Wed, 15 Jan 2025
Esai / Muhammad Ilham Akbar / Oct 25, 2024

Menjembatani Kesenjangan

Di tengah gempuran informasi global yang tiada henti, kita dihadapkan pada Sustainable Development Goals (SDGs) yang memberikan panduan jelas mengenai arah pendidikan yang ideal. Pendidikan, sebagai salah satu pilar utama pencapaian SDGs, mendorong kita untuk membuka akses terhadap pendidikan berkualitas bagi semua, terutama bagi mereka yang terpinggirkan.

Namun, marilah kita telaah realitas yang ada. Dalam konteks ideal, pendidikan seharusnya menjadi solusi sempurna. Sayangnya, kita menyadari bahwa hal tersebut mengarah menjadi sebuah ilusi belaka.

Mendekati tahun 2030, yang menjadi batas akhir pencapaian SDGs, Indonesia dituntut untuk mengambil langkah-langkah strategis dan terukur. Salah satu langkah krusial adalah meningkatkan kualitas pendidikan, baik formal maupun nonformal, yang saling melengkapi dalam mengatasi berbagai tantangan yang ada.

Pendidikan berkualitas harus mampu mendorong pengembangan keterampilan kritis, kreativitas, dan kemampuan pemecahan masalah, yang semuanya merupakan komponen penting dalam menghasilkan sumber daya manusia yang siap bersaing di era global.

Namun, kita harus bertanya, seberapa serius kita akan mencapai target SDGs pada tahun 2030? Mari kita jujur, sistem pendidikan kita sering kali lebih mirip dengan tempat pertemuan bagi para ahli pendidikan daripada pusat pembelajaran bagi peserta didik.

Misalnya, betapa menawannya ketika kita menyaksikan video viral siswa SMP dan SMA yang tidak tahu apa itu MPR dan istilah-istilah lainnya, padahal mereka telah menghabiskan bertahun-tahun di bangku sekolah.

Ironis, bukan? Ketika rumus Pythagoras dan tingkat kebutuhan manusia menjadi sekadar frasa asing bagi mereka yang seharusnya menjadi generasi penerus bangsa.

Sebuah tamparan kemudian datang dari evaluasi internasional seperti Programme for International Student Assessment (PISA) yang menunjukkan skor Indonesia merosot, kita seharusnya meragukan keefektifan pendekatan pendidikan kita.

Pelajar kita hanya memperoleh skor 366 dalam matematika, jauh di bawah rata-rata OECD yang mencapai 472. Dalam aspek membaca, skor rata-rata siswa Indonesia berada di angka 359, sementara rata-rata OECD adalah 476.

Dalam sains, skor rata-rata siswa Indonesia hanya mencapai 383, dibandingkan dengan rata-rata OECD sebesar 485 poin. Kita bisa berargumen bahwa angka ini seharusnya memicu tindakan serius, tetapi sayangnya, kita lebih suka terjebak dalam retorika dan diskusi tanpa akhir di ruang rapat.

Lalu ada kebijakan zonasi sekolah yang tampaknya merupakan langkah cemerlang untuk pemerataan pendidikan di atas kertas. Dengan pendekatan ini, semestinya siswa di seluruh negeri bisa mengakses sekolah berkualitas yang dekat dengan rumah mereka.

Namun, kenyataan di lapangan seolah memberikan ironi tersendiri, ketika zonasi dianggap sebagai jembatan menuju pendidikan yang adil, ternyata jembatan itu hanya dibangun di satu sisi sungai.

Contohnya dapat ditemukan di daerah-daerah tertentu, di mana konsentrasi sekolah negeri hanya terpusat di satu atau dua kecamatan, sementara kecamatan lainnya tidak memiliki sekolah negeri sama sekali.

Ketidakseimbangan ini bertentangan dengan prinsip zonasi yang seharusnya mempermudah akses bagi semua siswa. Selain itu, penumpukan sekolah di satu wilayah mengakibatkan sekolah-sekolah tersebut menjadi sangat diminati, sedangkan siswa di luar zonasi terdekat kesulitan mendapatkan akses.

Ketiadaan sekolah negeri di beberapa wilayah juga berpotensi menambah kesenjangan kualitas pendidikan, karena siswa hanya memiliki opsi untuk bersekolah di lembaga swasta dengan kualitas dan biaya yang bervariasi.

Bagi keluarga dengan keterbatasan ekonomi, kondisi ini dapat menjadi beban tambahan, sehingga kebijakan yang semula bertujuan untuk pemerataan malah bisa memperdalam ketimpangan.

Dengan kondisi seperti ini, tujuan zonasi untuk menutup kesenjangan pendidikan tampaknya menjadi ambisi yang terlalu tinggi. Kebijakan ini telah berubah dari pemerataan menjadi pemeragaman, dimana wilayah yang "beruntung" menjadi magnet bagi pelajar, sementara daerah lainnya tetap mencari-cari di mana letak zonasi yang dijanjikan itu.

Rasanya, kebijakan zonasi ini lebih layak disebut sebagai eksperimen sosial besar-besaran, di mana keberhasilan atau kegagalan lebih ditentukan oleh keberuntungan alamat rumah daripada perencanaan infrastruktur.

