuat. Potongan video dan framing bisa menyesatkan. Masyarakat perlu diajarkan untuk kritis dalam membaca informasi.
Kelima, moral dan hukum harus berjalan beriringan. Hukum menjaga aturan, moral menjaga nurani. Tanpa moral, hukum bisa kering. Tanpa hukum, moral bisa lemah.
Bagaimana Kita Sebaiknya Bersikap
Selain perbaikan sistem, ada pelajaran personal yang bisa dipetik. Dalam konflik, menahan diri lebih bijak daripada meledak. Elegansi dalam diam sering lebih kuat daripada ribuan kata kasar.
Kita perlu berhati-hati agar tidak mudah menyalahkan orang lain hanya untuk menenangkan diri. Itu hanya proyeksi, yang mungkin memberi kenyamanan sesaat tapi menutup jalan damai.
Kita juga harus menjaga agar konflik tidak dibawa ke ranah identitas. Itu jalan buntu yang hanya akan melahirkan luka baru.
Dan yang paling penting, kita harus menuntut kehadiran pemimpin. Kehadiran bukan sekadar simbol, tapi kebutuhan psikis. Orang butuh merasa ditemani, bukan ditinggalkan.
Penutup
Kasus Yai MIM bukan hanya soal tanah. Ia adalah cermin jiwa kolektif kita. Ia menunjukkan bagaimana bisik bisa jadi riuh, bagaimana rapat bisa jadi mesin penghakiman, dan bagaimana diam pemimpin bisa melahirkan rasa ditelantarkan.
Namun ia juga mengajarkan bahwa kesabaran bisa jadi kekuatan, ketenangan bisa jadi argumen, dan martabat bisa jadi senjata.
Jika kita ingin kota ini kembali tenang, yang dibutuhkan bukan drama baru. Yang dibutuhkan hanyalah keadilan sederhana.
Dan keadilan itu hanya akan lahir bila kita memilih untuk bersikap dengan kepala dingin, hati tenang, dan kata-kata yang menjaga martabat serta memastikan sistem sosial kita bekerja dengan benar. Karena di tengah badai, kadang yang paling dibutuhkan bukan suara lantang, melainkan keheningan yang menyembuhkan.
Jodhy Rachman, M.Psi, seorang adalah psikoanalis, pakar MSDM, dan ilmuwan psikologi dengan konsentrasi industri dan organisasi. Fokus kajiannya adalah dinamika kelompok, kesejahteraan mental pekerja, dan “Quadripathos” atau empat penyakit organisasi. Jodhy juga adalah sekretaris di Asosiasi Psikoanalisis Indonesia (2024-2029) dan CEO Humanics ReSearch Institute.