Thu, 19 Sep 2024
Esai / Askar Nur / Jan 03, 2021

Orang-Orang Oetimu: Zizek dan Otonomi Diri Perempuan

Selain R.A Kartini yang mengumandangkan kebebasan bagi kaum perempuan yang dituliskan dalam bukunya “Habislah Gelap Terbitlah Terang” dan melalui surat yang ditujukan kepada Estelle H. Zeehandelaar pada 25 Mei 1899, adapula Poetri Mardika, sebuah organisasi perempuan berideologi nasionalisme yang terbentuk pada permulaan abad 20 yang juga dapat dikategorikan sebagai organisasi keputrian dari Bumi Utomo.

Asiah, yang menjabat kala itu sebagai ketua Poetri Mardika pada tahun 1916, menekankan bahwa kata “merdeka” dalam organisasi Poetri Mardika adalah mengupayakan memperluas ruang gerak untuk para perempuan dan bukan lagi terbelenggu dengan perkara adat istiadat yang membatasi para perempuan. Bentuk perjuangan yang dilakukan oleh Poetri Mardika adalah mengupayakan pendidikan terhadap perempuan dan menyerbarluaskan wacana emansipasi perempuan di surat-surat kabar.

Pada masa kolonial, perempuan diperlakukan secara tidak adil oleh kekuasaan seperti diskriminasi dalam hal pemerolehan pendidikan maupun dalam segi keterlibatan dalam ruang sosial. Perempuan dipandang sebagai kaum yang lemah dan hanya diposisikan di wilayah domestik. Tak ayal, perempuan rentan dengan tindakan kekerasan. Fenomena tersebut menjadi semangat tersendiri baik Kartini, Dewi Sartika, organisasi Poetri Mardika dan organisasi-organisasi perempuan lainnya untuk memperjuangkan hak-hak perempuan.

Konsep emansipasi perempuan dan gerakan perlawanan perempuan tentu bukanlah hal yang terbilang baru di republik ini melainkan perkara tersebut telah berlangsung bahkan sebelum kemerdekaan. Meskipun pada masa Orba, gerakan perlawanan perempuan mengalami kemunduran yang signifikan ditandai dengan corak kekuasaan yang cenderung mendiskreditkan posisi perempuan namun perkara tersebut tidak menjadi hambatan bagi sebahagian perempuan dalam meneriakkan perlawanannya.

Di era modern atau pasca reformasi seperti saat ini, meskipun terbilang minoritas, para perempuan dan organisasi perempuan tetap komitmen dalam memperjuangkan hak-hak perempuan baik dalam bentuk perjuangan secara langsung maupun dalam bentuk karya seperti tulisan. Terbukti, sampai saat ini penulis-penulis perempuan yang tersebar di berbagai wilayah yang ada di Indonesia tetap menyuarakan nasib kaum perempuan.

Namun, tak bisa dipungkiri siklus dan rezim kekuasaan mutakhir acapkali mengkerdilkan peranan perempuan. Ruas-ruas budaya patriarki semakin tumbuh subur dan membisukan suara-suara perempuan. Tak pelak, di saat kondisi pembisuan terekam di setiap sumsum kehidupan, kehadiran interupsi dan perlawanan dari perempuan mampu membawa efek kejut terhadap berbagai kalangan.

Termasuk peristiwa yang sempat buming di permukaan sosial media saat pagelaran aksi demonstrasi menolak pengesahan RUU Cipta Kerja (Ciptaker) beberapa waktu terakhir, perempuan-perempuan dari berbagai latar belakang organisasi di seluruh penjuru wilayah di tanah air ini spontan angkat bicara di atas mimbar-mimbar aspirasi yang umumnya didominasi jenis kelamin laki-laki. Kondisi demikian terjadi terlepas dari konstruksi subordinasi yang dialami perempuan, akan tetapi hal tersebut merupakan usaha membebaskan diri yang terjadi pada setiap individu umumnya. Sebuah proses pendefinisian ulang subjek seperti yang dibahasakan oleh Slavoj Zizek dalam kajiannya tentang Redefinisi Subjek.

Subjek sebagai suatu entitas individu atau manusia yang menggunakan akal budi dalam bertindak. Sementara itu, subjek yang dimaksud Zizek adalah subjek sebagai kekosongan yang menciptakan identitas baru dengan melampaui dan meninggalkan “yang imajiner dan simbolik” untuk menciptakan “yang nyata”.

