Tue, 16 Apr 2024
Esai / Jan 06, 2021

Omnibus Law, Pendidikan Mahal Semakin Mahal

Dulu, banyak orang yang mengapresiasi hadirnya UU Pendidikan Tinggi, dan saksikan pendidikan tinggi hari ini semakin mahal. Sekarang, omnibus law akan membuat pendidikan kita semakin mahal lagi. Dimana sikap kita?

Pada rapat paripurna yang diselenggarakan oleh DPR hari Kamis, 2 April lalu, disepakati untuk melanjutkan pembahasan omnibus law RUU Cipta Lapangan melalui badan legislasi. Lalu pada 7 dan 14 April Badan Legislasi menggelar rapat membahas RUU Cipta Lapangan Kerja ini.

Di tengah gelombang penolakan RUU ini dan ditambah wabah COVID-19, membuat sebagian masyarakat menyayangkan keputusan ini, terlebih mereka yang menolak RUU tersebut. Seakan menjadi ‘berkah’ tersendiri bagi DPR yang mengambil keuntungan di tengah pandemi dengan melanjutkan pembahasan omnibus law.

Perlu diketahui bahwa dalam omnibus law melalui RUU Cipta Kerja, sektor pendidikan tidak luput dari perubahan kebijakan. Setidaknya ada 7 Undang-Undang mengenai pendidikan yang masuk dalam omnibus law.

Adapun itu yakni Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan, dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Tulisan ini berfokus pada sektor pendidikan tinggi khususnya mengenai dampaknya terhadap akses pendidikan.

Merujuk RUU Cipta Kerja tentang Pendidikan Tinggi, pada pasal 63 UU Dikti mengenai pengelolaan perguruan tinggi, salah satu prinsipnya yakni nirlaba dihapuskan. Goyahnya prinsip nirlaba juga terjadi dalam UU Sisdiknas. Pasal 53 yang sebelumnya menggunakan frasa prinsip nirlaba diubah menjadi dapat berprinsip nirlaba. 

Cukup mengherankan lantaran pendidikan merupakan salah satu sektor fundamental dalam perkembangan manusia. Hal ini dipertegas dalam UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.

Nirlaba secara prinsip menandakan bahwa aktivitas tidak mengutamakan memperoleh keuntungan. Kalau dikaitkan dengan sektor pendidikan tinggi, prinsip nirlaba menandakan bahwa segala penghasilan yang diperoleh institusi pendidikan tinggi digunakan untuk meningkatkan mutu lembaganya.

Prinsip nirlaba akan membuat institusi pendidikan tinggi menetapkan biaya pendidikan dengan memperhatikan akses pendidikan yang dapat dijangkau seluruh masyarakat. Dihapuskannya prinsip nirlaba dalam pengelolaan perguruan tinggi menjadi kabar buruk dalam meningkatkan akses pendidikan tinggi.

Dihadirkannya saja prinsip nirlaba, pendidikan tinggi masih sedikit yang mampu mengakses, apalagi jika itu dihapuskan. Dapat dilihat jika merujuk LAKIP Kemenristekdik tahun 2017, angka partisipasi kasar (APK) hanya mencapai 33,37 persen.

M. Nasir saat masih menjabat sebagai Menteri Ristekdikti menargetkan dalam waktu 5 tahun APK mencapai 50 persen. Sedangkan dalam waktu lima tahun, mulai 2013 hingga 2017, kenaikan APK hanya 3,5 persen.

Bila merujuk Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) APK untuk negara berkembang minimal 36%. Di level ASEAN, Indonesia masih kalah dibanding Filipina (34%), Malaysia (38%), Thailand (51%) dan Singapura (78%).

Belum lagi jika mengacu data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019 tentang biaya pendidikan tinggi per provinsi. Sebagai contoh, biaya pendidikan tinggi di Sulawesi Selatan mencapai Rp. 20,5 juta untuk tahun ajaran 2017/2018 tertinggi ketiga secara nasional. Rerata nasional menunjukkan angka Rp. 15,3 juta.

Rendahnya akses pendidikan tinggi ditambah dengan mahalnya biaya pendidikan tinggi semakin diperparah oleh masuknya perguruan tinggi asing di Indonesia. Pasal 65 dalam UU Sisdiknas mengenai kewajiban kerjasama lembaga pendidikan asing dengan lembaga pendidikan di Indonesia telah dihapuskan. Hal ini juga selaras pada pasal 90 UU Dikti yang menghapuskan kewajiban bekerjasama dan prinsip nirlaba.

Patut dicermati, laporan Education at Glance: 2018 dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mengungkap bahwa secara global rerata biaya pendidikan tinggi sebesar US$ 15.700 atau sekitar Rp. 222,9 juta per tahun. Di Amerika Serikat saja, besaran rerata pertahun mencapai US$ 16.518 atau sekitar Rp. 234,4 juta.

Hadirnya perguruan tinggi asing di Indonesia tanpa digandeng perguruan tinggi dalam negeri menjadikan biaya pendidikan tidak terkontrol. Hal ini akan berdampak pada meningkatnya biaya pendidikan yang tentunya mendorong perguruan tinggi Indonesia menaikkan pula biayanya.

Lembaga keuangan Jiwasraya pada tahun 2018 menyebutkan bahwa inflasi pendidikan sebesar 15 persen. Jiwasraya juga melakukan prediksi biaya pendidikan tinggi di 6 kampus yakni ITB, BINUS, UI, UNPAD, ITS dan UGM.

Berdasarkan prediksi tersebut, dalam kurun waktu 5 tahun biaya pendidikan tinggi naik 100 persen lebih. Naiknya biaya pendidikan tinggi sebesar 15 persen per tahun tidak sesuai dengan kenaikan gaji yang hanya mencapai 7 persen per tahun.

Mengutip perkataan Tan Malaka, tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan. Lantas, bagaimana jika masyarakat tidak mampu mengakses pendidikan?

Selamat Hari Pendidikan Nasional!

 

Penulis: Muhammad Riszky, editor pronesiata.id

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.