Thu, 19 Sep 2024
Esai / Ismail Saputra / Apr 01, 2021

Radikalisme: Antara Agama dan Kemiskinan

Indonesia Yang Majemuk

Indonesia adalah Negara yang memiliki penduduk Muslim terbesar di dunia. Indonesia terdiri dari berbagai suku, budaya, bahasa dan agama sehingga dikenal sebagai bangsa yang majemuk atau plural. Kemajemukan tersebut bisa menjadi modal utama untuk membangun peradaban dan perekonomian yang maju. Potensi tersebut jika dimanajemen dengan baik dapat menjadi kelebihan, namun sebaliknya dapat pula menjadi pemicu disintegrasi  bangsa Indonesia terjadi.

Integrasi berbangsa, bermasyarakat dan bernegara harus ditanamkan dengan cermat kepada masyarakat melalui pendekatan kemajemukan. Adanya kemajemukan tersebut menjadi konsekuensi yang tak bisa dibendung sehingga pertikaian kerap kali terjadi dalam masyarakat disebabkan oleh permasalahan perbedaan keyakinan.

Masyarakat Indonesia yang majemuk sering dihadapkan dengan masalah radikalisme dan fanatisme dalam beragama yang menjadi sebab munculnya gerakan terorisme muncul. Padahal dalam aturan kehidupan bermasyarakat yang harmonis, hidup dengan kemajemukan dijamin oleh Negara. Hal ini sejalan dengan pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 1945 yang meyatakan bahwa; (1) Negara berdasarkan atas ketuhanan yang maha Esa; (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu".

Ini artinya siapapun yang berada dinegara ini wajib menjunjung tinggi agama dan kepercayaannya sesuai dengan yang dianutnya (Hidayati, 2017:153). Dari undang-undang tersebut dapat menjadi acuan bahwa dengan alasan apapun kita tidak bisa melakukan kekerasan terhadap agama lain. Kekerasan hanya akan memecahbelah persatuan dan menjauhkan masyarakat dari perilaku yang damai dan tentram.

Secara historis munculnya Islam di Indonesia sangat damai dan toleransi relevan dengan apa yang diajarkan oleh para wali melalui sinkronitas budaya lokal, hingga saling dapat hidup damai berdampingan dengan umat lain pada masa itu. Namun sangat disayangkan dengan perkembangan zaman dan tuntutan stratifikasi sosial di tengah masyarakat Indonesia yang begitu luas, maka bermunculanlah sekte-sekte, aliran-aliran, dan mazhab-mazhab baru yang mengatasnamakan Islam berkembang pesat sesuai dengan latar belakang kebudayaan dan kondisi alam yang eksis di daerah penganutnya (Asrori, 2015: 253). Paham yang identik dengan gerakan kekerasan atas nama agama adalah paham radikalisme.

Istilah radikalisme Islam di Indonesia digunakan untuk menjelaskan kelompok-kelompok Islam di Indonesia kontemporer atas pemahaman keagamaan mereka yang literal (literal religious understanding) dan tindakan-tindakan mereka yang radikal (radical action). Kelompok-kelompok ini berbeda dengan kelompok Islam lain yang disebut moderat.

Kelompok-kelompok Islam Indonesia yang terindetifikasi terkait dengan pola-pola beragama seperti ini adalah Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Laskar Jihad (LJ), dan Jama’ah Islamiyah(Azra, 1996:136).

Radikalisme di Indonesia

Gerakan Radikalisme tidak hanya terjadi dalam Nasional namun  terjadi pula secara Internasional. Radikalisme pada taraf  internasional sebagai contohnya adalah merebaknya ideologisasi gerakan ISIS di Suriah dan Iraq. Gerakan ini menggoyahkan kedamaian dan perdamaian dunia. Gerakan ISIS bahkan sudah merambat di berbagai negara, terbukti dari baru-baru ini beberapa simpatisan ISIS yang ditangkap di Indonesia dan Turki.