Dalam novel Orang-orang Oetimu karya Felix K. Nesi, terdapat seperangkat tindakan yang dapat dikategorikan sebagai tindakan sinisme simbolik, fantasi ideologi, momen kekosongan dan tindakan radikal pada beberapa tokoh dalam cerita seperti Maria, Elisabeth, Agnes, Ira, Yani dan Silvy. Akan tetapi, tokoh Maria lebih dominan menunjukkan tindakan radikalnya melalui seperangkat perlawanan yang dilakukan dalam novel tersebut.

Tindakan radikal subjek yang dimaksud dalam pandangan Zizek yakni mematahkan atau menolak diri terhadap objek-objek yang dimiliki dan dicintai dengan begitu subjek mendapatkan ruang bebas untuk bertindak. Dengan demikian, tindakan radikal dapat diartikan sebagai tindakan untuk mencapai kebebasan diri atau diri yang otonom.

Tindakan radikal di sini berkenaan dengan momentum, bukan proses yang melibatkan rencana, tujuan, maksud, kesengajaan, dan lain sebagainya tindakan ini merupakan ledakan kemuakan subjek akan ideologi, simbolik yang menjerat. Untuk itu, tindakan ini tanpa ideologi, tanpa simbolik, tanpa tujuan, tanpa maksud dan tanpa rencana yang memengaruhinya.

Tokoh Maria dalam novel tersebut lebih dominan hadir melalui seperangkat tindakan yang mengisyaratkan sebuah tindakan radikal dengan titik berangkat pada tindakan sinisme simbolik, fantasi ideologi dan momen kekosongan.

Hampir gila memikirkan itu semua, Maria berhenti berdiskusi, berhenti memperjuangkan apa-apa, dan berhenti percaya kepada Negara dan setiap pejabatnya. (Nesi, 2019: 153)

...Justru yang terpengaruh oleh cerita-cerita itu adalah Maria. Maria menangis berhari-hari dan berhenti percaya kepada Gereja. Ia enggan menginjakkan lagi kakinya di gereja, sebab setiap kali pastor mengangkat piala dan mengucap syukur, ia melihat pastor itu sedang megap-megap kenikmatan; melihat Elisabeth yang pucat pasi, Yani yang berjongkok, dan cerita-cerita lainnya. Segala macam doa dan berkat dari pastor manapun berubah menjadi menjijikkan. Ia telah berusaha membaca kisah para nabi dan pastor-pastor yang saleh, tetapi semua itu sia-sia saja…(Nesi, 2019: 155)

Kutipan dari salah satu dialog dalam novel tersebut menggambarkan sosok Maria yang melakukan penentangan terhadap hal yang selama ini dianggap suci dan memiliki otoritas. Penentangan tersebut bersumber dari kemuakan dan kegeraman Maria terhadap pihak gereja yang melanggengkan penindasan terhadap perempuan dan Negara yang merawat perilaku dan tindakan korupsi. Apa yang dilakukan Maria merupakan sebuah bentuk tindakan radikal tanpa perencanaan dan ideologi melainkan faktor kemuakan yang melahirkan perlawanan untuk membebaskan diri.

Perlawanan yang dilakukan Maria bukan merupakan representasi perlawanan memperjuangkan hak perempuan, melainkan Maria berjuang untuk membebaskan diri. Ideologi yang diperankan oleh Maria tidak menafikan sebuah kenyataan, dia menyadari seutuhnya terhadap perkara dalam diri manusia yang harus mencapai puncak kebebasan atas dirinya termasuk gerakan perlawanan di ruang-ruang publik yang dilakukan oleh baik perempuan maupun laki-laki.

Bagi Zizek, kehadiran baik perempuan maupun laki-laki dalam ranah perjuangan pada hakikatnya tidak memperjuangkan apapun selain pencapaian otonomi diri. Sejarah perlawanan manusia khususnya gerakan perempuan di Indonesia merupakan sejarah penanggalan momen kekosongan menuju penciptaan tindakan radikal yang berakhir pada penemuan prinsip kedirian seorang manusia dan perlawanan tersebut akan terus hadir selama manusia dan kebebasannya terenggut otoritas dari sebuah institusi seperti gereja, Negara dan institusi lainnya. 

 

Penulis: Askar Nur, Presiden Mahasiswa DEMA UIN Alauddin Makassar 2018 dan Duta Literasi UIN Alauddin Makassar 2019.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.