Pemerataan pendidikan, yang seharusnya dicapai melalui zonasi, akhirnya menjadi jargon belaka jika tidak diikuti dengan komitmen serius untuk menghadirkan sekolah-sekolah baru di setiap sudut negeri, bukan hanya menumpuknya di satu wilayah seolah sedang membangun menara gading.

Indonesia, sebagai negara yang "kaya" akan tantangan pendidikan, sedang berjuang keras untuk memenuhi komitmennya. Ibarat pelari maraton yang tidak pernah sampai di garis finish, kita masih saja terjebak dalam masalah yang sama, yakni akses pendidikan yang setara dan berkualitas bagi semua.

Di sinilah pendidikan nonformal datang menyelamatkan atau setidaknya berusaha untuk menyelamatkan kita dari kegagalan sistem pendidikan di Indonesia yang tidak kunjung usai.

Bagaimana tidak, kita ibarat ikan di dalam kolam, tidak tahu menahu tentang dunia luar, sementara pendidikan nonformal adalah ombak yang siap menghantam dan membawa individu ke tepi pengetahuan yang lebih dalam.

Dan, yah, pendidikan nonformal! Sekali lagi, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa sektor ini sering kali dianggap sebagai anak tiri dalam kebijakan pendidikan nasional.

Pendidikan formal, dengan segala "kemewahan" yang didapat, selalu mendapatkan prioritas lebih, sementara pendidikan nonformal berjuang keras untuk mendapatkan anggaran yang layak dan dukungan kebijakan.

Di satu sisi, kita merayakan prestasi akademis; di sisi lain, kita mengabaikan potensi luar biasa yang dimiliki pendidikan nonformal.

Sudah saatnya kita memandang pendidikan nonformal sebagai solusi nyata, bukan sekadar alternatif. Jika pendidikan formal cenderung terjebak dalam birokrasi dan keseragaman kurikulum, pendidikan nonformal justru menawarkan fleksibilitas dan responsif terhadap kebutuhan nyata masyarakat.

Program-program seperti kursus keterampilan, pelatihan kerja, serta pendidikan masyarakat memberikan peluang bagi mereka yang gagal atau tersingkir dari jalur pendidikan formal untuk kembali menemukan jati diri dan mengembangkan potensi.

Pendidikan nonformal, dengan metode pembelajaran yang lebih kontekstual dan praktis, mampu menjawab tantangan zaman yang semakin kompleks. Dalam dunia yang terus berubah, keterampilan khusus dan adaptabilitas menjadi kunci untuk tetap relevan di pasar kerja.

Program nonformal, misalnya, dapat disesuaikan untuk memberikan keterampilan baru kepada masyarakat yang terdampak oleh perubahan industri atau perkembangan teknologi. Di sinilah letak kekuatan pendidikan nonformal yang sering kali diabaikan dalam kebijakan pendidikan dan masyarakat kita.

Pendidikan Nonformal dalam visi dan misinya mampu menjangkau kelompok marginal, memberdayakan individu dengan keterampilan yang dapat langsung diterapkan, dan meningkatkan inklusivitas pendidikan.

Namun, kita tidak boleh berhenti di sana. Pendidikan nonformal harus mendapatkan dukungan struktural dan institusional yang memadai, mulai dari alokasi anggaran hingga regulasi yang memungkinkan integrasi dengan sistem pendidikan formal.

Menggagas program seperti Penguatan Profesi Pendidik Nonformal misalnya, bisa menjadi langkah awal untuk mengatasi kesenjangan kualitas dan kredibilitas di antara para pendidik nonformal.

Langkah ini dapat memastikan bahwa para tutor dan pamong belajar memiliki standar kompetensi yang diakui secara nasional, sekaligus membuka jalan bagi pengakuan resmi terhadap kontribusi pendidikan nonformal dalam mencapai target SDGs.

Ke depan, sinergi antara pendidikan formal dan nonformal harus lebih diperkuat. Tidak bisa lagi kita memisahkan keduanya sebagai entitas yang berdiri sendiri.

Integrasi kurikulum dan pengakuan kredit terhadap pengalaman belajar nonformal dapat menjadi jembatan yang menghubungkan dua dunia ini, memungkinkan siswa beralih dari satu jalur ke jalur lain tanpa kehilangan hak atas pendidikan yang berkualitas.

Pendidikan nonformal tidak lagi boleh dipandang sebagai pendidikan alternatif atau bahkan jalan terakhir, melainkan sebagai elemen penting dalam ekosistem pendidikan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Jika Indonesia benar-benar serius dalam mengejar pencapaian SDGs, sudah saatnya kita berhenti meromantisasi pendidikan formal dan mulai memberikan perhatian yang layak kepada pendidikan nonformal.

Tidak ada alasan untuk mengabaikan sektor ini ketika faktanya ia memiliki potensi besar untuk menutup celah yang tidak mampu dijangkau oleh pendidikan formal.

Pendidikan nonformal adalah jembatan yang bisa membawa kita melewati jurang kegagalan pendidikan, menuju masa depan di mana setiap orang memiliki kesempatan untuk belajar, berkembang, dan berkontribusi dalam masyarakat.

 
 
Penulis: Muhammad Ilham Akbar B, alumnus kampus keguruan di Kota Makassar dan Kota Malang. Dapat dihubungi melalui instagram @muhammadilhamakbarb

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.