Dalam konteks lokal, radikalisme juga terjadi pada aksi pembantaian Kyai yang berkedok dukun santet sampai tragedi Poso (25 Desember 1998) dan tragedi Ambon (19 Januari 1999) dimana umat Islam menjadi korban (Nuraida, 2011:154).

Radikalisme mengakibatkatkan konflik komunal atau vertikal terjadi di kalangan masyarakat. Namun di sisi lain, radikalisme adalah suatu paham yang dibuat-buat oleh sekelompok orang yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan.

Namun bila dilihat dari sudut pandang keagamaan dapat diartikan sebagai paham keagamaan yang mengacu pada fondasi agama yang sangat mendasar dengan fanatisme keagamaan yang sangat tinggi, sehingga tidak jarang penganut dari paham atau aliran tersebut menggunakan kekerasan kepada orang yang berbeda paham/aliran untuk mengaktualisasikan paham keagamaan yang dianut dan dipercayainya untuk diterima secara paksa (Asrori. 2015:258).

Gerakan Radikalisme merupakan suatu yang bisa mengancam eksistensi dan kesaatuan Negara, sebab konfik yang terjadi bisa memberi dampak berkepanjangan terhadap umat beragama di Indonesia. Untuk memahami konsep radikalisme secara sederhana, dapat ditandai dengan empat penjelasan yang sekaligus menjadi karakteristiknya.

Yang pertama, sikap tidak toleran dan tidak mau menghargai pendapat atau keyakinan orang lain. Kedua, sikap fanatik, yaitu selalu merasa benar sendiri dan menganggap orang lain salah. Ketiga, sikap eksklusif, yaitu membedakan diri dari kebiasaan orang kebanyakan. Keempat, sikap revolusioner, yaitu cenderung menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan nya masing-masing dan memaksakan kehendak kelompoknya terhadap kelompok yang lain (Agil Asshofie, 2011).

Gerak radikaslisme tersebut dikepalai oleh beberapa ormas yang telah dicap radikal oleh media. Menurut buku “Gerakan Salafi Radikal Di Indonesia” secara jelas menyebutkan ada 4 kelompok yang dicap sebagai ormas radikal yaitu Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Laskar Jihad, dan Mujahidin Indonesia (MMI).

Berdasarkan buku tersebut, kriteria ormas yang dicap sebagai radikal ada beberapa yaitu, 1) Mempunyai keyakinan ideologis tinggi dan fanatik yang mereka perjuangkan untuk menggantikan tatanan nilai dan sistem yang sedang berlangsung, 2) secara sosio-kultural dan sosio-religius, kelompok radikal mempunyai ikatan kelompok yang kuat dan menampilkan ciri-ciri penampilan diri yang unik serta ritual yang khas, 3) dalam kegiatannya mereka menggunakan cara-cara yang keras dan terkadang kasar terhadap kelompok lain yang dianggapnya bertentangan ataupun berbeda paham, 4) kelompok tersebut bergerak secara sembunyi-sembunyi atau gerilnya dan adapun yang secara terang terangan.

Meskipun demikian, kelompok-kelompok atau ormas yang dicap radikal tersebut belum tentu secara pasti mereka betul-betul intoleran dengan agama lain. Namun perlu diketahui pula media berperan penting dalam penyebarluasan wacana radikalisme ini, karena memang terkadang media membuat suatu framing terhadap kelompok tertentu. Sehingga menyebabkan terjadinya ketidakpercayaan terhadap kelompok yang telah dicap radikal oleh media tadi oleh masyarakat.

