Negara Gagal: Urgensi Leadership dan Culture
Istilah negara maju, berkembang dan terbelakang untuk situasi sekarang rasanya tidak lagi relevan. Barangkali peristilahan yang lebih tepat adalah negara yang dikelola secara baik dan negara yang tidak dikelola dengan baik. Peristilahan ini penting untuk di problematisasi sebab untuk istilah yang kedua lebih berfokus pada tata kelola dan peran kepemimpinan. Konteks ini juga berlaku untuk daerah,--perusahaan, institusi atau lembaga apapun--, sehingga istilah daerah maju, berkembang dan 3T itu perlu ditinjau kembali.
Argumen ini saya pinjam dari pendapat Prof. Cecep Darmawan dalam kuliahnya di Program Magister Pendidikan Kewarganegaraan, Universitas Pendidikan Indonesia, pada mata kuliah Analisis Kebijakan Publik.
Kata Prof. Cecep argumen di atas mensyaratkan dua hal yakni (1) leadership, (2) culture,--tentu ada variabel lain, tapi yang paling fundamental adalah kedua hal tersebut--. Leadership beroperasi pada wilayah institusi ekonomi-politik, sementara culture bergerak dalam masyarakat sipil. Keduanya sama pentingnya, leadership penting sebab kepemimpinan yang kuat dan transformatif akan sangat mempengaruhi tata kelola suatu komunitas masyarakat. Sementara kultur juga sangat penting, sebab menyangkut kesadaran dan partisipasi dari warganya. Disitu ada budaya hukum, budaya kerjasama, kesadaran untuk maju, untuk keberlanjutan lingkungan dan lain seterusnya.
Oleh karena itu, pertanyaan seperti mengapa ada negara yang kaya raya tetapi ada juga yang sangat miskin ? Mengapa ada negeri yang begitu makmur tetapi ada juga yang begitu melarat ? Mengapa pula ada negeri yang usia harapan hidup dan harapan sehat warganya begitu panjang sementara ada negeri yang usia harapannya sangat pendek ? Atau pertanyaan mengapa ada bangsa yang kekenyangan tetapi ada juga kelaparan bahkan mati kelaparan ?
Pertanyaan itu seringkali dijawab dengan menunjuk iklim, geografis dan SDA sebagai penyebabnya. Padahal untuk situasi sekarang rasanya jawaban itu terlalu mengada-ada, naif simplifikatif atau bahkan 'ngeles' semata. Kalau saja kita mau membaca buku "Mengapa Negara Gagal?" karangan Acemoglu dan Robinson, maka jawaban kita tidak akan seperti demikian. Kita akan sedikit kritis dan mengajukan jawaban yang lebih berani yakni ketidaktahuanlah (kebodohan) dan keserakahan dari pemimpin, birokrasi (pemerintah) dari negara tersebutlah yang menjadi biang keroknya.
Buku itu dengan jujur dan ilmiah mengajukan jawaban bahwa institusi politik-ekonomilah yang menjadi penentu dan penyebabnya. Ada kesalahan pada tata nilai, tata kelola dan tata sejahtera-nya. Pada posisi inilah leadership dan culture memainkan peranan penting.
Karena itu, peristilahan maju, berkembang dan terbelakang barangkali perlu ditinjau kembali, perlu kita revisi. Kita mesti berterus terang, menunjukkan jari telunjuk kita secara berani kepada pemimpin kita dan diri kita sendiri, agar tidak ongkang-ongkang kaki di balik istilah-istilah manis seperti itu.
Sekali lagi kepemimpinan dan kultur memainkan peranan penting.
Penulis: M. Yunasri Ridhoh, Direktur LP3MI - PB HMI dan Mahasiswa Program Pascasarjana UPI Bandung.