Thu, 12 Dec 2024
Esai / Ita Rosita / Jan 05, 2021

Stereotip Peran Perempuan Antara Domestik dan Publik

“Sebaik-baiknya perempuan ialah mereka yang tinggal dirumah saja.” Kalimat yang masih sering kali dilontarkan oleh sanak keluarga dan kawan-kawan sekitar tuk ditujukan pada seorang perempuan dengan berbagai perannya, baik dia berperan sebagai anak, istri  maupun seorang ibu.

Ungkapan yang masih melekat dalam masyarakat tersebut bermaksud bahwa perempuan lebih elok dipandang ketika ia hanya bekerja dalam ranah domestik semata dibandingkan ranah publik. Sebuah perkataan yang menyebabkan lahirnya marginalisasi dan subordinasi terhadap perempuan.

Pekerjaan domestik sendiri menurut Genderpedia adalah pekerjaan yang dilakukan terkait dengan pemeliharaan rumah tangga. Pekerjaan yang meliputi memasak, mencuci, menjaga kebersihan rumah, merawat anak-anak dan lain sebagainya yang pada umumnya dilakukan oleh perempuan serta dinilai rendah dalam pengertian sosial dan ekonomi. Sebaliknya pekerjaan publik merupakan pekerjaan yang dilakukan diluar rumah yang pada umumnya laki-laki mendominasi pekerjaan tersebut.

Konstruksi yang dibangun oleh kebanyakan masyarakat seolah bermakna untuk mengharuskan perempuan melaksanakan ucapan yang mengandung stereotip itu. Secara KBBI stereotip diartikan sebagai konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yang subjektif dan tidak tepat.

Pelabelan negatif tersebut akan melahirkan  diskriminasi sehingga mengakibatkan munculnya tindakan yang membatasi, menyulitkan serta merugikan kaum perempuan untuk terjun ke ranah publik. Dibalik itu, muncul pula keyakinan masyarakat bahwa pekerjaan publik adalah semata-mata tugas laki-laki.

Lebih ekstrimnya lagi ketika beranggapan bahwa perempuan (istri) hanya dibatasi oleh dinding tebal rumah semata, yang kemudian menyebabkan sebagian perempuan berada pada status sosial tingkat bawah, karena hanya tinggal dan bekerja dirumah serta mengabdikan seluruh hidupnya hanya untuk suami dan anak-anaknya.

Ditambah lagi, dengan seorang anak perempuan yang mendapat pembatasan untuk melanjutkan pendidikan lebih tinggi sementara anak laki-laki menjadi prioritas. Walaupun sejak tahun 90-an Dewi Sartika, Siti Walidah dan Kartini memperjuangkan hak perempuan dalam ranah pendidikan di Indonesia, namun masih saja terjadi marginalisasi terhadap anak perempuaan disekitar kita, sebab adanya anggapan bahwa kelak perempuan pada ujung-ujungnya akan mengabdikan diri dalam pekerjaan domestik saja.

Kemudian kita lihat beberapa sinetron yang ditayangkan dalam stasiun televisi nasional, yang menggambarkan peran ibu ataupun istri hanyalah bertugas menjaga anak, memasak dan melayani suami semata, yang dikategorikan sebagai perempuan baik. Sementara suami digambarkan sebagai pencari nafkah dan dianggap sebagai manusia yang bebas. Seolah-olah menerapkan tugas gender kepada seluruh penonton untuk patut dijadikan sebagai cerminan dalam hidup berumah tangga.

Sungguh budaya patriarki masih sangat melekat disekitar kita baik dalam sektor keluarga, masyarakat maupun bernegara. Catatan tahunan Komnas perempuan terakhir masih menunjukkan 400.000 perempuan menjadi korban KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), selain karena faktor budaya patriarki juga faktor ekonomi. Dimana terjadilah ketergantungan ekonomi terhadap suami sehingga muncullah sikap mendominasi dalam rumah tangga. Untuk itu, maka perlulah perempuan bisa mandiri secara finansial.

Walau wacana gender yang sudah cukup lama terdengar, namun wacana itu masih saja menjadi bahan pembahasan popular sampai sekarang ini, sebab masih banyaknya konstruksi gender masyarakat yang mengandung ketidakadilan. Berdasarkan hasil The Global Gender Gap Report 2020, Indonesia masih menempati posisi ke-85 dari 153 negara dalam hal gap antar gender.

Padahal kita ketahui bersama bahwa selain perempuan berperan sebagai anak, istri dan ibu juga sebagai anggota masyarakat. Posisi perempuan dalam masyarakat dan negara sangat jelas, yakni sebagai anggota masyarakat dan sebagai warga negara yang memiliki hak dan kewajiban yang setara dengan laki-laki (Musdah Mulia, 2014).

Lebih pilih yang mana, publik atau domestik?

Pertanyaan yang kerap dilontarkan pada perempuan saat ini. Stigma yang terbangun ketika perempuan terjun dalam sektor publik dikatakan akan menyalahi kodrat atau melupakan tanggung jawabnya dalam sektor domestik, yang seakan-akan menunjukkan bahwa pekerjaan rumah merupakan tindakan yang inheren terhadap perempuan semata.

Bukan berarti saya memahami bahwa perempuan harus diranah publik lantas mengabaikan peran lainnya atau lebih mengurus karir sepenuhnya daripada urusan rumah tangga. Layaknya Suad, si tokoh utama dalam buku novel Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan, yah seorang perempuan yang lebih banyak bekerja diluar rumah sebab ia merupakan seorang politisi sukses, berkiprah di parlemen dan memasuki struktural tertinggi dalam berbagai organisasi yang menempatkan dirinya dalam lingkar elit kekuasaan. Dengan ambisinya menjadi perempuan yang dikenal oleh banyak orang akan kecerdasan dan keberaniannya sebagai perempuan.

Namun sayangnya, karena ambisi yang keterlaluan hingga kehampaan menyelimuti kehidupan pribadinya, tanggungjawabnya sebagai ibu sudah terabaikan, bahkan anak semata wayangnya yang dianggap sebagai harta paling berharga justru lebih akrab dengan sang ibu tiri, dan ingin mendominasi suaminya hingga akhirnya mereka bercerai.

Walaupun si Suad menantang keras urusan pekerjaan rumah tangga yang menurutnya suatu  pencapaian terendah, tapi tak mesti hal tersebut bertujuan untuk mendominasi antara satu dengan lainnya (suami).  Jangan merasa superior antarkeduanya dalam membangun rumah tangga, apalagi menganggap bahwa suami adalah lawan.

Pembagian peran antar keduanya tak semestinya perempuan membuat peran satu diunggulkan dibandingkan peran lainnya. Sebab, keduanya adalah tanggung jawab. Tinggal, bagaimana kita mampu memanajemen waktu dan bersikap dewasa menghadapinya serta menanggung bersama antar suami istri.

Perempuan mesti berpengetahuan yang tinggi dan berwawasan luas dengan statusnya sebagai manusia hidup dalam dunia ini, untuk itu dianjurkan untuk tidak terkungkung dalam wilayah domestik semata. Perempuan maupun laki-laki bisa berperan antar keduanya, kalau saya minjam perkataan Najwa Shihab tentang pertanyaan atas pilihan kedua peran tersebut, bahwa “mengapa sih perempuan mesti disuruh memilih? Bukankah kita bisa mendapatkan keduanya? Pertanyaan itu seolah-olah perempuan tak berdaya”.

 

Penulis: Ita Rosita, HMI-Wati komisariat ushuluddin filsafat dan politik UIN Alauddin Makassar.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.