Radikalisme Islam sebagai sebuah kelompok yang bermasalah, meresahkan publik karena aktivitasnya terkadang dibarengi dengan kekerasan. Namun adapun ciri-ciri seseorang Individu terjangkit pengaruh doktrin Radikalisme, beberapa indikator diantaranya, 1) menganggap pemerintah Indonesia sebagai thogut, 2) menolak lagu Indonesia raya dan hormat kepada bendera, 3) memiliki ikatan emosional kelompok yang kuat dari pada ikatan emosional dengan keluarga, kampus, dan pekerjaan, 4) pengajian dan kaderisasi dilakukan secara tertutup, 5) membayar tebusan dosa, 6) berpakaian khas seperti bercelana cinkrang dan berjenggot dan bercadar bagi perempuan, 7) umat Islam di luar kelompoknya dianggab fasik dan kafir sebelum mereka berhijrah, 8) enggan mendengarkan ceramah orang yang di luar kelompoknya (Mufid, 2012:3). Munculnya radikalisme melalui proses pengenalan, penghayatan, penanaman, dan penguatan terhadap konsep radikal, sehingga proses itulah disebut radikalisasi.

Doktrin Islamisme Yang Dimaknai Secara Keliru

Islam pada hakekatnya adalah agama yang rahmatan lilaalamin. Artinya agama universal yang diturunkan oleh tuhan sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia. Islam sejatinya adalah agama yang mengedepankan ahlak dan akidah dalam setiap pergaulan sesama manusia walaupun berbeda keyakinan sekalipun. Menurut A. Zainuddin, ada tiga tujuan akidah dalam islam yaitu memupuk dan mengembangkan potensi-potensi ketuhanan sejak lahir, memelihara manusia dari kemusrikan, dan menghindarkan manusia dari perilaku yang menyesatkan.

Doktrin-doktrin atau sumber hukum islam bersumber dari kitab suci al-Qur’an, hadis dan ijtima ulama. Tetapi para kelompok radikalisme tersebut memahami nya secara parsial, tidak memasukan lagi ijtima ulama kedalam sumber hukumnya. Sebab ijtima ulama sudah tertutup sejak nabi wafat dan yang diyakini mereka sebagai sumber hukum hanya al-quran danm hadis.

Pemahaman mereka lagi terhadap suatu dalil tertentu terkadang dimaknai secara sempit dan sarat akan politisasi dalil. Artinya, politisasi dalil tersebut hanya untuk melegetimasi dan memaksa orang-orang untuk mengikuti kelompoknya serta mengharamkan kelompok lain yang tidak sepemahaman dengannya. Ketika teks-teks agama dipahami secara dangkal, maka tidak menutup kemungkinan lah akan melahirkan paham dan gerakan radikal.

Pemahaman yang dangkal tentang teks-teks agama dalam hal ini al-quran dan hadis akan menimbulkan pemikiran yang sempit. Pemikiran yang sempit tersebut dapat diidentifikasi melalui beberapa penjelasan. Pertama, skripturalisme, yaitu pemahaman harfiah dan tektualis atas ayat-ayat al-Qur’an.

Karenanya mereka menolak hermeneutika sebagai cara dalam memahami al-Qur’an. Kedua, penolakan terhadap pluralisme dan relativisme yang dianggap akan merusak kesucian teks. Ketiga, penolakan terhadap pendekatan historis dan sosiologis yang dipandang akan membawa manusia melenceng jauh dari doktrin literal kitab suci. Keempat, memonopoli kebenaran atas tafsir agama, di mana mereka menganggap dirinya yang paling berwenang dalam menafsirkan kitab suci dan memandang yang lainnya sebagai kelompok yang sesat (Marty, 1992:13).

Tingkat Ekonomi Anggota Kelompok Radikal Yang Rendah

Permasalahan Radikalisme bukan hanya terjadi karena kelirunya seseorang dalam memahami teks-teks agama namun dalam konteks sosial-ekonomi yang lebih kompleks, radikalisme memiliki sebab yang koheren dengan tingkat ekonomi seseorang. Lemahnya literasi seseorang dalam memahami teks-teks agama hingga terpapar radikalisme adalah sebab yang sekunder, salah satu sebab yang mendominasi seseorang terpapar radikalisme adalah karena rendahnya tingkat ekonomi orang tersebut. Ekonomi seseprang yang rendah akan memudahkan kelompok-kelompok radikal untuk merekrut nya melalui pendekatan komuikasi persuasif.

