Thu, 12 Dec 2024
Esai / Askar Nur / Dec 29, 2020

Piring Nasi di bawah Tudung Kepentingan

Napoleon, seekor babi pintar nun licik menjadi pemimpin dalam peternakan setelah kepergian Mayor Tua dalam novela garapan Erik Arthur Blair atau akrab kita sapa George Orwell. Ia dengan permodelan Stalin mampu mengubah konstalasi peternakan. Squeler dan Snowball yang menjadi kerabat dekatnya sekaligus ahli propaganda juga ikut membantu Napoleon dalam melancarkan aksinya.

Segenap aturan dalam peternakan pasca menang perang melawan manusia, ia ubah demi melanggengkan kepentingannya termasuk larangan bekerjasama dengan manusia dalam hal apapun. Napoleon kemudian memutuskan untuk menjalin hubungan kerja dengan Pak Fredrich pemilik peternakan sebelah yang juga sebagai model Adolf Hitler.

Pendek kata, baik Napoleon maupun Pak Fredrich, keduanya berhubungan dengan baik tanpa sepengetahuan binatang lainnya. Napoleon secara tidak langsung telah melanggar sumpah para binatang saat setelah memenangkan perang yang dipimpin oleh Mayor Tua. Pemberontakan terhadap manusia yang sejak awal menjadi doktrin para binatang di peternakan Manor telah surut di tangan Napoleon, si babi pintar yang sedari awal juga selalu menabuh gendrang perang terhadap manusia akan tetapi demi kepentingan pribadinya, ia mengingkari sumpah para binatang tersebut.

Di hadapan kepentingan, peperangan atau bentuk konfrontasi lainnya tak lebih hanyalah pesta spektakuler ilusi. Fenomena demikian nampak pula pada persaingan antara para elite dan partai politik yang terlihat sangat keras di permukaan akan tetapi hal demikian hanyalah mekanisme yang (sengaja) diciptakan untuk mencapai kesepakatan, membangun kolaborasi dalam upaya merampas dan mendistribusikan di antara mereka sumber-sumber ekonomi negara.

Salah seorang teman saya kala mendiskusikan buku “Oligarki: Teori dan Praktik” terbitan baru Marjin Kiri saat itu berceletuk dengan nada yang sedikit bergurau bahwa pada hakikatnya waktu hanyalah kekosongan berikut ruang dalam tendensi duniawi, yang abadi hanyalah kepentingan. Sementara itu di lain alur cerita dengan isi yang sama, Mulya Sarmono menulis dalam esai “Kecurigaan di Balik Wajah Manusia” tentang tarung kepentingan dalam novel “Conspirata” karya Robert Harris.

Sebuah novel yang berkisah tentang negara yang bernama Roma yang di dalamnya dipenuhi manusia yang saling mengatur rencana untuk mendapatkan kekuasaan dalam pemerintahan, saling menjatuhkan dan menyingkirkan dengan cara licik. Cicero sebagai tokoh utama dalam novel acapkali memanfaatkan kelihaiannya dalam beretorika untuk membenarkan segala tindakannya demi mendapatkan kekuasaan.

Begitupula dengan Caesar yang menggunakan uang dan kekuasaan untuk memperoleh kekuasaan yang lebih tinggi lagi. Kemudian Pompeius memanfaatkan sektor militer untuk menguasai pemerintahan serta tanah yang luas. Ketiganya bersaing dan saling berkonspirasi hingga saling menjatuhkan demi kepentingan pribadi.

Sementara itu, cerita yang sama pun sering terjadi dalam dunia nyata. Adegan saling menjatuhkan atau bahkan sampai pada tahap ektrem: penghianatan, kerapkali berlaku di sekeliling kita. Rute kepentingan bergerak tanpa pandang bulu, tak memandang tali persaudaraan. Ia berjalan di atas gelombang akumulasi kapital dan acap berintonasi politik “piring nasi”.

Mendengar istilah “piring nasi”, saya teringat salah satu momen di mana saya pernah berada di dalamnya, tepatnya momen pergantian kepemimpinan dalam sebuah organisasi. Di sana saya menyaksikan sifat komitmen dan konsisten ibaratkan feses yang berserakan di WC umum yang tidak terawat, mudah keluar saat kebelet namun menyisakan bau yang menusuk.

Dengan lugu, saya mempertanyakan perihal berpindahnya salah seorang ke kubu rival politik kepada teman saya. “yah, hal demikian lumrah terjadi. Ini tentang piring nasi”, jawabnya singkat seakan-akan fenomena tersebut merupakan ihwal yang diwajarkan.

Saya kaget dan kembali mengingat lagi salah satu pepatah bugis yang biasanya diutarakan oleh orang tua saya di kampung yang jika dialih-bahasakan ke bahasa Indonesia, kira-kira maknanya seperti ini “kalau binatang talinya dipegang, kalau manusia perkataannya dipegang”. Lantas jika manusia yang perkataannya tidak bisa dipegang, apakah dia itu adalah bin.....?

Tetiba imajinasi tersebut dipotong oleh imajinasi baru. Yah, tentang “piring nasi” tadi. Kalau ia yang berpindah pilihan secara tiba-tiba dengan alasan “piring nasi” berarti piring nasi yang biasanya berada di bawah tudung saji di atas meja makan kemudian berubah menjadi “piring nasi” di bawah tudung kepentingan di atas meja perpolitikan. Aneh bukan?

Kiranya begitulah arena proses kehidupan saat ini bergulir. Penuh intrik, keanehan dan kelucuan serta di balik semuanya terdapat conspirata yang terlakoni dari, oleh dan untuk rakyat kepentingan.

Saya sengaja memulai tulisan ini dengan mengutip kisah Napoleon, si babi pintar dan licik, dalam Animal Farm. Betapa tidak, entah disadari atau tidak karakter Napoleon bergentayangan dalam diri manusia di era modern atau bahkan menjelang pasca modern ini.

Napoleon yang pernah sangat ideal memperjuangkan hak-hak para binatang di peternakan dan melawan dominasi manusia, dan pada akhirnya ia dapat dijinakkan dengan piring nasi di bawah tudung kepentingan yang ditawarkan oleh Pak Fredrich.

Hal senada pun terjadi pada salah seorang kerabat seasa dan secita dalam sebuah organisasi yang diceritakan di atas, hanya karena ihwal “piring nasi” ia meluluh-lantakkan kepercayaan bahkan mengorbankan misi suci dari organisasi. Ia rela menggadaikan segalanya termasuk pendirian dan harga diri demi tetap menjaga “piring nasi”nya.



Penulis: Askar Nur, Presiden Mahasiswa DEMA UIN Alauddin Makassar 2018 dan Duta Literasi UIN Alauddin Makassar 2019.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.