Ketidakadlian sosial dan ekonomi dan meluasnya disorientasi serta dislokasi dalam masyarakat Indonesia, karena kesulitan-kesulitan dalam kehidupan sehari-hari. Kenaikan harga kebutuhan-kebutuhan sehari-hari lainnya membuat kalangan masyarakat semakin terhimpit dan terjepit. Akibatnya, orang-orang atau kelompok yang terhempas dan terkapar ini dengan mudah dan murah dapat melakukan tindakan emosional, dan bahkan dapat disewa untuk melakukan tindakan melanggar hukum dan kekerasan.

Perlawanan terhadap ketidakadilan sosial, ekonomi, dan politik di tengah-tengah masyarakat (Baidhowi, 2017:205). Radikalisme tidak jarang muncul sebagai ekspresi rasa frustasi dan pemberontakan terhadap ketidakadilan sosial yang disebabkan oleh mandulnya kinerja lembaga hukum.

Kegagalan pemerintah dalam menegakkan keadilan akhirnya direspon oleh kalangan radikal dengan tuntutan penerapan syariat Islam. Dengan menerapkan aturan syariat mereka merasa dapat mematuhi perintah agama dalam rangka menegakkan keadilan. Namun, tuntutan penerapan syariah sering diabaikan oleh negara- negara sekular sehingga mereka frustasi dan akhirnya memilih cara- cara kekerasan.

Radikalisme meskipun hanya berkutat pada narasi mengenai ideologi atau pemahaman tertentu, namun dampak yang paling buruk nya mengakibatkan munculnya terorisme dan penggunaan senjata untuk membinasakan seseorang atau kelompok yang tak sepaham.

Sejatinya dalam menghindari dampak terburuk dari radikalisme, kita sebagai masyarakat, pemuda dan mahasiswa harus memperhatikan: 1) memperkuat pendidikan kewarganegaraan dengan menanamkan pemahaman yang mendalam terhadap empat pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. 2) Mengarahkan para pemuda pada beragam aktivitas yang berkualitas baik di bidang akademis, sosial, keagamaan, seni, budaya, maupun olahraga. Kegiatan-kegiatan positif ini akan memacu mereka menjadi pemuda yang berprestasi dan aktif berorganisasi di lingkungannya sehingga dapat mengantisipasi pemuda dari pengaruh ideologi radikal terorisme. 3) Memberikan pemahaman agama yang damai dan toleran, sehingga pemuda tidak mudah terjebak pada arus ajaran radikalisme ( Nur Salim dkk, 2018:99).       

Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan diatas, radikalisme islam merupakan suatu paham mengatas-namakan islam yang dalam penyebarannya memaksakan, menghasut dan mendorong seseorang untuk mengikuti paham tersebut, serta memakai cara kekerasan. Radikalisme sangat berbahaya karena mengancam kesatuan bangsa dan keamanan Negara, kemajemukan yang menjadi peluang dalam memajukan masyarakat tapi dengan adanya radikalisme maka kemajemukan hanya akan menjadi boomerang bagi bangsa kita.

Radikalisme tersebut bisa diidentifikasi melalui kelompok yang dicap radikal dan dan dapat diketahui melalui kecenderungan seseorang yang anti toleran. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi dan menghindari paham radikalisme butuh penanaman nilai agama yang menyeluruh, menanamkan sikap nasionalisme yang tinggi, dan memberikan keadilan sosial, hukum dan ekonomi bagi seluruh masyarakat Indonesia.

 

Penulis: Ismail Saputra, mahasiswa Universitas Negeri Makassar yang hobi membaca dan menulis.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.